Surat Utang Berwawasan Lingkungan Masih Belum Diminati
JAKARTA, KOMPAS — Surat utang berwawasan lingkungan atau yang dikenal dengan green bond hingga kini belum diminati pengusaha di Indonesia. Padahal, peminat dari obligasi jenis itu dianggap cukup potensial, terutama investor asing yang berasal dari Benua Eropa dan Amerika.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira Adhinegara, menilai, belum tertariknya investor untuk menerbitkan green bond disebabkan biaya yang cenderung lebih mahal dibandingkan menerbitkan surat utang konvensional. Insentif pajak akan menjadi daya tarik bagi investor.
”Para pengusaha Indonesia saat ini cenderung lebih sadar terhadap lingkungan dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Dibuktikan dengan banyaknya sertifikasi ramah lingkungan yang didapatkan. Untuk kasus green bond ini, alasan mereka belum tertarik lebih ke biaya penerbitan yang lebih mahal saja,” tutur Bhima saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (24/2).
Pada pengujung tahun 2017, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengatur mekanisme utang berwawasan lingkungan melalui Peraturan OJK Nomor 60/POJK.04/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (green bond).
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, green bond merupakan salah satu variasi dari kebijakan strategis yang diterapkan untuk mendukung pembiayaan infrastruktur dan sektor prioritas, sekaligus memperdalam pasar keuangan (Kompas, 24/1).
Direktur Pengelolaan Investasi OJK Fakhri Hilmi menilai, masih belum diketahuinya kebijakan terkait green bond menyebabkan belum ada perusahaan yang secara resmi mendaftar ke OJK untuk menerbitkan green bond.
”Jadi, sampai saat ini kami belum menerima pernyataan pendaftaran (green bond). Meski begitu, satu sampai dua perusahaan sudah ada yang datang bertanya. Semoga tahun ini sudah ada yang menerbitkan green bond,” ucap Fakhri.
Tidak adanya pengusaha yang mendaftarkan perusahaannya untuk menerbitkan green bond sejauh ini juga dikonfirmasi oleh Hariyadi B Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). ”Sejauh ini, saya belum dengar ada yang mendaftar,” ucapnya.
Belum tersosialisasinya kebijakan tersebut dengan baik ke kalangan pengusaha menjadi salah satu faktor penyebabnya. Kalangan pengusaha belum mengetahui kriteria apa saja kegiatan usaha yang dapat digolongkan sebagai kegiatan usaha berwawasan lingkungan (KUBL) sehingga dapat didanai melalui mekanisme green bond.
”Perusahaan yang mau ambil green bond juga pasti harus melalui mekanisme yang panjang, misalnya perusahaan tekstil itu kan banyak yang harus disesuaikan dengan ketentuan green bond,” ujar Hariyadi.
Meski begitu, Hariyadi mengakui, peluang dari green bond menjanjikan, terutama minat investor asing.
Fakhri mengatakan, saat ini terdapat kecenderungan investor internasional yang mulai bergerak pada investasi berwawasan lingkungan.
Ia mencontohkan, beberapa investor asal Amerika Serikat dan negara-negara di Benua Eropa hanya ingin berinvestasi pada proyek-proyek berwawasan lingkungan.
Mengutip data dari Climate Bond Initiative, pada 2017 pasar green bond di dunia meningkat sebesar 78 persen dibandingkan tahun 2016. Setidaknya terdapat 221 miliar dollar AS investasi yang berlabel green bond.
AS mendominasi investasi berlabel green bond dengan jumlah investasi 10,6 miliar dollar AS atau 34 persen dari total investasi green bond di dunia. Adapun India merupakan negara di Benua Asia yang melakukan investasi green bond paling besar dengan nilai 2 miliar dollar AS atau 6 persen dari total investasi green bond di dunia.
Syarat khusus
Djustini Septiana, Direktur Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil OJK, menyebutkan, prosedur yang harus ditempuh perusahaan yang ingin mendapatkan green bond pada umumnya sama seperti prosedur mendapatkan surat utang konvensional.
Syarat tambahan untuk mendapatkan green bond ialah perusahaan harus memperoleh pendapat dari ahli lingkungan bahwa usahanya termasuk berwawasan lingkungan.
Setiap tahun pendapat itu akan diperbarui oleh ahli lingkungan. Pendapat tersebut juga harus dilaporkan kepada para pemegang obligasi setiap tahun.
