BEKASI, KOMPAS — Investasi di bidang industri farmasi yang mampu meningkatkan kapasitas produksi obat dan alat kesehatan sangat penting bagi Indonesia. Selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi, hal itu sekaligus bisa berfungsi untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan baku obat dan obat impor.
Terkait hal itu, industri farmasi nasional memasuki babak baru. Kebutuhan bahan baku obat dan produk biologi mulai dapat dipenuhi dari produsen dalam negeri. Kepastian itu muncul setelah berdirinya pabrik pemasok kebutuhan tersebut, yakni PT Kalbio Global Medika (KGM), di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat.
Presiden Joko Widodo menyampaikan hal itu saat meresmikan pabrik bahan baku obat dan produk biologi PT KGM yang merupakan anak perusahaan PT Kalbe Farma Tbk di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Selasa (27/2). Turut hadir dalam peresmian itu Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, serta Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny Kusumastuti Lukito.
Industri farmasi nasional memasuki babak baru. Kebutuhan bahan baku obat dan produk biologi mulai dapat dipenuhi dari produsen dalam negeri.
Presiden menyatakan, peresmian pabrik bahan baku obat dan produk biologi milik PT KGM memiliki tiga makna sekaligus, yakni dari sisi investasi, inovasi, dan kesehatan. Dari sisi inovasi, pabrik itu merupakan wujud investasi yang diperlukan untuk menggerakkan perekonomian.
Lompatan teknologi
Kehadiran pabrik itu juga bisa dilihat dari sisi inovasi. Pabrik tersebut merupakan salah satu wujud lompatan teknologi yang signifikan bagi Indonesia. ”Ini adalah lompatan sehingga kita tidak ditinggal oleh negara-negara lain,” kata Presiden.
Pabrik yang didirikan di atas tanah seluas 11.000 meter persegi itu bukan hanya pabrik obat biasa. Pabrik tersebut adalah pabrik produk bioteknologi. Dengan begitu, dalam hal perkembangan teknologi Indonesia tidak ketinggalan dari negara lain.
Hadirnya pabrik bahan baku obat dan produk biologi itu turut mendorong pembangunan kesehatan. Seiring meningkatnya perekonomian Indonesia akan terbentuk kelas menengah baru yang memiliki tuntutan standar hidup lebih, termasuk dalam kesehatan dan pengobatan. Dalam hal terapi, masyarakat akan terus menghendaki metode terapi yang termutakhir.
Nila Moeloek memaparkan, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang telah diimplementasikan sejak 2014 turut mendorong tingginya permintaan akan obat. Jaminan ketersediaan obat menjadi penting sehingga manfaat program JKN bisa dirasakan masyarakat dengan baik.
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang telah diimplementasikan sejak 2014 turut mendorong tingginya permintaan akan obat.
Kondisi ini memerlukan industri farmasi kuat yang sanggup memberikan jaminan ketersediaan obat di fasilitas kesehatan. Dengan semakin tingginya permintaan obat, harganya pun bisa ditekan. ”Ketahanan obat dalam negeri perlu dijaga. Oleh karena itu, kemandirian obat dan bahan baku obat perlu terus diupayakan,” ujarnya.
Nila berharap, bermunculannya investasi di bidang industri farmasi bisa kemudian menekan harga obat menjadi semakin terjangkau. Selain itu, investasi juga diharapkan bisa mempercepat alih teknologi dari negara lain. Ada sejumlah kerja sama antara perusahaan farmasi dalam negeri dan luar negeri yang sedang berjalan dalam produksi obat dan alat kesehatan dasar, seperti jarum suntik, benang jahit, dan infus.
Presiden Direktur PT Kalbe Farma Tbk Vidjongtius memaparkan, pabrik PT KGM telah mendapatkan sertifikat Cara Pembuatan Bahan Baku Aktif Obat yang Baik (CPBBAOB) dan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan BPOM. Diproyeksikan produk dari pabrik ini siap dipasarkan pada akhir 2018.
”Hal yang pertama akan dirilis adalah eritropoietin (EPO) yang sangat dibutuhkan dalam pengobatan cuci darah dan kanker. Produk ini ditujukan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri dan direncanakan diekspor juga ke negara-negara ASEAN dan beberapa negara lain,” katanya.
Selain eritropoietin, pabrik tersebut juga akan memproduksi Granulocyte Colony Stimulating Factor (GCSF) yang merupakan obat untuk meningkatkan produksi granulosit, efepoietin (long acting EPO) yang berfungsi menstimulasi pembentukan sel darah merah, insulin, dan beberapa produk monoklonal antibodi (MAb) untuk pengobatan kanker. ”Dalam lima tahun ke depan akan ada enam produk yang akan dikembangkan,” ujarnya.
Selama ini, EPO yang dipakai di Indonesia adalah impor dari negara lain. Setelah pabrik PT KGM dibangun, Vidjongtius berharap bahan baku EPO bisa dibuat di dalam negeri sekaligus juga produksi barang jadinya. Bahkan, dalam tempo lima tahun ke depan akan dikembangkan EPO generasi kedua.
Untuk itu, diperlukan investasi tidak hanya finansial, tetapi juga teknologi dan sumber daya manusia. Di tahap awal investasi, yang dikeluarkan PT KGM untuk membangun fasilitas produksi sebesar Rp 500 miliar. Di luar itu, investasi sebesar Rp 200 miliar juga dikeluarkan untuk riset dan pengembangan dan transfer teknologi dari China dan Korea Selatan.
Diperlukan investasi tidak hanya finansial, tetapi juga teknologi dan sumber daya manusia.
Selain investasi finansial, Kalbe Farma menyiapkan sumber daya manusia berkualitas berlatar belakang sarjana dan master bidang bioteknologi dan rekayasa genetika yang dilatih khusus bekerja sama dengan Indonesia International Institute for Life Science (i3L). ”Di pabrik ini ada sekitar 70 orang yang kami latih sendiri agar bisa mengoperasikan alat-alat produksi karena ini perlu kompetensi tambahan,” kata Vidjongtius.
Proses produksi di pabrik PT KGM itu telah menerapkan teknologi mutakhir, seperti kultur sel robotik untuk mengurangi kontaminasi dan bioreaktor perfusi untuk mengoptimalkan produksi. Kapasitas produksi pabrik tersebut mencapai sembilan juta unit. Namun, di tahap awal produksinya kemungkinan baru 1-2 juta unit.