Orangutan Terus Dibantai di ”Rumah” Sendiri
DUA kasus pembantaian orangutan menjadi cerita pembuka yang buruk di awal 2018. Bahkan, di Kalimantan Timur, tercipta ”rekor” peluru terbanyak yang menembus badan orangutan. Hutan, yang sejatinya rumah mereka, tidak lagi memberi jaminan keamanan. Siapa yang salah?
Awal Februari, satu orangutan mati, sehari setelah dievakuasi dalam kondisi lemah dan terluka parah di Taman Nasional Kutai (TNK), Kaltim. Setidaknya 130 peluru senapan angin menembus tubuhnya, bahkan 74 peluru di antaranya bersarang di kepala.
Tak hanya luka tembakan yang memecahkan rekor jumlah peluru terbanyak, karena ditemukan pula 19 luka terbuka yang diperkirakan karena benda tajam. Bahkan, telapak kaki kirinya tidak ada alias buntung.
Lima tersangka pelaku dibekuk, empat senapan angin disita. Sebelumnya, pertengahan Januari, orangutan ditemukan mengapung di Sungai Kalahien, Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Ditemukan 17 peluru senapan angin di tubuhnya. Semakin mengenaskan, bangkai orangutan tersebut tanpa kepala. Polisi telah menangkap dua pelakunya. Benang merah dua kejadian tersebut mirip.
Orangutan ditembaki warga yang jengkel akibat lahan kebun garapannya dirusak. Kasus di TNK lebih miris, karena orangutan justru dibantai di tempat yang seharusnya aman 100 persen, yakni hutan berstatus taman nasional. Manajer Perlindungan Habitat Centre for Orangutan Protection (COP) Ramadhani, Jumat (23/2), menyebut, setidaknya 46 orangutan yang ditembaki dalam rentang tahun 2004-2018. Itu baru kasus yang terpantau sejak 2004.
Realitas yang sebenarnya, tentu lebih mengenaskan. Sepuluh lembaga perlindungan satwa liar, termasuk COP, September 2016 menggelar aksi serentak di sembilan kota. Mereka mendesak pengetatan pengawasan kepemilikan senapan angin. Manusia bisa menembak orangutan karena dianggap hama atau untuk mengambil bayinya.
Aturan sebenarnya sudah ada, yakni Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api untuk Kepentingan Olahraga. Disebutkan, senapan angin hanya untuk olahraga menembak sasaran dan hanya digunakan di lokasi pertandingan.
Sayangnya, peraturan ini masih ada celahnya karena hanya mendefinisikan senapan angin berpeluru kaliber 4,5 mm. Sementara senapan angin milik warga biasanya tidak ada ukuran kalibernya. Pelurunya kecil, tapi rentetan peluru terbukti menumbangkan orangutan. Semuanya sudah salah langkah sejak awal. Kepala Balai TNK Nur Patria menyebut, sekitar 29.000 hektar areal TNK sudah telanjur jadi permukiman, kebun sawit, hingga kebun buah.
Artinya, itu nyaris seperenam dari luas TNK yang mencapai hampir 200.000 hektar. Manusia berkebun di habitat orangutan dan ini sumber konflik. Celakanya, hanya manusia yang bisa mengokang senapan.
Di Kaltim, hanya berawal dari orangutan merusak kebun nanasnya, warga Desa Teluk Pandan jengkel. Ambil senapan, lalu menembak membabi buta. Dalam banyak kejadian lain, pembantaian terjadi di kebun sawit garapan warga.
Tentang hal ini, pemerhati orangutan dari Universitas Mulawarman, Yaya Rayadin, menjelaskan sederhana. Warga bisa jengkel dan kalap karena merasa orangutan akan membuat mereka bangkrut.
”Sawit bukan pakan alaminya. Namun, orangutan bisa penasaran dan belajar makan sawit. Perusahaan bisa menanggung kerugian, tapi tidak bagi warga. Satu orangutan dewasa, sehari sanggup makan 30 umbut (pohon sawit muda) yang jika dirupiahkan Rp 3 juta,” ujar Yaya.
