Budaya Keselamatan Kerja Masih Kurang
JAKARTA, KOMPAS—Sebanyak 245 proyek termasuk dalam proyek strategis nasional sedang digarap oleh pemerintah pusat. Jumlah itu dianggap terlalu banyak sehingga diikuti oleh serangkaian kecelakaan kerja yang terus terjadi hingga awal 2018 ini. Budaya keselamatan kerja dalam konstruksi masih kurang.
Sejumlah 245 proyek itu diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017 tentang Proyek Strategis Nasional (PSN). Dalam lampirannya disebutkan, 55 proyek ditambahkan setelah diselesaikannya 20 proyek dan dikeluarkannya 15 proyek dari PSN.
Ketua Masyarakat Infrastruktur Indonesia Harun Alrasyid Lubis, Sabtu (24/2), mengatakan, jumlah proyek yang digarap terlalu banyak, sedangkan waktu dan sumber daya manusianya terbatas.
Ia menganggap hal itu menjadi penyebab terjadinya berbagai peristiwa kecelakaan kerja terkait proyek-proyek itu.
“Ini sangat sistemik. Mulai dari perencanaan, kelayakan, lalu kebijakan dan pembuatan keputusan,” kata Harun, dalam diskusi berjudul “Proyek Infrastruktur: Antara Percepatan dan Pertaruhan,” di Jakarta Pusat, Sabtu (24/2).
“Itu persoalan manajemen. Bagaimana perencanaannya harus dibuat sebaik mungkin.”
Narasumber lain yang hadir dalam diskusi itu adalah Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dari Fraksi Demokrat Azam Azman Natawijaya dan Guru Besar Bidang Manajemen Konstruksi Universitas Pelita Harapan Manlian Ronald A Simanjuntak.
Dua tahun terakhir, terjadi 14 kecelakaan kerja pada proyek konstruksi. Empat kecelakaan kerja terjadi dalam dua bulan terakhir. Selasa (20/2), salah satu kepala kolom pada proyek Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) di Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur, ambrol dan mengakibatkan tujuh pekerja terluka, seorang di antaranya dalam kondisi kritis. (Kompas, 21/2/2018)
Harun menyatakan, para pekerja proyek masih banyak yang tidak peduli dengan keselamatan kerja. “Budaya keselamatan kerja kita masih minus,” ujar Harun.
Hal itu dapat dibuktikan dengan kerapnya para pekerja proyek tidak mengenakan perlengkapan keamanan dasar seperti helm saat sedang bekerja.
Selain itu, tingginya jam kerja juga menjadi salah satu bentuk ketidakpedulian, baik pekerja maupun kontraktor, terhadap keselamatan kerja itu.
Salah satu korban pada kecelakaan kerja di Tol Becakayu, SA mengatakan, dirinya bekerja lembur hingga dini hari.
Ia bekerja dalam waktu sekitar 15 jam hingga terjadinya musibah itu. Ia menambahkan, tidak ada jadwal libur yang ditentukan dengan jelas. Apabila seorang pekerja melembur sampai pagi, maka keesokan harinya, pekerja itu akan masuk siang hari. (Kompas 21/2/2018)
Menyoal budaya keselamatan kerja, Manlian mengatakan, akan pentingnya sertifikasi dari para pekerja proyek. Bahkan, ia menegaskan, sertifikasi itu harus diterapkan hingga tingkat mandor. “Itu untuk memastikan, supaya kejadian kecelakaan kerja serupa tidak berulang,” kata Manlian.
Manlian menuturkan, selama ini pengawas untuk sertifikasi itu adalah Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN). Nantinya, LPJKN akan memberikan sertifikasi kepada asosiasi-asosiasi profesi jasa konstruksi. “Seberapa banyak yang tersertifikasi. Proses itu harus dicermati,” tambah Manlian.
Moratorium
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dari Fraksi Demokrat Azam Azman Natawijaya mengatakan, pemerintah harus menghentikan sementara semua proyek infrastruktur dengan sering terjadinya kecelakaan kerja itu.
Azam mengingatkan pemerintah untuk meninjau kembali prosedur yang berlaku pada pengerjaan proyek-proyek itu.
“Perbaiki prosedur sampai merekka mampu menjalankan kaidah yang benar. Baru proyek bisa dijalankan lagi,” kata Azam, dalam diskusi.
Menyoal hal itu, Setelah ambrolnya kepala kolom pada Tol Becakayu pada Selasa (20/2), Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono memutuskan untuk menghentikan sementara proyek konstruksi layang di seluruh Indonesia. Jakpro dan PT Wika juga menghentikan aktivitasnya dengan jeda 1-2 hari untuk mengkaji aspek keselamatan. (Kompas, 22/2/2018).
Manlian tidak setuju pada keinginan Azam. Ia beranggapan, pemerintah telah berinvestasi dengan uang yang cukup banyak dengan berbagai proyek yang sudah direncanakan. Bagi Manlian, yang paling penting adalah melakukan pengawasan terhadap penggarapan proyek-proyek strategis nasional itu.
“Dihentikan untuk sementara tidak apa-apa. Tetapi, jangan terlalu lama. Semakin lama penundaan pengerjaan, akan semakin banyak uang yang terbuang, karena para pekerja tetap harus dibayar,” kata Manlian.
Harun menghargai keputusan Azam yang menginginkan adanya moratorium terhadap pengerjaan proyek strategis nasional. Tetapi, Harun mengingatkan, agar hal itu dilakukan secara selektif. Penghentian sementara itu pun diharapkan Harun berlangsung tidak terlalu lama karena akan menimbulkan kerugian ekonomi.
“Dipilah-pilah, jangan semua proyek. Misal, proyek konstruksi layang yang lainnya harus tetap jalan,” kata Harun. “Ini ada uang yang sudah parkir, lalu ada masalah. Saya pikir harus diperbaiki persoalan engineering model-nya.”
Harun justru mempertanyakan kepada pihak DPR, dengan adanya peraturan terkait kerja konstruksi, mengapa kecelakaan kerja masih mungkin terjadi. Ia menyatakan bahwa yang diatur dalam peraturan konstruksi itu masih pada tataran hulu.
“Saya merasa UU terkait kerja konstruksi maupun infrastruktur masih berjalan di luar rel. Persoalan yang diurus masih pada hulunya saja, seperti sertifikasi,” kata Harun.
“Ada persoalan yang lebih penting yaitu bagaimana manajemen dalam pengerjaan konstruksi. Itu harus dilalui dengan benar tiap tahapannya.” Adapun aturan terkait kerja konstruksi itu terdapat pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. (DD16)