JAKARTA, KOMPAS — Menjelang Pemilu Legislatif 2019, terjadi potensi partai politik peserta pemilu melakukan pelanggaran kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan. Indikasi pelanggaran ini sudah mulai terlihat dengan kemunculan iklan parpol di media massa, khususnya televisi.
Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Hardly Stefano mengatakan, pada 20 Februari tercatat, ada 12 stasiun televisi yang menanyangkan iklan parpol dengan jumlah 105 spot iklan berdurasi 15 detik.
”Kami telah memberikan teguran kepada stasiun televisi tersebut. Delapan stasiun televisi telah menghentikan penayangan iklan partai politik. Masih ada empat stasiun televisi yang menyiarkan iklan partai politik,” katanya dalam acara Sosialiasasi PengaturanKampanye Pemilu 2019 di Jakarta, Senin (26/2).
Empat stasiun televisi ini masih menayangkan iklan Partai Persatuan Indonesia (Partai Perindo). Hardly mengatakan, KPI telah mengirimkan surat kepada empat stasiun televisi ini. ”Peraturan ini dibuat untuk memberikan kesetaraan bagi partai yang tidak mempunyai akses untuk memanfaatkan frekuensi publik sebagai media kampanye,” ujarnya.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan Misbah menjelaskan, berdasarkan UU Nomor 7 tentang Pemilihan Umum, parpol peserta pemilu legislatif baru boleh melakukan kampanye pada 23 September 2018.
”Pada tanggal tersebut, parpol baru boleh melakukan kampanye dengan metode pemasangan alat peraga, pertemuan tatap muka, dan rapat umum. Adapun kampanye menggunakan media massa elektronik, cetak, dan internet baru boleh dilakukan pada 24 Maret 2019,” ucapnya.
Pada masa jeda sebelum 23 September 2018, parpol peserta pemilu hanya boleh melakukan sosialisasi dengan cara pemasangan bendera dengan nomor urut partai dan pertemuan internal parpol. Namun, dalam praktiknya, sejumlah pelanggaran kampanye di luar jadwal sudah mulai bermunculan sejak Februari ini.
Selain itu, sejumlah potensi permasalahan pemberitaan di media massa juga menjadi salah satu hal yang perlu diantisipasi. Pemberitaan di media massa terkait media massa dikhawatirkan tidak proporsional dan lebih cenderung kepada penggiringan opini publik.
”Hal ini terlihat dari penayangan hasil hitung cepat pada hari-H yang persentasenya berbeda-beda di beberapa stasiun televisi. Kemudian, sejumlah stasiun televisi juga menayangkan kembali liputan mengenai kampanye parpol di masa tenang,” kata Hardly.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menyampaikan, kampanye di luar jadwal juga rentan terjadi di media cetak dan elektronik. Sejumlah pengurus partai tidak boleh menulis opini atau tajuk rencana yang menggiring opini publik.
”Untuk pemberitaan mengenai kampanye, tidak ada larangan dari Dewan Pers. Namun, pemberitaan dengan iklan terkadang sulit dibedakan di media masa cetak,” katanya.
Sanksi tegas
Sejumlah anggota parpol yang hadir dalam acara tersebut mempertanyakan sanksi tegas apa yang akan diberikan kepada media massa atau parpol yang melakukan pelanggaran kampanye di luar jadwal ini.
Mereka mempertanyakan, apakah akan ada sanksi diskualifikasi bagi partai yang melanggar peraturan ini.
Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Raja Juli Antoni mengatakan, panitia penyelenggara pemilu harus bisa membuat regulasi kampanye yang tegas. Sistem yang dibentuk juga harus mampu mengakomodasi partai-partai baru yang sulit mendapat akses ke frekuensi publik dan banyak memanfaatkan media sosial sebagai sarana kampanye.
Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lodewijk Freidrich Paulus mengatakan, sebaiknya parpol diberikan keleluasaan untuk berkampanye dan tidak terlalu banyak aturan yang mengikat. Namun, jika sudah ada aturan-aturan seperti ini, seharusnya penyelenggara pemilu bisa memberikan sanksi terhadap parpol yang melakukan pelanggaran kampanye.
”Pada Pemilu 2014, penyelenggara pemilu seakan tertutup dan peraturan terkait hal ini tidak diberi tahu kepada masyarakat sehingga tidak terlalu terlihat sanksi tegasnya,” ucapnya.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, mengatakan, saat ini sanksi tegas terhadap para pelanggar baru berupa sanksi administratif. Belum ada sanksi tahanan atau sanksi diskualifikasi yang ditetapkan penyelenggara pemilu dan penegak hukum. Sanksi ini tertuang dalam UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum.
Berdasarkan UU No 7/2017, Pasal 492 disebutkan, setiap orang dengan sengaja melakukan kampanye pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/ kota untuk setiap peserta pemilu dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dengan denda paling banyak Rp 12 juta. (DD05)