Ketika belum ada perusahaan taksi resmi, taksi milik perseorangan yang mangkal di beberapa tempat di Jakarta menjadi andalan warga. Kita biasa menyebutnya taksi gelap. Tak ada tarif resmi, ongkos taksi bergantung pada kesepakatan antara konsumen dan pengemudi.
Awal 1970-an, selain taksi gelap sudah ada beberapa perusahaan taksi resmi, seperti Gamya, Morante, Blue Bird, Sri Medali, dan Royal City Taxi. Namun, jumlahnya amat terbatas dan biasanya taksi resmi mangkal di hotel-hotel bintang lima serta bandara. Kalau kita memesan taksi resmi via telepon, jangan harap bisa mendapatkannya dalam waktu satu-dua jam.
Untuk menertibkan taksi gelap sekaligus menyediakan taksi yang dikelola dengan baik, Pemda DKI membuka pendaftaran taksi resmi. Namun, sampai batas waktu 6 Maret 1972, dari sekitar 1.000 taksi gelap, yang mendaftar hanya 127 pemilik. Sisanya memilih tetap jadi taksi gelap.
Sekitar 1973, taksi resmi sudah menggunakan argometer dengan tarif yang ditentukan pemerintah. Sebanyak 605 taksi gelap yang kemudian bergabung dalam PT President Taxi juga menggunakan argometer. Sampai pertengahan 1970-an, diperkirakan 1.200 taksi gelap masih beroperasi di Jabodetabek.
Walaupun pengelolaan taksi sudah berada di bawah manajemen resmi, ada saja pengemudi yang nakal. Contohnya, mengutak-atik argometer yang mengakibatkan konsumen harus membayar lebih mahal daripada tarif resmi. Ulah nakal pengemudi taksi ini populer disebut ”argo kuda”.
Tahun 1986, sebagian pengemudi taksi Ratax mendemo manajemen karena dianggap tak memperhatikan kesejahteraan pengemudi.
Tanpa bermaksud menyamakan taksi aplikasi (taksi daring) dengan taksi gelap, akhir Januari 2018 pemilik atau pengemudi taksi daring kembali berdemo. Kali ini berkaitan dengan peraturan pemerintah yang, antara lain, mewajibkan taksi daring mengikuti uji kelaikan kendaraan dan penempelan stiker penanda di mobil. Di sisi lain, pemerintah memberlakukan ketentuan tersebut demi keamanan konsumen dan pengemudinya. (CP)