Menuju Jati Diri Bangsa Maritim
Angin, ombak, arus, dan mata angin. Pemahaman akan hal-hal itu wajib dipahami dalam pencarian jati diri seorang pelaut. Sebuah kapal disiapkan khusus untuk misi tersebut.
Jarak kami dengan dermaga masih sekitar 2 kilometer lagi. Permukaan laut pun belum terlihat. Namun di kejauhan, di balik rimbun hutan bakau, sudah terlihat tiga tiang layar menjulang anggun. Hati pun bergetar.
Itu lah tiga tiang layar utama KRI Bima Suci, kapal layar tiang tinggi terbaru TNI Angkatan Laut yang baru tiba di Tanah Air, akhir November 2017 lalu. Tiang-tiang itu menjulang setinggi 51,5 meter, dan akan menjadi bagian pertama dari kapal ini yang akan terlihat dari balik cakrawala.
Begitu kami tiba di dermaga baru di ujung timur kompleks Komando Armada RI Kawasan Timur (Armatim) di Surabaya, Jawa Timur, itu, baru lah terlihat sosok utuh kapal berwarna putih dengan garis biru. Dengan panjang 111,2 meter, kapal itu terlihat tak kalah wibawa dengan dua kapal landing platform dock (LPD) yang tengah sandar di belakangnya, yakni KRI Makassar (590) dan KRI Surabaya (591).
Namun yang paling membuat terkesan adalah tiga tiang utamanya dan tiang-tiang horizontal tempat menambatkan layar. Selalu ada imajinasi yang melayang setiap melihat kapal layar tiang tinggi seperti ini, membawa ke era saat kapal-kapal sejenis menjelajah samudera berkeliling bumi berabad silam.
Hanya angkatan laut-lah matra yang mempelajari teknik operasi klasik dengan tall ship yang tak dimiliki matra darat dan matra udara.
Zaman penjelajahan para pelaut pemberani yang tak mengandalkan mesin diesel elektrik, radar, sonar, atau navigasi GPS untuk menangkap angin dan meniti gelombang ke tempat-tempat nun jauh, menyebarkan peradaban. Nenek moyang kita termasuk di antara mereka.
Dan itu pula lah alasan kapal layar tiang tinggi seperti KRI Bima Suci dan pendahulunya, KRI Dewaruci, masih dipertahankan sebagai kapal latih kadet di angkatan-angkatan laut dunia, termasuk TNI AL.
Kepala Staf TNI AL (KSAL) Laksamana Ade Supandi mengatakan, keberadaan kapal layar tiang tinggi sangat penting membentuk karakter pelaut bagi negara-negara maritim. “Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda, dan Amerika masih mempertahankan tall ship. Ini tidak bisa dibandingkan dengan operasional kapal modern. Hanya angkatan laut-lah matra yang mempelajari teknik operasi klasik dengan tall ship yang tak dimiliki matra darat dan matra udara,” kata Ade kepada Kompas di Jakarta, Rabu (21/2).
Dia menjelaskan, berlayar dengan kapal layar tiang tinggi itu adalah mempelajari dan menjalankan tradisi pelayaran yang telah berlangsung berabad-abad. Itu dengan mempelajari segala seluk-beluk mengoperasikan kapal, mulai dari memasang simpul-simpul tali, penggunaan peluit, berbagai sinyal bendera, dan berbagai tradisi pelayaran lainnya.
Mengasah kepekaan
Dengan kapal ini lah para taruna berlatih menjadi pelaut sejati, mengenal ombak, angin, arus laut, navigasi, dan tentu saja kerja tim. ”Kapal-kapal ini masih dibutuhkan karena berfungsi menajamkan kepekaan seorang pelaut,” tutur Komandan KRI Bima Suci yang juga mantan Komandan KRI Dewaruci, Letnan Kolonel Laut (P) Widyatmoko Baruno Aji, di atas geladak Bima Suci yang tengah bersandar di Dermaga Komando Armatim, Surabaya, Kamis (25/1) lalu.
Kepekaan yang dimaksud hanya bisa diasah tuntas di atas kapal yang berinteraksi langsung dengan alam, bahkan digerakkan oleh kekuatan alam itu sendiri. Di sini lah para taruna pelaut ini belajar akan hakikat alam sekitarnya dan kemudian menyiasatinya. Di atas itu, mereka juga akan belajar tentang manusia dalam interaksi kerja tim selama bersama-sama berlayar di lautan hingga berbulan-bulan lamanya.
Dari panasnya cuaca, saya bisa tahu apakah akan hujan atau tidak. Dari aroma laut saya bisa mengetahui apakah kita sudah berada dekat daratan atau belum.
