JAKARTA, KOMPAS — Pulau Jawa tercatat sebagai daerah yang paling sering terlanda bencana tanah longsor. Bencana ini disebabkan karena laju kerusakan lingkungan yang jauh lebih cepat dibanding upaya pemerintah untuk melakukan pemulihan.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur menjadi daerah yang paling banyak terlanda bencana tanah longsor. Sejak tahun 2010 – 2018, jumlah bencana tanah longsor di Jawa Tengah sebanyak 1.334 kejadian, Jawa Barat sebanyak 961 kejadian, dan Jawa Timur 526 kejadian.
”Secara keseluruhan, di Indonesia sudah terjadi 3.753 bencana tanah longsor sejak tahun 2010 hingga saat ini dan memakan korban jiwa sebanyak 1.661 orang,” ucap Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho di kantor BNPB, Jakarta, Jumat (23/2).
Bencana longsor ini menjadi bencana yang paling banyak memakan korban jiwa dibanding bencana lain. Pada awal 2018, ada 120 kejadian tanah longsor dengan jumlah korban jiwa sebanyak 46 orang. Secara keseluruhan, dari Januari-Februari, telah terjadi 438 kejadian bencana dengan jumlah korban 60 orang.
”Saat ini, di seluruh Indonesia sebanyak 40,9 juta orang di 274 kabupaten/kota terancam akan bahaya tanah longsor. Jumlahnya berpotensi terus meningkat,” ucapnya.
Menurut Sutopo, Pulau Jawa semakin rentan tanah longsor karena kerusakan lingkungan yang akumulatif selama puluhan tahun. Berkurangnya daerah resapan air, alih fungsi lahan, hingga bertambahnya jumlah penduduk yang menempati daerah rawan longsor menjadi ancaman utama.
”Laju kerusakan lingkungan jauh lebih cepat dari upaya pemulihan. Laju kerusakan hutan di Indonesia rata-ratai 750.000 hektar sampai 1 juta hektar per tahun, sedangkan kemampuan pemerintah untuk melakukan rehabilitasi hutan dan lahan rata-rata maksimum 250.000 hektar per tahun,” katanya.
Sutopo menambahkan, empat kabupaten/kota yang paling banyak terlanda tanah longsor adalah Bogor, Wonogiri, Cilacap, dan Sukabumi. Menurut Sutopo, daerah Bogor paling banyak mengalami perubahan fungsi lahan karena menjadi daerah penyangga Ibu Kota.
Keterbatasan jumlah lahan yang aman dan sebagian besar warga yang belum ingin direlokasi menjadi masalah yang harus dihadapi pemerintah daerah. ”Warga tidak ingin direlokasi jika jauh dari lokasi mata pencariannya. Selain itu, mereka ingin direlokasi satu desa karena memiliki kekerabatan antara satu dan yang lainnya,” ucapnya.
Tanah longsor di Brebes
Sebelumnya, Kamis (22/2), bencana longsor terjadi di Desa Pasir Panjang, Brebes, Jawa Tengah. Sumber longsoran berasal dari hutan produksi milik Perhutani BKPH Salem dengan luas longsoran 16,8 hektar. Longsoran tanah meluncur ke arah perkebunan warga hingga menyebabkan sejumlah korban tertimbun. Hingga Jumat (23/2) pukul 15.30, 7 orang dinyatakan meninggal, 7 dirawat, dan 13 masih dalam pencarian.
Ahli longsor dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Faisal Fathani, mengatakan, longsor di Brebes ini kemungkinan karena akumulasi air hujan yang menyebabkan tanah jenuh. Jadi, meski saat longsor tidak hujan, tanah yang sudah jenuh air akibat hujan sebelumnya menjadi sangat rentan longsor.
”Umumnya longsor seperti ini terjadi pada akhir musim hujan, Februari sampai Maret mendatang,” katanya.
Menurut Faisal, gerakan tanah atau longsor secara sederhana dibagi menjadi dua. Pertama, runtuhnya lereng akibat hujan langsung, lereng curam, dan dominasi tanah berpasir. Volume longsor biasanya sedikit hingga sedang dengan kecepatan tinggi dan biasanya tanpa tanda-tanda awal sehingga sistem peringatan dini menjadi tidak efektif.
Kategori berikutnya, tanah longsor yang disebabkan naiknya muka air tanah sehingga tanah menjadi jenuh. Longsor jenis ini bisa terjadi di lereng lebih landai dan dominasi tanah lempung. Biasanya volume longsor lebih besar dengan kecepatan lambat hingga sedang. Sebelum longsor, biasanya didahului tanda-tanda awal seperti retakan tanah sehingga seharusnya bisa dipantau oleh sistem peringatan dini (Kompas, 23/2).
Sutopo menjelaskan, kemungkinan longsor di Brebes ini terjadi karena sifat pelapukan tanah yang mudah luruh ketika terkena air. Curah hujan yang tinggi selama 2 minggu serta kemiringan lereng yang terjal juga menjadi penyebab utama longsor ini.
”Kejadian ini murni karena bencana alam. Sumber longsoran merupakan hutan lindung dan tidak ada alih fungsi lahan. Daerah yang masih hijau saja masih bisa terkena longsor, apalagi daerah yang sudah parah kondisinya,” katanya.
Bupati Brebes Idza Priyanti mengatakan, pemerintah setempat menyediakan alokasi anggaran bencana Rp 5 miliar serta akan berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan provinsi guna menentukan pembagian tugas penanganan bencana. Kini, penanganan bencana difokuskan pada pencarian korban hilang, perawatan korban luka, dan penanganan sekitar 600 pengungsi.
”Kami juga mengantisipasi longsor susulan yang diperkirakan masih sangat mungkin terjadi. Terlebih cuaca di lokasi masih hujan deras. Pergerakan tanah di beberapa titik juga masih terjadi,” katanya. (DD05)