Mencari kutu rambut pun pernah dilarang di negeri ini. Setidaknya oleh Bupati Pati, Jawa Tengah, pada awal 1974. Mencari kutu atau petan dalam bahasa Jawa, menurut Bupati, tersebut merupakan pekerjaan yang membuang waktu. Lebih baik waktu digunakan untuk menambah pendapatan keluarga.
Mencari kutu bukan sekadar kebiasaan, melainkan telah menjadi semacam hiburan. Sudah menjadi pemandangan umum dalam panggung kehidupan rakyat jelang senja, ibu-ibu di kampung-kampung mencari kutu sambil bercerita ngalor ngidul.
Mencari kutu rambut (Pediculus humanus capitis) merupakan pekerjaan yang perlu ketelitian, kesabaran, dan ketajaman mata. Pasalnya, sejenis parasit pengisap darah yang hidup di bagian kepala tersebut cuma berukuran panjang 0,25 cm sampai 0,3 cm. Diperlukan konsentrasi tingkat tinggi untuk memburu seekor kutu berwarna hitam di tengah belantara rambut. Itu mengapa menemukan seekor kutu merupakan kepuasan tersendiri. Kutu yang berhasil tertangkap basah akan digites atau ditindas dengan ujung kuku atau bahkan digigit dengan gigi hingga menimbulkan bunyi thesss.
Jika sudah bersarang di rambut, kutu akan berkembang cepat. Kutu betina bertelur enam butir sehari dan akan menetas sekitar delapan hari. Begitu cepat dan ”mewabahnya” kutu sampai melahirkan produk bernama obat kutu yang dijual di pasar atau diider keliling kampung.
Begitu kecil dan lekatnya kutu itu menempel di rambut sehingga diperlukan sisir rambut khusus bernama serit. Sisir dengan tingkat kerapatan tinggi melebihi sisir biasa ini mampu merontokkan lingsa atau telur kutu dan juga kor atau larva yang kelak akan menjadi kutu. Bentuk serit yang terbuat dari kayu ini cukup menarik sehingga suka dijual sebagai suvenir. Ibu Negara Filipina Imelda Marcos mengunjungi Borobudur pada 1974 bahkan tertarik membeli serit dan tusuk konde.
Wabah kutu rambut dan kebiasaan cari kutu menghilang seiring dengan jarangnya orang memelihara rambut panjang. Kutu seperti kehilangan lahan kehidupan. (XAR)