”Itu sebabnya kapal ini masih mempertahankan kemudi di luar. Karena hanya dengan berada di luar lah kita bisa merasakan langsung tiupan angin, panasnya sinar matahari, suhu udara, dan aroma laut. Dari panasnya cuaca, saya bisa tahu apakah akan hujan atau tidak. Dari aroma laut saya bisa mengetahui apakah kita sudah berada dekat daratan atau belum,” papar Letkol Baruno sambil menunjuk roda kemudi besar yang terbuat dari kayu di geladak kapal, tepat di depan ruang anjungan utama. Di depan kemudi itu terdapat seperangkat instrumen sederhana, termasuk kompas penunjuk arah.
Di dalam ruang anjungan di belakangnya, pemandangannya sangat kontras. Selain berpenyejuk udara, anjungan utama ini juga dipenuhi perangkat elektronik canggih. Sejumlah layar monitor digital ukuran besar menampilkan berbagai informasi vital, seperti kondisi cuaca, navigasi satelit, citra radar, dan tampilan sonar.
Sekilas panel instrumen itu mengingatkan pada glass cockpit di pesawat-pesawat terbaru. Roda kemudi juga ada di anjungan ini, tetapi berukuran jauh lebih kecil dibanding kemudi di geladak.
Di bawah anjungan utama ini terdapat satu ruangan yang tata ruangnya sangat mirip, hanya dengan jumlah instrumen lebih sedikit. Itu lah anjungan latih, tempat para taruna belajar mengendalikan kapal.
Pelayaran dengan kapal layar ini dilakukan bagi kadet tingkat satu, tingkat dua, dan tingkat tiga. Menurut Laksamana Ade Supandi, latihan pelayaran sengaja dilakukan pada musim cuaca buruk untuk mengasah kemampuan para calon perwira TNI AL. Berbagai pengalaman, seperti tiang layar utama patah dan beragam kerusakan akibat badai, merupakan ujian bagi kesiapan pelaut kelak di kemudian hari.
Melanjutkan tugas
Selama 64 tahun sejak 1953, Indonesia hanya memiliki satu kapal layar untuk melatih para taruna ini, yakni KRI Dewaruci. Kini KRI Bima Suci lah yang akan melanjutkan tugas-tugas Dewaruci.
“KRI Dewaruci akan tetap digunakan untuk berlatih, tetapi untuk pelayaran jarak dekat saja. Untuk jarak jauh, terutama muhibah ke luar negeri, saat ini diambil alih KRI Bima Suci,” tutur Baruno yang saat ini tengah menyiapkan perjalanan muhibah Kartika Jala Krida ke Rusia, Jepang, Korea, dan China, bulan Juli mendatang.
Sekarang seluruh lima korps di TNI AL bisa dilatih di KRI Bima Suci, termasuk marinir.
KRI Bima Suci memiliki ukuran yang lebih besar dibanding Dewaruci. Panjangnya hampir dua kali lipat dibanding pendahulunya itu (panjang Dewaruci 58,3 meter), lebih tinggi, dan konsekuensinya mampu melatih lebih banyak kadet.
”Dalam kondisi biasa, KRI Bima Suci diawaki oleh 66 orang. Tetapi saat membawa taruna, totalnya bisa membawa 203 orang. Dulu KRI Dewaruci hanya bisa digunakan untuk melatih pelaut, tetapi sekarang seluruh lima korps di TNI AL bisa dilatih di KRI Bima Suci, termasuk marinir,” papar Baruno.
Bima Suci adalah kapal layar tiang tinggi dari tipe Barque, yang ditandai dengan dua tiang tinggi di depan untuk mengembangkan layar-layar utama berbentuk persegi horizontal (square-rig sail). Sementara KRI Dewaruci adalah kapal tipe Barquentine, dengan hanya satu tiang untuk mengembangkan layar-layar persegi ini.
Meski terlihat klasik dan ”kuno” dari luar, KRI Bima Suci tetap lah sebuah kapal yang dibuat di abad ke-21. Selain sistem navigasi elektronik yang terlihat di anjungan, kapal ini juga memiliki sistem kontrol elektronik ke hampir semua fungsi kapal, termasuk mesin diesel untuk propulsi kapal saat bermanuver keluar masuk pelabuhan.
Kapal juga dilengkapi sistem pengolah limbah yang memungkinkan awak kapal mengolah limbah selama berada di lautan, sehingga sampah-sampah itu tidak dibuang di laut lepas.
Bima Suci dibangun di galangan kapal Contruccon Navales Freire Shipyard di Vigo, Spanyol barat, selama hampir dua tahun. Enam hari setelah diresmikan nama dan penugasannya oleh Kepala Staf TNI AL Laksamana Ade Supandi pada 12 September 2017, kapal tersebut langsung dilayarkan pulang ke Tanah Air oleh para awak dan taruna TNI AL.
Kini kapal ini siap melanjutkan tugas sebagai sarana pencarian jati diri para pelaut TNI AL, sekaligus juga jati diri Indonesia sebagai bangsa maritim. Seperti misi Bima menemukan jati dirinya saat mencari tirta perwitasari alias air kehidupan dalam sosok Dewaruci di dasar samudera terdalam.