JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan jenis narkotika baru mengancam masa depan generasi milenial. Pembuatan jenis narkotika baru dapat disesuaikan dengan kebutuhan pemakai. Sifatnya yang adaptif dengan kebutuhan itu berpotensi menjadi bagian dari gaya hidup.
Ahli kimia farmasi Badan Narkotika Nasional (BNN), Kombes Mufti Djusnir, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (23/2), mengatakan, jenis narkotika baru (new psychoactive substance/NPS) termasuk dalam rumpun narkotika sintetis yang amat berbahaya. Pembuatannya mengandalkan campuran bahan kimia atau prekursor yang disesuaikan dengan kebutuhan pemakai narkotika (designed drugs).
Mufti, yang juga menjabat sebagai Ketua Badan Advokasi Mediasi dan Perlindungan Anggota Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI), menambahkan, beberapa contoh NPS antara lain flakka dan tembakau gorilla. Flakka merupakan turunan (derivat) dari narkotika jenis katinon yang dapat memengaruhi neurotransmitter serotonin, dopamin, dan noradrenalin di tubuh.
Flakka yang mampu merangsang rasa senang biasanya digunakan oleh seseorang yang tengah mengalami tekanan. Tekanan tersebut akan berlipat ganda ketika pemakai flakka berhenti mengonsumsi. ”Stres ganda yang dialami pemakai mengakibatkan munculnya sikap paranoid, ia akan mengamuk dan melakukan kekerasan,” ujar Mufti.
Selain itu, penggunaan NPS juga menimbulkan perilaku biologis yang menyimpang. Oleh karena itu, tidak jarang ditemukan pemakai melakukan pesta seks dalam kondisi setengah sadar. ”Banyak sekali dampak buruk, terutama secara moral, karena NPS menyerang kejiwaan manusia,” kata Mufti.
Sementara NPS jenis tembakau gorilla, lanjutnya, mampu mereduksi keseimbangan otak. Jenis NPS yang merupakan turunan dari cannabinoid itu mengurangi jumlah oksigen yang diikat di dalam otak sehingga kemampuan berpikir pemakai pun berkurang.
Menurut Mufti, kehadiran NPS semakin berbahaya karena ia bisa diracik oleh siapa pun. Prosedur mencampur bahan kimia dapat dipelajari secara daring. ”Kebanyakan peracik (designer) NPS adalah orang amatir. Mereka mempelajarinya dari internet,” ucapnya.
Ditemui secara terpisah Wakil Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia Irjen (Purn) Benny J Mamoto mengatakan, perkembangan inovasi NPS yang begitu cepat dipengaruhi oleh kemudahan produksinya. Berbeda dengan narkotika jenis alami yang memerlukan lahan, proses tanam, NPS hanya memerlukan tempat yang aman serta kepiawaian menggunakan perangkat lunak.
Kemudahan produksi itu juga memunculkan pola distribusi NPS yang khas. Menurut Benny, NPS mulanya diperjualbelikan dalam lingkup pertemanan kecil.
Biasanya pemakai dan penjualnya merupakan kalangan profesional yang usianya masuk kategori milenial. Beratnya beban pekerjaan dan tuntutan gaya hidup mendorong sebagian orang menggunakan NPS sebagai pelarian.
Mantan Deputi Bidang Pemberantasan BNN itu melanjutkan, pemakai bisa memilih efek depresan ketika merasa sedih, stimulan saat ingin tampil prima tanpa lelah, dan halusinogen untuk mengembangkan fantasi.
”Kemudahan untuk merancang efek yang akan didapat pemakai itu menjadikan NPS berpotensi menjadi bagian dari gaya hidup. Hal itu mengkhawatirkan karena karakteristik generasi milenial mencari uang untuk memenuhi gaya hidup,” tutur Benny.
Kekurangan apoteker
Berdasarkan catatan Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC), terdapat 739 NPS di dunia selama 2006-2019. Sebanyak 68 di antaranya didapati BNN telah beredar di Indonesia.
Namun, dari total 68 itu, masih ada delapan jenis yang belum digolongkan sebagai narkotika berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 41 Tahun 2017 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika.
Mufti mengakui, pelacakan NPS yang beredar di masyarakat terkendala jumlah apoteker BNN yang minim. ”Di laboratorium kami hanya ada lima apoteker, itu sudah termasuk kepala laboratorium,” katanya.
Selain itu, kata Benny, alat tes yang ada di Indonesia juga belum bisa mendeteksi NPS dalam diri seseorang. Indikasi kecanduan masih perlu dilihat melalui perilaku sehari-hari.
Belum masuknya delapan jenis NPS dalam Permenkes No 41/2017 juga menjadi salah satu kendala penanganan. Sebab, proses birokrasi pembuatan peraturan menteri membutuhkan waktu setidaknya satu tahun. ”Dalam waktu setahun itu, pemakai dan bandar NPS bisa merajalela,” ucap Benny.
Menurut Benny, Indonesia dapat mencontoh Jepang dalam untuk menghadapi perkembangan jenis NPS yang begitu pesat. Jepang membuat rumusan kimia untuk jenis-jenis narkotika. Setiap NPS yang secara kimia tergolong sebagai turunan dari rumusan tersebut, secara langsung dikategorikan sebagai obat terlarang.
Pencegahan
Menurut Benny, upaya pemberantasan narkotika tidak cukup dengan penangkapan bandar, tetapi juga harus dilakukan beriringan dengan pencegahan dan rehabilitasi berkelanjutan.
Berdasarkan data BNN, hingga Juli 2017, jumlah pemakai narkotika sebanyak 6,4 juta orang. Sementara itu, kata Benny, Indonesia hanya mampu merehabilitasi 50.000 orang per tahun. ”Jika seperti itu, kita baru bisa merehabilitasi semua pemakai dalam 120 tahun,” ujarnya.
Kemampuan merehabilitasi yang lemah, lanjutnya, juga menjadi celah keberlanjutan penyebaran narkotika. Sebab, pasar penjualan obat terlarang itu masih amat besar.
Untuk pencegahan, Benny mengusulkan pembangunan 1.000 rumah edukasi narkotika. Konsepnya, menghadirkan sebuah ruangan yang berisi tentang sejarah, jenis, dampak buruk, serta jaringan penyebaran narkotika.
”Dengan begitu, generasi muda bisa mengenal, memahami, dan menolak narkotika,” ucapnya. (DD01)