Pemerintah sudah melakukan sekian cara melindungi orangutan. Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007-2017, misalnya. SRAK ini juga akan dilanjutkan pada 2018. Dampak positif SRAK 2010-2017, dikatakan Yaya, memang ada, meski sedikit.
”Pemetaan populasi orangutan di Sumatera dan Kalimantan sudah cukup baik. Partisipasi pihak swasta seperti perusahaan mulai terlihat. Namun di sisi lain, habitat orangutan, kan, juga terbuka semakin besar. Konflik orangutan dengan manusia masih terjadi,” kata Yaya.
Target pelepasliaran semua orangutan yang ada di tempat rehabilitasi pada akhir 2017 juga tak tercapai. Sosialisasi kepada masyarakat yang tinggal di lokasi habitat orangutan pun kurang.
”Masih ada, loh, warga yang tak tahu orangutan dilindungi,” ujarnya. Karena itu juga Yaya tak kaget, ketika pada Juli 2016, Badan Konservasi Dunia (IUCN) menaikkan status konservasi tiga subspesies orangutan kalimantan—Pongo pygmaeus pygmaeus, Pongo pygmaeus wurmbii, serta Pongo pygmaeus morio—menjadi critically endangered.
Status itu berarti satu strip di bawah punah. Satu tamparan keras bagi Indonesia, mengingat orangutan adalah simbol konservasi satwa liar. Ketiga subspesies orangutan Borneo ini menyusul orangutan sumatera (Pongo abelii) yang duluan berstatus kritis.
Berita pahit lima tahun sebelumnya yang membuat geger dunia internasional, yakni terungkapnya tiga kasus pembantaian orangutan di Kalimantan Timur, ternyata bukan kabar terburuk terakhir.
Kasus yang terjadi pada 2011 itu mungkin baru sebatas membuka mata kita. Saat itulah, untuk pertama kali pembantaian orangutan dibawa sampai ke meja hijau dan pelakunya divonis.
Perusahaan-perusahaan sawit, tambang, dan kayu semakin sadar. Ketika menjumpai orangutan di areal mereka, melukai primata itu bukan opsi yang dipilih. Sayangnya konflik tetap tak terhindarkan. Kenyataan berbicara.
Sekitar 80 persen dari populasi orangutan di Kaltim yang berada di landskap Kutai tinggal di kawasan nonkonservasi seperti sawit, konsesi batubara, sepanjang sungai, hingga kebun warga. Hanya 20 persen yang di kawasan konservasi (hutan).
Saatnya aturan ditegakkan. Larangan berburu di hutan, terutama taman nasional mestinya dijalankan. Seiring itu, kepemilikan senapan angin oleh warga mesti dibatasi. SRAK tahap kedua (SRAK 2018-2028) sudah disiapkan.
Berdasarkan data Laporan Orangutan, Populasi dan Penilaian Viability (PHVA) tahun 2016, populasi orangutan di Indonesia kian menurun. Pada periode 1997-2002 populasinya 101.489 individu, lalu menurun drastis menjadi 70.691 pada periode 2009-2014.
Ketua Forum Orangutan Kalteng (Forkah) Okta Simon menekankan, penyebab utama turunnya populasi orangutan adalah hilangnya habitat, yakni hutan, yang beralih fungsi. ”Muncullah konflik dengan manusia, perburuan, jual-beli, dan lainnya,” kata Okta.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng memaparkan laju deforestasi yang tinggi. Sejak 1990, tutupan hutan yang hilang mencapai 3,17 juta hektar atau 132.402 hektar per tahun. Hutan-hutan beralih jadi perkebunan dan pertambangan.
Orangutan adalah penjaga hutan karena perilakunya yang kerap menyebar biji tumbuhan sampai terbentuk kanopi hutan yang lebat. Kita harus menyelamatkan orangutan sebelum terlambat. Orangutan tidak bisa menyelamatkan diri mereka sendiri. (PRA/IDO)