Pesta Musim Semi Jadi Perekat Bangsa
Sudah 2.659 tahun penanggalan Imlek berjalan, di mana setiap awal tahunnya menjadi penanda kedatangan musim semi di belahan bumi utara. Puncak perayaan Pesta Musim Semi dilangsungkan pada hari ke-15 yang dikenal sebagai Cap Go Meh. Tahun ini perayaan ini akan jatuh pekan depan.
Pesta Cap Go Meh di Indonesia, sejak Presiden Abdurahman Wahid menyatakan Imlek sebagai hari besar nasional, berkembang menjadi ajang pawai budaya antarkelompok masyarakat di sejumlah tempat di Indonesia.
Menilik akar sejarahnya, kalender Imlek dimulai di China oleh para pelopor Khonghucu yang juga memiliki latar belakang beragam. Sesepuh Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), Budi S Tanuwibowo, menerangkan, pada masa ribuan tahun sebelum Masehi (SM), perayaan tersebut merupakan ibadah awal musim semi, penanda masa awal cocok tanam dan penanda jatuh-bangun dinasti.
Dinasti ini diduga kuat berasal dari etnis Proto Melayu yang sudah melangsungkan ritual Imlek sebagai upacara tahun baru menyambut musim semi.
Pada masa tersebut, manusia dari berbagai latar suku bangsa masih menjelajah benua, termasuk dari utara Asia hingga Asia Tenggara. Guru Besar Universitas Kyushu Aishawa Nobuhiro dalam satu kesempatan di Fukuoka, Kyushu, Jepang, menceritakan, manusia masih bergerak dari wilayah Kyushu ke daratan Asia wilayah Korea dan China serta sebaliknya. Hingga akhirnya terbentuk peradaban China, Korea, dan Jepang saat ini.
Pergerakan manusia dari Asia Utara ke Asia Tenggara itu juga mewarnai beragam penguasa daratan Asia yang menetapkan dan menentukan berbagai aturan terkait perayaan Imlek hingga Cap Go Meh.
”Pada era Dinasti Xia tahun 2205-1765 SM, dinasti ini diduga kuat berasal dari etnis Proto Melayu yang sudah melangsungkan ritual Imlek sebagai upacara tahun baru menyambut musim semi. Dinasti ini digantikan Dinasti Shang yang merupakan orang Han atau China saat ini dari tahun 1766 SM hingga 1122 SM,” tutur Budi.
Berbagai kelompok manusia yang saling terhubung di daratan Asia tersebut menjalankan ritual perayaan musim semi. Dinasti Zhao yang berkuasa tahun 1122-256 SM disebut Budi merupakan keluarga etnis Persia. Salah satu raja dinasti tersebut adalah Raja Sastra yang disebut Bun Ong yang sekaligus menjadi salah satu pelopor Khonghucu. Pada zaman dinasti tersebut, ”nabi” Khonghucu atau Kong Zi lahir pada tahun 551 SM.
Dinasti tersebut digantikan oleh Dinasti Chin (256-202 SM) dengan kaisarnya, Qin Shi Huang Di, yang terkenal membangun Tembok Besar China. Dia memaknai agama Khonghucu secara legalistik dan kaku sehingga mengakibatkan kerajaannya menjadi lemah lalu hancur.
Pada zaman Kaisar Han Wu Di dari Dinasti Chin, ditetapkan penanggalan Imlek dengan tahun pertama pada kelahiran Khonghucu, yakni 551 SM, sebagai tahun ”nol”, sebagai awal Im Yang Lik atau Kalender Bulan dan Matahari yang juga disebut Kong Zi Lie atau Kalender Khonghucu.
Hari besar
Budi Tanuwibowo mengingatkan, Presiden Soekarno menetapkan dalam Surat Keputusan Nomor 2 OEM tanggal 18 Juni 1946, ada empat hari besar Khonghucu, yakni hari wafat Nabi Khonghucu pada tanggal 18 bulan 2 Kalender Imlek, Qing Ming yang jatuh pada bulan April kalender Masehi, hari lahir Nabi Khonghucu pada tanggal 28 bulan 7 Kalender Imlek, dan tahun baru Imlek.
Indonesia dilahirkan bersama dan dirawat bersama.
Dengan sistem perhitungan Kalender Bulan (Lunar Calendar) dalam tradisi masyarakat Tionghoa yang berakar dari sistem agama Khonghucu, dipastikan tahun baru Imlek jatuh tidak lebih awal dari tanggal 20 Januari dan tidak melewati tanggal 19 Februari pada sistem Kalender Masehi.
Oleh Presiden Abdurahman Wahid, tradisi ribuan tahun yang menjadi bagian dari kegiatan masyarakat Tionghoa di Nusantara kembali menjadi ajang temu warga secara terbuka seperti masa-masa sebelum Orde Baru.
Menyambut Cap Go Meh semasa Gus Dur, acara yang diadakan tidak semata menjadi kegiatan budaya Tionghoa. Sejumlah tempat, seperti di Bangka Belitung, Kota Singkawang, dan Pontianak di Kalimantan Barat, serta sejumlah kota di Jawa, Sumatera, dan Bali, menggelar berbagai perayaan lintas budaya. Virgie, seorang pria asal Singkawang, menceritakan, pawai Cap Go Meh selalu menjadi tontonan warga lintas kelompok suku dan agama.
