Masyarakat Pesisir Harus Dilibatkan dalam Pengelolaan Kawasan Laut
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelibatan masyarakat pesisir dalam pengelolaan kawasaan laut itu penting karena mereka adalah penerima manfaat langsung dari pengelolaan kawasan tersebut. Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat harus didorong untuk pengelolaan kawasan tersebut.
”Masyarakat pesisir menjadi pemeran kunci dalam pengelolaan laut. Masyarakat adalah orang yang ada di situ sepanjang waktu. Jika ada keuntungan ekonomi, itu untuk mereka,” kata Dedi Supriadi, Peneliti Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dalam acara diskusi ”Pengelolaan Laut dan Ekonomi Masyarakat Pesisir”, di Jakarta, Jumat (23/2).
Dalam diskusi itu hadir pula Tenaga Ahli Kedeputian V Kantor Staf Presidne RI Riza Damanik, Vice President Divisi Bisnis Mikro Bank Rakyat Indonesia Bagas Pebru Sadtriadi, dan Kepala Subdirektorat Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Henry Arafat, serta Wakil Bupati Kepulauan Selayar Zainuddin.
Masyarakat pesisir adalah mereka yang tingggal di wilayah pesisir bermata pencarian di sektor pemanfaatan sumber daya kelautan. Adapun pekerjaan yang berada pada sektor tersebut adalah nelayan, petani ikan, pengolah, maupun pemasar ikan serta hasil laut lainnya.
Riza Damanik, Tenaga Ahli Kedeputian V Kantor Staf Presiden RI, mengatakan, akan terus mendorong otonomi daerah dalam pengelolaan kawasan laut. Hal itu dilakukan dengan dua cara, yaitu pelembagaan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Negara Indonesia dan penyusunan rencana zonasi.
”Dalam WPP, hendaknya itu melibatkan perwakilan-perwakilan masyarakat nelayan saat penyusunan perencanaannya. Tujuannya agar perencanaan yang dihasilkan itu tepat dan sesuai dengan mereka,” kata Riza. ”Kami ingin membuat perencanaan itu bottom up. Berasal dari bawah. Tetapi, juga dikolaborasikan dengan temuan-temuan dari pusat untuk semakin mengoptimalkan hasil.”
Sementara itu, penyusunan rencana zonasi itu telah diatur dalam Kebijakan Kelautan Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017. Dalam peraturan itu, yang ingin dituju adalah optimalisasi potensi sumber daya kelautan dengan pengelolaan secara berkelanjutan lewat penataan ruang laut. Hal itu dilakukan untuk mencapai cita-cita Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia dan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Saat ini, sudah ada delapan dari 34 provinsi di Indonesia yang sudah dibuat peraturan daerah (perda) untuk penataan ruang lautnya. Riza mengupayakan agar semua provinsi yang ada dapat memiliki perda itu pada 2018 ini.
Salah satu daerah yang melakukan pengelolaan wilayah lautnya dari tingkat desa adalah Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Di sana, upaya pengelolaan dan konservsi laut dilakukan mulai dari tingkat pemerintah desa dengan membuat peraturan desa.
Namun, Wakil Bupati Kepulauan Selayar Zainuddin mengatakan, pihaknya masih terganjal melakukan hal itu karena adanya UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Dalam UU itu, kewenangan pengelolaan disebutkan tidak diberikan kepada kabupaten atau kota melainkan provinsi. Menanggapi hal itu, Zainuddin mengatakan, apabila kewenangan pengelolaan terdapat pada pemerintah kabupaten atau kota, pengawasan terhadap kawasan itu dapat dilakukan lebih mudah.
Adanya UU itu juga membuat luas wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar berkurang dari 10.503,69 km2 menjadi 1.357,08 km2. ”Ini membuat karakteristik kepulauan terasa hilang diikuti memudarnya rasa memiliki laut sebagai pemersatu wilayah kepulauan,” kata Zainuddin.
Terkait berkurangnya pemberian kewenangan kepada provinsi, Kasubdit Kelautan dan Perikanan Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri Henry Arafat mengatakan, hal itu untuk memudahkan pengawasan terkait pengelolaan anggaran. Dengan menyerahkan kewenangan kepada provinsi, hanya ada 34 daerah yang diawasi, sedangkan jika diserahkan ke kabupaten atau kota, ada lebih dari 500 daerah yang harus diawasi pengelolaan anggarannya.
Henry mengatakan, provinsi harus bertanggung jawab penuh kepada tiap kabupaten atau kotanya. Ia menambahkan, pihak kementerian bertugas memastikan anggaran itu tersalurkan secara tepat kepada seluruh daerah. ”Akan selalu kami evaluasi,” kata Henry.
Persoalan lainnya adalah sebagian besar masyarakat nelayan banyak yang berasal dari kalangan perekonomian rendah. Pada 2014, angka ketimpangan penghasilan rumah tangga nelayan dan mayarakat mencapai 0,54, ketika rasio gini nasionalnya adalah 0,41. Kesulitan yang muncul di kalangan para nelayan itu pada umumnya terkait dengan permodalan.
Vice President Divisi Bisnis Mikro Bank Rakyat Indonesia (BRI) Bagas Pebru Sadtriadi menyatakan pihaknya siap membantu pembiayaan terhadap nelayan. BRI telah menyalurkan kredit pada sektor kelautan dan perikanan sebesar Rp 11,1 triliun per 31 Januari 2018. Dari angka tersebut, Rp 7 triliun disalurkan untuk segmen bisnis mikro. (DD16)