SANGATTA, KOMPAS Larangan berburu di hutan berstatus taman nasional mestinya dijalankan. Seiring dengan itu, kepemilikan senapan angin oleh warga harus mulai dibatasi, walaupun bisa memicu penolakan. Namun kejadian terakhir, yakni penembakan orangutan di Taman Nasional Kutai, sudah lebih dari cukup sebagai pembelajaran.
Manajer Perlindungan Habitat Centre for Urangutan Protection (COP) Ramadhani, Jumat (23/2) mempertanyakan kepentingan warga membawa senapan angin memasuki Taman Nasional Kutai (TNK). Sebab tidak ada satu binatang pun boleh diburu di taman nasional, meskipun binatang itu tidak berstatus dilindungi. Ramadhani mengacu ke Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Untuk Kepentingan Olah Raga.
Disebutkan, senapan angin hanya untuk olahraga menembak sasaran, dan hanya digunakan di lokasi pertandingan. “Jadi, kalau ada masyarakat masuk taman nasional membawa senapan, itu sudah dobel ilegal. Selain itu, masyarakat yang ke taman nasional kan mesti memiliki surat izin masuk. Semoga pihak terkait berbenah pascakejadian ini,” ucap Ramadhani.
Luas TNK hampir 200.000 hektar. Namun, riilnya, sudah terkurangi sekitar 29.000 hektar, atau hampir seperenamnya. Hutan berganti menjadi permukiman (10 desa) berpenduduk 71.000 jiwa. Juga beralih jadi kebun-kebun sawit dan buah, yang digarap warga.
Kepala Balai TNK Nur Patria mengatakan, TNK telanjur ditempati manusia. Hutan habitat orangutan dibabat jadi kebun yang ditanami sawit dan buah-buahan. Sementara sosialiasi berisi imbauan agar tidak melukai orangutan juga sudah dilakukan. Itu pun, menurut pemerhati orangutan dari Universitas Mulawarman Yaya Rayadin, ada yang belum tahu orangutan dilindungi.
“Masuk hutan bawa senapan, sudah kebiasaan warga. Sama seperti bawa parang. Kalau orangutan merusak kebun, dianggap hama,” katanya. Mengacu Peraturan Kapolri, hanya disebut senapan angin yang ukuran kaliber 4,5 mm. Sementara senapan angin yang dipunyai warga yang tinggal di TNK-atau sering disebut senapan angin rakitan-tak termasuk senapan yang diatur di peraturan tersebut.
“Peluru senapan angin yang dipegang warga ini kan enggak ada ukuran kaliber pelurunya. Jadi, ya, bagaimana? Beranjak dari kejadian, mestinya ini jadi pembelajaran. Bisa kok diterapkan aturan larangan senapan angin di TNK,”kata Yuliansyah.
CEO Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) Jamartin Sihite mengatakan, peraturan sudah ada, tapi pengawasan senapan angin masih lemah. "Ini fenomena gunung es, selama penegakan hukum dan pengawasan senapan angin tidak digalakkan, satwa liar berstatus dilindungi akan terancam," ungkap Jamrtin.
Menurut Jamartin, penggunaan senapan angin lebih banyak untuk berburu. Bahkan, mereka bangga mengunggah foto hasil buruannya di media sosial. Jamartin berharap, polisi memeriksa toko-toko penjual senapan angin yang menjamur di kota-kota di berbagai daerah.
Polres Kutai Timur masih mengembangkan kasus kematian orangutan yang di badannya ditemukan 130 peluru senapan angin. Jumlah peluru ini rekor yang mengenaskan. Lima tersangka didapat. Sudah 20 saksi dimintai keterangan, termasuk istri salah satu tersangka. POlisi juga menyita 11 senapan angina, termasuk 4 yang dimiliki kelima tersangka. (PRA/IDO).