Berada di daerah kelokan aliran Sungai Ciliwung membuat Sekolah Menengah Atas Negeri 8 Jakarta akrab disapa banjir. Dahulu, banjir menyapa sampai 13 kali dalam setahun. Kini, seiring dengan penataan sungai, banjir perlahan surut dan tinggal kenangan.
Aliya (16) ingat betul tahun 2017, saat ia kerja bakti memindahkan meja dan kursi karena air masuk ke pagar belakang sekolah. Saat itu, hujan deras di Bogor, hulu Ciliwung. Ketinggian air di bendung Katulampa dan Depok juga tinggi.
“Air masuk kira-kira semata kaki ke ruang kelas di lantai bawah. Akhirnya kami disuruh berkemas-kemas. Buku- buku dikemasi, dan meja-kursi dipindahkan,” tutur siswa kelas XI SMAN 8, Kamis (22/2).
Sejak awal, Aliya tahu kalau sekolah ini rawan tergenang banjir karena letaknya di area lekukan Sungai Ciliwung. Selain itu, badan jalan terus ditinggikan sehingga air hujan melimpas ke sekolah. Lapangan basket di halaman sekolah pun ditinggikan. Kini, tak ada lagi jarak antara dasar lapangan basket dengan lantai dasar sekolah.
“Dari awal masuk sudah tahu kalau sekolahnya sering kebanjiran. Tapi tetap kepingin masuk sini karena bagus sekolahnya,” tutur Aliya.
Ia dan teman-teman sekelas terkadang justru senang karena jatah libur bertambah akibat banjir.
Beberapa tahun terakhir, kepala sekolah meminta kegiatan belajar mengajar tetap dilaksanakan. Pihak sekolah meminjam gedung lain untuk belajar saat banjir menggenang.
Wakil Kepala SMAN 8 Bidang Humas Waridin mengatakan, sejak ia bertugas pada tahun 1996, banjir bisa terjadi 13 kali setahun, dengan durasi hingga sebulan penuh. Saat banjir besar seperti tahun 1997, 2000, dan 2012, ketinggian air sampai empat meter. Air merendam seluruh bangunan sekolah hingga yang terlihat hanya atapnya. Saat surut, sisa lumpur bisa mencapai 1 meter. Guru, siswa, Pemprov DKI, hingga TNI membersihkan sisa-sisa banjir.
“Walaupun Jakarta sedang panas terik, kalau Bogor atau Puncak hujan deras, air bisa masuk sampai ke kelas,” kata Waridin.
Saking seringnya kebanjiran, guru sering memadatkan pelajaran di semester I. Inilah siasat menghadapi kacaunya aktivitas belajar-mengajar di musim penghujan.
Kisah baru
Tahun ini, setelah Pemprov DKI dan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) menata bantaran kali, sekolah yang dikenal dengan sebutan Semandel ini bebas banjir. Saat bendung Katulampa siaga 1, awal Februari lalu, Smandel tidak kebanjiran lantaran tanggul beton sudah dibangun BBWSCC di Kelurahan Bukit Duri.
Banjir pindah ke wilayah lain yang belum ditanggul yaitu permukiman padat penduduk di Manggarai dan Jatinegara Barat.
“Baru sekali ini, momen sekolah kami tidak kebanjiran padahal bendung Katulampa statusnya siaga 1,” ucap Waridin.
Siswa dan guru pun tenang belajar di gedung sekolah tanpa kebanjiran. Mereka juga tidak perlu mengungsi.
Kompleks PJKA
Meski lekat dengan banjir, pamor Smandel sebagai sekolah favorit dan berprestasi tak pernah surut. Sejak tahun 1996 hingga sekarang, peringkat ujian nasional SMAN 8 selalu tiga besar provinsi. Sekolah kerap memenangi lomba akademis maupun nonakademis seperti Olimpiade Sains Nasional (OSN). Sekolah ini juga punya kelas internasional dan pusat studi astronomi.
Alumnus Smandel di antaranya Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar, Wali Kota Tangerang Arief Wismansyah, serta aktor Nicholas Saputra.
SMAN 8 dibangun di Jalan Taman Bukit Duri RT 002 RW 012, tahun 1971. Sebelumnya, lokasi ini adalah lapangan sepak bola. SMAN 8 Jakarta sudah pindah dua kali. Pertama, di Jalan Slamet Riyadi, Jakarta Timur. Sekolah dipindah ke SMPN 3 di Jalan Manggarai Utara 4.
Jalan Taman Bukit Duri juga digunakan sebagai kompleks pegawai Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) yang sekarang bernama PT Kereta Api Indonesia (KAI). Rumah dinas dibangun sejak zaman Belanda, sebelum perusahaan itu dinasionalisasi.
Amalia Nurmayani (60), anak mantan pegawai teknik di PJKA, sudah 49 tahun tinggal di rumah dinas di seberang SMAN 8 Jakarta. Ia pindah sejak kelas 3 SD. Sebelum menjadi seperti sekarang, lingkungan Jalan Taman Bukit Duri rindang dengan banyak pepohonan.
Amalia mengingat, banjir muncul di Jalan Taman Bukit Duri sekitar tahun 1980-an. Ketinggian banjir pun bervariasi, mulai 50 cm hingga empat meter. Rumah Belanda bercat putih yang ia tinggali pernah kebanjiran hingga empat meter. Hanya atap yang terlihat. Noda bekas air masih ada di tembok rumah itu.
“Mulai tahun ini sudah tidak ada lagi banjir. Mungkin, masih ada banjir tetapi cuma di bagian dapur belakang yang memang rendah lokasinya,” kata Amalia.