Kedaulatan Pangan dalam Ancaman
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dikenal sebagai negeri subur, berlimpah sumber daya pangan. Namun, ketergantungan pada impor bahan makanan bisa membawa negeri ini ke dalam krisis pangan.
Peringatan tentang ancaman krisis pangan ini disampaikan Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa dalam diskusi di Kompas, pekan lalu. ”Proporsi gandum sebagai pangan pokok kita sudah melonjak dari 21 persen tahun 2015 menjadi 25,4 persen pada 2017. Ini telah melewati ambang kritis 25 persen yang saya khawatirkan,” katanya.
Proporsi gandum sebagai pangan pokok ini, kata Dwi, akan terus meningkat setiap tahun. ”Masalahnya, 100 persen gandum kita itu impor,” katanya.
Sejumlah penelitian menunjukkan, pola konsumsi masyarakat Indonesia saat ini semakin seragam pada dua komoditas pangan utama, yaitu beras dan terigu. Berdasarkan data yang diolah dari Badan Pusat Statistik, tahun 1954, porsi beras dalam memenuhi pangan pokok masyarakat hanya 53,5 persen, sisanya dipenuhi dari ubi kayu 22,26 persen, jagung 18,9 persen, dan umbi-umbian 4,99 persen. Tahun 1981, pola konsumsi pangan pokok bergeser drastis. Beras menempati porsi 81,1 persen, ubi kayu 10,02 persen, dan jagung 7,82 persen. Pada 1999, konsumsi ubi kayu tinggal 8,83 persen dan jagung 3,1 persen.
Memasuki 2010, pola konsumsi pangan pokok selain beras nyaris hilang, terutama digantikan gandum. Konsumsi beras yang turun pada 2012 kembali meningkat. Jika pada 2012 konsumsi beras 96,6 kilogram per kapita per tahun, tahun 2016 jadi 101 kg per kapita per tahun. Angka ini termasuk yang tertinggi di dunia, jauh mengalahkan negara pengonsumsi beras lain, seperti Malaysia, Thailand, dan Jepang.
Kendala produksi
Penyeragaman konsumsi pangan ke beras dan gandum membuat upaya pemenuhan pangan di Indonesia jadi lebih kompleks. Padahal, Indonesia menghadapi laju pertumbuhan penduduk yang kian cepat. Pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan juga kian mendesak basis produksi pangan di Jawa dan Bali yang selama ini menjadi lumbung padi nasional.
Konversi lahan pertanian ini terlihat nyata di Karawang, Jawa Barat, salah satu lumbung padi terbesar di Indonesia. Sawah berubah menjadi perumahan.
Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Jabar Hendy Jatnika mengatakan, sawah juga berubah menjadi jalan tol hingga proyek strategis nasional, seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan Bandar Udara Internasional Jabar di Kabupaten Majalengka.
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi mengatakan, laju konversi lahan sawah berkisar 100.000-110.000 hektar per tahun. Untuk mengatasinya, pemerintah mencetak sawah baru. Program ini bagian dari upaya swasembada tiga sektor utama, yaitu padi, jagung, dan kedelai atau dikenal sebagai ”pajale”.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dalam sejumlah kesempatan menyatakan optimistis mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai lumbung pangan dunia tahun 2045. Selain gencar menambah luas tanam untuk meningkatkan indeks pertanaman, sawah-sawah baru juga dicetak untuk memacu produksi pangan.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, selama 2015-2017 pemerintah mencetak 209.410 hektar sawah baru. Dari jumlah itu, mayoritas di luar Jawa. Hanya 887,18 hektar (0,42 persen) di Jabar. Namun, berdasarkan audit khusus Badan Pemeriksa Keuangan, realisasi cetak sawah baru sejak 2015 hingga semester I-2017 baru mencapai 150.959 hektar. Penyerapan anggaran Rp 2,6 triliun dari alokasi penambahan luas sawah tanaman pangan sebesar Rp 4,1 triliun. BPK juga memberikan catatan, terutama terkait status lahan serta proses survei, investigasi, dan desain (SID).
Pelaksana Tugas Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Tunggul Iman Panudju mengatakan, seluruh lahan yang digarap telah melalui proses SID dan memenuhi syarat terkait lahan, sumber air, dan petani.
Tantangan
Menurut Dwi, upaya cetak baru sawah bukan jawaban untuk mengatasi persoalan pangan. Selain persoalan ekologi berbeda, tidak semua masyarakat di luar Jawa memiliki budaya bercocok tanam padi. ”Sejak Orde Baru, upaya cetak sawah kebanyakan gagal,” katanya.
Selain tantangan penyusutan lahan, produksi beras saat ini juga terancam ledakan hama penyakit, khususnya wereng batang coklat yang semakin kerap terjadi. Menurut Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia Yunita T Winarto, ledakan hama wereng ini dipicu penggunaan pestisida yang semakin tinggi seiring keran impor yang terbuka.
Tantangan lain ke depan adalah perubahan iklim. Berdasarkan kajian Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) bersama Kementan serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika yang dirilis Januari 2018, tanaman padi sangat rentan terdampak perubahan iklim. Menurut kajian ini, dalam kurun waktu 20-50 tahun mendatang, diperkirakan akan terjadi penurunan produksi padi hingga 1,5 ton per hektar di delapan provinsi penghasil utama.
Dengan terus bertambahnya pemakan beras dan gandum sementara upaya peningkatan produksi semakin sulit dilakukan, Indonesia perlu merumuskan ulang kebijakan pangan. ”Kita harus kembali pada keragaman pangan lokal,” ujar Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Said Abdullah. (AIK/MKN/FLO/REN/SEM)