JAKARTA, KOMPAS — Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan berkurangnya lahan pertanian, Indonesia tidak dapat mencapai kedaulatan pangan. Bahkan, Indonesia tidak dapat lagi disebut sebagai negara agraris.
Berdasarkan data World Bank tahun 2017, jumlah lahan pertanian di Indonesia hanya 570.000 kilometer persegi atau 31 persen dari jumlah luas wilayah Indonesia. Jumlah tersebut berada di bawah Thailand sebesar 43,3 persen, Australia 52, 9 persen, dan China 54,8 persen.
Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 261,1 juta, setiap penduduk hanya memiliki 0,22 hektar lahan pertanian. Jumlah tersebut di bawah Thailand sebesar 0,32 hektar, China 0,35 hektar, dan Australia 16,67 hektar.
Kepala Bidang Riset Center for Indonesian Policy Studies Hizkia Respatiadi mengatakan, Indonesia tidak lagi menjadi negara agraris. “Selain minimnya lahan pertanian, tenaga kerja pertanian juga minim,” kata Hizkia saat ditemui di Jakarta, Senin (26/2).
Direktur Direktorat Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian Institut Pertanian Bogor Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan, Indonesia tidak akan dapat memperoleh swasembada pangan seperti pada masa orde baru. Hal itu terjadi karena perubahan jumlah lahan dan penduduk Indonesia.
Jumlah penduduk pada masa orde baru merupakan setengah dari jumlah penduduk Indonesia saat ini. Selain itu, lahan di Indonesia masih luas. Pada masa itu, pola konsumsi masyarakat Indonesia juga masih bervariasi, seperti Papua yang mengkonsumsi sagu. “Saat ini, sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi beras,” kata Dodik.
Berdasarkan data yang diolah dari Badan Pusat Statistik, tahun 1954, porsi beras dalam memenuhi pangan pokok masyarakat hanya 53,5 persen, sisanya dipenuhi dari ubi kayu 22,26 persen, jagung 18,9 persen, dan umbi-umbian 4,99 persen. Tahun 1981, pola konsumsi pangan pokok bergeser drastis. Beras menempati porsi 81,1 persen, ubi kayu 10,02 persen, dan jagung 7,82 persen. Pada 1999, konsumsi ubi kayu tinggal 8,83 persen dan jagung 3,1 persen.
Memasuki 2010, pola konsumsi pangan pokok selain beras nyaris hilang, terutama digantikan gandum. Konsumsi beras yang turun pada 2012 kembali meningkat. Jika pada 2012 konsumsi beras 96,6 kilogram per kapita per tahun, tahun 2016 jadi 101 kg per kapita per tahun. Angka ini termasuk yang tertinggi di dunia, jauh mengalahkan negara pengonsumsi beras lain, seperti Malaysia, Thailand, dan Jepang.
Petani berkurang
Meningkatnya jumlah permintaan beras, tidak diimbangi dengan kesejahteraan petani di Indonesia. Akibatnya, masyarakat Indonesia tidak tertarik menjadi petani.
Hizkia mengatakan, petani tidak lagi menjadi mata pencaharian utama penduduk Indonesia. Hanya ada 33 persen penduduk yang menjadi petani di Indonesia. Jumlah tersebut berada di bawah sektor jasa, yaitu sebesar 45 persen dan berada di atas sektor Industri sebesar 22 persen.
Keluarga petani mulai meninggalkan sektor pertanian karena tidak lagi memiliki akses tanah. “Mereka beralih bekerja memanfaatkan perkembangan teknologi daripada mengembangkan lahan yang dimiliki,” kata Hizkia.
Salah satu faktor penyebab ketidaktertarikan menjadi petani, yaitu pengaruh harga beli yang berada di bawah biaya pokok produksi. Dodik mengatakan, harga pembelian pemerintah (HPP) pada petani hanya Rp 3.700 per kilogram, padahal biaya pokok produksi mencapai Rp 4.200 per kilogram.
Koordinator Lembaga Pendamping Usaha Buruh Tani dan Nelayan wilayah Yogyakarta Gregorius Ismono mengatakan, sebagai petani organik, ia menentukan harga sendiri demi kesejahteraan petani. Ia menjual Rp 15.000 per kilogram.
“Konsumen tidak mempermasalahkan harga tersebut karena mereka memilih beras organik daripada beras yang perawatannya menggunakan bahan kimia,” kata Gregorius.
Saat ini, permasalahan yang dialami oleh Gregorius, yaitu permintaan pasar tidak seimbang dengan hasil panen. Hal itu terjadi karena keterbatasan lahan. Ia berharap pemerintah menghentikan pembangunan perumahan di area persawahan.
Melihat permintaan konsumen yang tidak seimbang, Hizkia menyarankan agar pemerintah memprioritaskan masalah ketahanan pangan. Hal itu bertujuan agar jumlah penderita gizi buruk di Indonesia tidak semakin meningkat.
Impor beras menjadi salah satu solusi untuk menjaga ketahanan pangan tersebut. Hizkia berpandangan, dengan jumlah stok beras yang melimpah, maka harga beras relatif murah dan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia akan tercukupi. (DD08)