Cacing ”Nyale”, dari Tradisi Budaya hingga Media Penelitian
Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, menetapkan gelaran Pesona Bau Nyale pada 6-7 Maret 2018 di Pantai Seger, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Kute, sekitar 55 kilometer di selatan Mataram, ibu kota NTB.
Menurut Lalu Putria, Kepala Dinas Pariwisata Lombok Tengah, penetapan itu berdasarkan hasil rapat atau Sangkep Warige, yang memperkirakan dalam dua hari itulah cacing laut (nyale) keluar dan menepi ke pantai.
Beberapa hari sebelum puncak bau (menangkap) nyale, digelar berbagai lomba, seperti peresean (permainan adu pukul menggunakan rotan, dan pemain dilengkapi perisai untuk menangkis pukulan), voli pantai, berselancar, pemilihan Puteri Mandalika, betandaq (semacam berbalas pantun), parade budaya, dan pentas drama Legenda Puteri Mandalika.
Namun, lomba-lomba itu tidak terkonsentrasi di satu tempat, seperti lomba peresean digelar di Bukit Meresek, sekitar 1,5 km dari Pantai Kute, sehingga warga umumnya memilih menonton lomba yang digelar di tempat yang mudah terjangkau, seperti di Pantai Kute untuk lomba voli pantai.
Lomba melibatkan peserta lokal dan wisatawan asing. ”Masyarakat cukup senang dan terhibur oleh lomba-lomba itu,” ujar Yopi, pemilik hotel Segara Anak di Pantai Kute.
Lepas dari ragam acara yang digelar itu, Bau Nyale agaknya menjadi media pendidikan bidang astronomi. Hal ini karena untuk menentukan keluarnya nyale diperlukan pengetahuan tentang fenomena di luar atmosfer bumi.
Masyarakat etnis Sasak, Lombok, mengenal Bintang Rowot (Pleiades) dan Bintang Tenggale (Orion). Rasi bintang itu muncul dari timur laut selama 11 bulan.
Kemunculan Bintang Rowot itu dipadukan dengan perhitungan pada Wariga (papan berisi gambar dan simbol). Hasil pengamatan di alam, perhitungan Wariga dan merujuk cerita Puteri Mandalika dalam naskah, lalu disimpulkan sebagai saat nyale menepi ke pesisir.
Bahkan, hasil perhitungan secara tradisional dijadikan pedoman untuk kegiatan usaha pertanian (pranata mangsa) seperti mengawali masa tanam padi.
Naskah Lontar Legenda Puteri Mandalika menceritakan sang putri menolak pinangan beberapa pangeran. Ia lebih memilih menjadi ”milik” rakyat yang sangat dicintainya. Untuk itu sang putri menceburkan diri di laut Pantai Seger dan berjanji kembali menemui rakyatnya tiap tahun pada bulan purnama tanggal 20 bulan 10 Purnama Penanggalan Sasak di Pantai Seger.
Oleh karena itu, masyarakat berbondong-bondong ke pantai itu menemui sang putri yang menjelma menjadi nyale. Di Lombok ada nyale tunggak (awal/pokok) dan nyale poto (ujung/akhir) yang jarak kemunculannya sekitar 30 hari.
Usaha tani
Dalam perkembangannya, cacing nyale bentuk kearifan lokal karena dirasakan memiliki banyak manfaat. Masyarakat mengonsumsi nyale karena dianggap memiliki protein tinggi.
Adapun dalam aktivitas usaha tani, nyale disimpan atau ditaburkan ke areal sawah agar tanaman terhindar dari gangguan hama dan penyakit. Konon pula semakin banyak nyale yang terkumpul, semakin banyak mendapat anugerah rezeki dari Tuhan.
”Ada juga yang menggunakan nyale sebagai tumpu (obat) penyakit. Apabila ada suami-istri tidak akur, pasangan itu diminta makan nyale jadi tumpu-nya,” ujar Ahmad JD, pemerhati budaya Sasak, Lombok, di Mataram.
Selain Pantai Seger, lokasi Bau Nyale di Lombok ada di beberapa pesisir selatan Lombok Timur, seperti Pantai Sungkun, Kuang Rondon, Tanjag-Anjah, Sekaroh dan Pantai Kaliantan, Desa Seriwe, Lombok Timur, sekitar 86 km tenggara Mataram ibu kota NTB.
Di Pantai Kaliantan gelaran Bau Nyale disertai tradisi acara betandaq atau semacam berbalas pantun yang pesertanya kalangan muda-mudi sebelum menangkap nyale.
Nyale juga ditemukan di Pantai Wanokaka, Sumba Barat. Sebelum turun ke pantai, warga menggelar Festival Pasola, permainan adu ketangkasan melempar lembing.
Pemainnya baku lempar lembing dari atas kuda yang berlari. Namun, baik di Lombok maupun di Sumba Barat yang menganut kepercayaan Marapu sama-sama memaknai nyale yang ditangkap dalam jumlah besar akan mendapatkan rezeki berlimpah dari Yang Maha Esa.
Ajang penelitian
Selain ada dimensi budayanya, Bau Nyale di Lombok bisa menjadi media edukasi dan ladang penelitian bagi siswa dan mahasiswa.
Sebagai obyek penelitian, pakar hepatitis B, Soewignjo Soemohardjo (alm), merintisnya pada acara Bau Nyale 23 Februari 1992 di Pantai Seger. Saat itu diamati peristiwa biologi, ekologi, dan habitat cacing laut itu pada kedalaman 30 meter.
Satu keunikan cacing laut ini adalah kemunculannya lima hari setelah purnama penuh, sekali setahun. Dugaan sementara, ritmik kehidupan cacing ini ada kaitannya dengan siklus rembulan. Kemunculan untuk vertilisasi dan reproduksi.
Proses vertilisasi cacing ini dengan cara badan bagian bawah terpotong, dan perkawinan jantan (sperma) dengan betina (telur) terjadi melalui media air laut.
Pertemuan sperma-telur menghasilkan zygote yang membuahkan cacing. Warna cacing yang banyak ditemukan adalah merah, hijau, abu-abu, dan belang (coklat kuning).
Juga cacing yang dominan adalah spesies Neanthes (=Nereis) Virens. Cacing semacam dengan spesies yang berbeda (saat ini di dunia sekitar 5.300 spesies) ditemukan di pantai karang lainnya di dunia, seperti di Meksiko yang kemunculannya biasanya pada Juni-Juli, tergolong famili Eunice, dan Fiji berupa famili Eunice viridis.
Cacing laut ini pun memiliki kandungan protein tinggi. Jika telur ayam ras memiliki kandungan protein 12,2 persen, dan susu sapi 3,50 persen, kandungan protein nyale mencapai 43,84 persen (gembolransel.com).
Sebagai media penelitian, bisa saja cacing nyale dipelihara dalam akuarium pada laboratorium Oseanologi Nasional.