Dari segi penggunaan dana, perusahaan dianggap telah melakukan KUBL jika minimal 70 persen dana yang diperoleh dari hasil penawaran umum digunakan untuk pembiayaan proyek yang sifatnya berwawasan lingkungan.
Adapun kegiatan-kegiatan yang termasuk KUBL, antara lain, proyek energi terbarukan, energi efisiensi, pencegahan dan pengendalian polusi, pengelolaan sumber daya alam hayati dan penggunaan lahan yang berkelanjutan, konservasi keanekaragaman hayati darat dan air, transportasi ramah lingkungan, pengelolaan air dan air limbah yang berkelanjutan, serta adaptasi perubahan iklim.
”Green bond ini sifatnya per proyek, bukan melihat perusahaannya apa. Misalnya, perusahaan tambang batubara yang dilihat tidak berwawasan lingkungan tetap dapat menerbitkan green bond kalau mereka mempunyai proyek pengelolaan limbah, atau proyek berwawasan lingkungan lainnya,” kata Djustini.
”Selain penilaian wawasan lingkungan dari ahli lingungan, saya rasa, kalau dari segi persyaratan landasan hukum, tidak ada masalah. Kami sudah mengaturnya,” ucapnya.
”Indonesia itu kecenderungannya mencontoh. Paling berat memang ’memecahkan telur’. Saya yakin, kalau sudah ada satu perusahaan yang melakukan, yang lain insya Allah akan mengikuti,” lanjut Djustini.
Bhima menilai, perusahaan yang bergerak di sektor ekstraktif, minyak dan gas, serta industri perkebunan kelapa sawit paling berpeluang menerbitkan green bond. Hal itu karena perusahaan yang bergerak di sektor tersebut berhubungan langsung dengan lingkungan.
”Misalnya perusahaan kelapa sawit yang sudah punya sertifikasi ISPO (Indonesian sustainable palm oil) dan RSPO (roundtable sustainable palm oil), tentu mereka akan lebih mudah menerbitkan green bond karena biaya penilaian dampak lingkungannya sudah dimiliki,” tutur Bhima.
Insentif
Ihwal persyaratan tambahan yang harus dilalui perusahaan yang ingin menerbitkan green bond, Djustini mengatakan, pihaknya tengah berkomunikasi dengan Kementerian Keuangan terkait pemberian insentif, seperti penurunan tarif pajak. Menurut dia, insentif harus didapatkan oleh perusahaan dan juga pemegang obligasi.
”Selain itu, kami dari OJK sudah di tahap penyiapan untuk melakukan pemotongan pungutan untuk pernyataan pendaftarannya (green bond). Kemudian juga kami meminta Bursa Efek untuk listing agar ini menjadi concern dari teman-teman di bursa,” ujar Djustini.
Sementara itu, Bhima menilai, skema green bond merupakan alternatif pembiayaan yang harus dicoba, baik oleh korporasi di sektor swasta maupun pihak pemerintah. Apalagi, saat ini pemerintah tengah gencar membangun proyek infrastruktur yang juga berwawasan lingkungan, seperti sarana transportasi umum, bendungan, irigasi, dan pembangkit listrik.
”Saat ini waktu yang tepat untuk menerbitkan surat utang, apalagi sepanjang 2017 banyak lembaga pemeringkat yang memberikan invesment grade kepada Indonesia. Terakhir, lembaga pemeringkat asal Jepang yang meningkatkan status perekonomian Indonesia pada outlook (pandangan)-nya di 2018,” lanjut Bhima.
Meski begitu, insentif dari pemerintah harus diberikan kepada perusahaan yang ingin menerbitkan green bond. Jika itu tidak dilakukan, kebijakan pemerintah yang dianggap strategis dapat tidak berjalan efektif karena sepi peminat.
”Saya sarankan, pemerintah memberikan insentif bagi perusahaan yang menerbitkan green bond, misalnya pajak obligasi 15-20 persen itu dibebaskan dari pembelian atau penjualan obligasi,” ujarnya.
”Kedua, prosedur untuk menerbitkan penilaian berwawasan lingkungan. Kalau perlu, proses penilaian dari ahli itu disubsidi pemerintah. Kalau prosesnya murah, tentu harganya akan kompetitif,” lanjut Bhima. (DD14)