”Para tatung atau dukun yang diarak dan memperagakan kekebalan tubuh dengan ditikam biasanya adalah orang Dayak,” kata Virgie. Saat Kompas berkunjung ke Singkawang awal Januari 2018, dalam keseharian, kedai-kedai kopi di Singkawang dan kehidupan masyarakat memang senantiasa membaur di antara berbagai kelompok Tionghoa, Melayu, Dayak, dan suku lain.
Selain pawai budaya, Singkawang juga menggelar Pesta Lampion di kota tersebut. Kota Singkawang yang terletak tiga jam perjalanan darat dari Kota Pontianak dikenal sebagai kota dengan indeks toleransi nomor satu di Indonesia.
Di Jawa Tengah, Udaya Halim yang menggagas Museum Benteng Heritage di Pasar Lama Tangerang sedang menggalang upaya membangun sister city antara Kota Tangerang di Banten dan Lasem di Jawa Tengah dalam hal pelestarian sejarah peranakan Tionghoa yang membumi dengan budaya Jawa dan Betawi. Kegiatan Cap Go Meh juga menjadi salah satu agenda bersama yang turut dipromosikan Udaya.
Di Tangerang, Udaya dan masyarakat setempat merawat seni gambang kromong, perpaduan instrumen musik Tionghoa, Jawa, dan Betawi yang lebih dikenal sebagai kesenian Betawi. Tangerang hingga kini memiliki sejumlah kelompok gambang kromong yang masih ditanggap dalam berbagai perhelatan warga.
Udaya Halim juga memasang rekaman pertama ”Indonesia Raya” yang dibuat Yo Kim Tjan di Pasar Baru tahun 1927 yang dimainkan oleh WR Supratman jauh sebelum pelaksanaan Sumpah Pemuda tahun 1928 untuk menegaskan komitmen bersama membangun Indonesia Raya. ”Indonesia dilahirkan bersama dan dirawat bersama,” kata Udaya.
Penulis sejarah Geger Pacinan: Perang Koalisi Jawa-Tionghoa Melawan VOC, Daradjadi Gandasuputra, dalam berbagai kesempatan mengingatkan pentingnya merawat ingatan kebangsaan bersama. ”Dulu itu Pangeran Mangkubumi, Raden Mas Said, berjuang bersama Kapiten Tionghoa Sepanjang melawan VOC. Salah satu petilasannya adalah Kota Lasem. Ingatan kebersamaan itu harus dirawat agar masyarakat tidak mudah dihasut,” tutur Daradjadi yang berasal dari Pura Mangkunegara, Surakarta.
Ingatan kebersamaan itu harus dirawat agar masyarakat tidak mudah dihasut.
Adapun di Kota Bogor, sejak tahun 1999, acara Cap Go Meh yang dipusatkan di Wihara Dhanagun, Pasar Bogor, berkembang menjadi Pawai Budaya Cap Go Meh. Dalam berbagai kesempatan, penulis bertemu penggagas pawai budaya, Guntur Santoso, bersama sejumlah komunitas di Bogor, mulai dari komunitas adat Sunda, para habib seperti Habib Novel yang suka bergurau, hingga pendeta dan pastor dari sejumlah gereja dan Katedral Bogor.
”Inti dari acara ini adalah kebersamaan. Dari 25 kelompok peserta pawai, yang terbesar adalah dari kelompok seni Sunda. Panitia tidak dibayar dan semua bersifat kerja sama dan gotong royong. Ajaran Bung Karno mengingatkan, kekuatan bangsa Indonesia adalah kemampuan gotong royong,” ujar Guntur Santoso.
Dalam berbagai kesempatan menonton pawai Cap Go Meh di Kota Bogor, sejumlah kelompok seni Tionghoa, Sunda, Jawa, Bali, dan berbagai kelompok suku yang ada di Bogor dan sekitarnya menggelar arak-arakan sejauh 2 kilometer dari arah Gerbang Utama Kebun Raya Bogor di Pasar Bogor menuju pertigaan Jalan Batutulis yang membentang di pusat Kota Bogor.
Arak-arakan barongsai, liong, seni angklung sunda, reog ponorogo, marching band, seni budaya Islam, barong bali, dan berbagai kelompok seni tampil dalam Pawai Cap Go Meh Bogor.
Sepintas lalu, acara tersebut seperti Chingay Procession di Singapura yang menampilkan budaya Melayu, Tionghoa, dan India bersama-sama dan menjadi magnet bagi wisatawan, sekaligus menjadi perekat masyarakat. Dalam pawai di Kota Bogor, Pawai Budaya Cap Go Meh tersebut dihadiri hingga 200.000 orang yang memenuhi sepanjang Jalan Suryakencana di dekat Pasar Bogor hingga ujung Jalan Siliwangi.
Guntur Santoso optimistis, pesan dan semangat kebangsaan dalam pawai Cap Go Meh tersebut akan membawa kebaikan dalam kehidupan bersama dan merawat Kota Bogor serta menjadi contoh bagi masyarakat Indonesia.
Pesta budaya yang menjadi perekat kebangsaan itulah kekhasan perayaan Cap Go Meh di Indonesia yang patut dijual sebagai ikon wisata dan memperkuat semangat kebangsaan....