Jangan Lagi Ada Adelina yang Lain!
Kisah tragis tenaga kerja Indonesia atau pekerja migran asal Indonesia yang meninggal di luar negeri, seakan menjadi cerita bersambung yang tiada akhirnya. Setiap bulan, ada saja pekerja migran Indonesia yang dikabarkan tewas atau meninggal. Di antara pekerja migran yang meninggal atau tewas, terdapat sejumlah perempuan muda yang dikirim sebagai tenaga kerja perempuan walaupun berusia anak-anak.
Perempuan-perempuan berusia remaja seharusnya masih duduk di bangku sekolah, direkrut oleh calo-calo jasa pengiriman TKI. Modus yang digunakan bermacam-macam. Tidak hanya mengubah nama dan usia, alamat pun diubah. Banyak yang berangkat tanpa persiapan sama sekali, bahkan ada dijemput dari rumahnya dan diberangkatkan le luar negeri tanpa diketahui orangtuanya. Diduga sejumlah perempuan tersebut masuk dalam jaringan perdagangan orang.
Seperti yang menimpa Adelina Jumirah Sau (20) warga Desa Abi, Kecamatan Oenino, Kabupaten TTS, Nusa Tenggara Timur. Pekan lalu, 11 Februari 2018, Adelina yang menjadi pekerja rumah tangga (PRT) migran di Malaysia dikabarkan meninggal setelah mengalami perlakuan tidak manusiawi dari majikannya. Ia ditemukan dalam kondisi tak berdaya di emperan halaman majikannya di kawasan Taman Kota Permai, Bukit Mertajam, Penang, Malaysia.
Adelina berangkat ke Malaysia dalam usia 17 tahun, pada Agustus 2015 lalu. Dia dibawa perekrut TKI tanpa pamit pada orangtuanya. Saat Adelina dibawa keluar rumah, ibunya berada di ladang dan ayahnya sedang ke luar rumah. Sebelumnya orangtua Adelina sempat diberikan uang Rp 500.000. Adelina diberangkatkan ke Malaysia setelah identitasnya dipalsukan, alamatnya diganti menjadi Adelina Lisao dengan alamat baru Desa Tanah Merah, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, NTT.
Adelina hanyalah salah satu dari sekian ratus ribu pekerja migran perempuan Indonsia yang mengadu nasib di negeri orang. Data Migrant Care dalam dua tahun terakhir (2016-2017), perempuan mendominasi pekerja migran yang dikirim ke luar negeri.
Tahun 2016, dari 234.451 TKI yang dikirim ke luar negeri, sebanyak 145.392 orang (62 persen) adalah perempuan. Tahun 2018 dari 261.820 TKI yang dikirim sebanyak 183.561 orang (70 persen) adalah perempuan. Mereka berasal dari 34 provinsi di Tanah Air, namun yang paling banyak berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Lampung, Sumatera Utara, Bali, Banten, dan Nusa Tenggara Timur. Daerah yang dituju paling banyak di Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong.
Dari sekian pekerja migran yang bekerja di luar negeri, setiap bulan ada pekerja migran yang meninggal dan dipulangkan ke Tanah Air. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Migrant Care dalam dua tahun terakhir (2016-2017) tercatat ada 217 jenasah TKI yang dipulangkan ke berbagai daerah termasuk di NTT. Bahkan, sepanjang 2017 ada 62 pekerja dari NTT yang meninggal dan dipulangkan ke daerahnya, 21 di antaranya adalah perempuan.
Pada tahun 2018 sepanjang Januari-22 Februari tercatat sudah 11 pekerja migran asal NTT yang meninggal di luar negeri. Dua di antaranya perempuan, yakni Adelina dan Yuliana Luruk.
“Rekruitmen pekerja migran di NTT sudah ugal-ugalan. Seperti yang dialami Adelina, prosesnya seperti penculikan. Banyak anak-anak yang masih sekolah dibawa tanpa ijin orangtua. Setelah anaknya enggak pulang orangtuanya diberitahu dan dikasih uang sirih pinang,” kata Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo.
Sasaran perempuan muda
Wahyu mengungkapkan semenjak tahun 2004/2005 banyak perempuan remaja dari NTT khususnya Pulau Timor yang direkrut jadi TKI. Kebanyakan yang direktrut adalah anak-anak perempuan muda berusia belasan tahun, karena dinilai lebih produktif ketika bekerja. Mereka mengabaikan persayaratan usia dan kematangan pekerja.
Lolosnya anak-anak perempuan menjadi pekerja migran disebabkan oleh banyak faktor, antara lain karena lemahnya tata pemerintahan, korupsi dan suap, serta maraknya praktik mafia peradilan. Bahkan dalam beberapa kasus sangat kuat dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Wahyu mencontohkan beberapa waktu lalu ada kepala dinas tenaga kerja yang ditangkap polisi karena terlibat pemalsuan dokumen lima anak yang akan dikirim menjadi TKI.
Dalam proses peradilan, beberapa kasus TPPO peradilannya in absentia (tanpa kehadiran terdakwa), karena pelaku melarikan diri sampai vonis dijatuhkan tidak pernah muncul. “Tapi masyarakat sering melihat pelaku berkeliaran,” kata Wahyu.
Adelina hanya salah satu dari anak-anak perempuan dan anak laki-laki yang terenggut masa remajanya, terpaksa meninggalkan kampung halaman, dan menyabung nyawa di negeri orang.
Kematian Adelina dan perempuan-perempuan pekerja migran yang mengusik rasa kemanusiaan. Duta Besar Repulbik Indonesia untuk Malaysia Rusdi Kirana, menilai perbuatan majikan Adelina biadab sekali dan harus dihentikan. (Kompas,19/2).
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai kasus Adelina merupakan penelantaran hak hidup pekerja rumah tangga migran. Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah dan Ketua Gugus Kerja Perempuan Migran Imam Nahe’I di Jakarta, Rabu (21/2) menilai kasus Adelina memperlihatkan bahwa negara belum memenuhi hak hidup sebagai hak dasar manusia yang rentan saat seseorang menjadi pekerja migran Indonesia, seperti yang dijamin dalam UUD 1945.
“Pekerja migran Indonesia sebagai warga negara harus dilindungi dari perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia,” tegas Yuniyanti.
Peristiwa kematian Adelina juga memperlihatkan kerapuhan sistem perlindungan pekerja migran Indonesia, khususnya yang tidak berdokumen (undocumented workers). Komnas Perempuan menilai kasus tersebut menjadi ‘alarm’ akan munculnya bentuk-bentuk baru kekerasan terhadap perempuan, yaitu penghilangan terhadap nyawa perempuan, karena identitas gendernya (femicide) dengan cara pembunuhan secara tidak langsung (indirect killing) atau modus penelantaran.
Membutuhkan keseriusan negara
Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra menilai kasus yang dialami Adelina dan pekerja migran lain yang meninggal di negeri orang, merupakan fenomena gunung es. “Masalahnya memang sangat kompleks dan membutuhkan keseriusan dari negara untuk menyelesaikan masalah tersebut, mulai dari penyediaan lapangan pekerjaan yang memadai, mengubah cara berpikir masyarakat yang rentan ditipu dan terjerat hutang, serta meningkatkan regulasi yang terkait perlindungan TKI,” katanya.
Karena itu, selain upaya serius dalam melindungi pekerja migran di luar negeri dengan menerapkan berbagai regulasi yang memperkuat perlindungan terhadap pekerja migran, mempertegas kerjasama dengan negara-negara penerima TKI, serta mengawal proses hukum kasus-kasus pekerja migran sampai tuntas, pemerintah juga harus meningkatkan pengawasan daerah-daerah yang menjadi kantong-kantong pengiriman pekerja migran.
Sejak tahun 2017 lalu, pemerintah gencar membentuk Desa Migran Produktif (desmigratif). Program yang digagas oleh Kementerian Ketenagakerjaan tujuannya agar masyarakat di desa memahami sistem penempatan dan perlindungan tenaga kerja, baik di dalam maupun di luar negeri.
Selain pemerintah, Migrant Care juga menerapkan program Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi) yang programnya untuk mengukur mobilitas, aktivitas dan situasi migrasi tenaga kerja dalam pendekatan kuantitatif, membangun basis data (database) mobilitas pekerja migran di tingkat desa, mengidentifikasi permasalahan dan rumusan strategi advokasi, mengembangkan inisiatif lokal untuk perlindungan pekerja migran (terutama perempuan) sejak dari kampung halaman. “Desbumi adalah sebuah upaya pengembangan inisiatif lokal untuk memastikan jaminan perlindungan bagi buruh migran perempuan,” ujar Wahyu.
Harapannya dengan adanya Desmigratif dan Desbumi, ke depan kasus-kasus yang menimpa Adelina dan pekerja migran lain tidak akan terus berulang. (Sonya Hellen Sinombor)