Trastuzumab, Obat Kanker Payudara, Tak Lagi Dijamin BPJS
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan mulai 1 April 2018 tidak lagi menjamin obat ”trastuzumab” bagi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat.
Keputusan penghentian jaminan trastuzumab ini sangat disayangkan oleh sejumlah dokter ahli yang menangani kanker karena obat ini dinilai efektif sebagai obat terapi kanker payudara untuk pasien stadium lanjut.
Trastuzumab merupakan salah satu jenis obat terapi kanker payudara yang biasa digunakan pada pasien stadium lanjut. Obat ini digunakan untuk menghambat pertumbuhan gen human epidermal growth factor receptor-2 (HER2) yang terlalu cepat dalam sel kanker.
Asisten Deputi Direksi Bidang Utilisasi dan Anti Fraud Rujukan, Kedeputian Jaminan Pembiayaan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Elsa Novelia menyampaikan, berdasarkan hasil evaluasi dewan pertimbangan klinik (DPK), obat trastuzumab tidak direkomendasikan untuk penderita kanker payudara stadium lanjut.
”Meski di dalam formularium nasional (fornas) selama ini menjamin obat ini untuk kanker stadium lanjut, DPK bersama ahli profesi sudah mengevaluasi kalau trastuzumab dinilai tidak lagi efektif digunakan,” ujarnya seusai seminar nasional bertema ”Harapan Penderita Kanker di Era BPJS” di Jakarta, Rabu (28/2).
Elsa mengatakan, rekomendasi dari DPK tersebut yang menjadi dasar BPJS Kesehatan tidak lagi menjamin trastuzumab dalam program JKN-KIS.
Keputusan ini berlaku sampai hasil health technology assessment (penilaian teknologi kesehatan) menunjukkan obat itu efektif diberikan sebagai penjaminan obat peserta JKN-KIS.
Beberapa dasar regulasi terkait hal itu sesuai dengan Keputusan DPK Nomor 03/DPK/X/2016 tentang Penyelesaian Sengketa Penggunaan Obat Kemoterapi Trastuzumab, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/225/2017 tentang Penyelesaian Sengketa Penggunaan Obat Kemoterapi Trastuzumab, dan Surat Ketua DPK Nomor 11/DPK/I/2018 Tanggal 17 Januari 2018.
Menurut Ronald A Hukom, dokter spesialis penyakit dalam dan konsultan hematologi dan onkologi medik Rumah Sakit Pusat Kanker Dharmais Jakarta, keputusan menghentikan jaminan trastuzumab sangat disayangkan oleh sejumlah dokter ahli yang menangani kanker.
”Trastuzumab adalah obat esensial kanker menurut WHO 2015, sedangkan Lapatinib yang dijadikan obat lini kedua malah tidak masuk dalam rekomendasi WHO. Keputusan itu dinilai bisa merugikan pasien,” ujarnya.
Selain itu, Ronald menambahkan, penggunaan trastuzumab lebih efektif digunakan dalam terapi kanker payudara pada stadium lanjut. Pada penderita stadium 4, memiliki angka harapan hidup lima tahun sekitar 20-22 persen.
Pada kelompok penderita kanker payudara dengan status HER2 positif, penggunaan terapi trastuzumab dapat meningkatkan harapan hidup lima tahun hingga 45 persen.
Jika dibandingkan dengan penggunaan Lapatinip, selain dinilai kurang efektif dalam pengobatan, harganya pun jauh lebih mahal. Biaya Herceptin trastuzumab sesuai ketentuan fornas untuk terapi keseluruhan sekitar Rp 60 juta, sementara Tykerb lapatinib untuk dosis standar 1250-1500 miligram bisa lebih dari Rp 110 juta rupiah setahun.
”Dengan jumlah pasien sekitar 5.000-6.000 setahun, biaya yang ditanggung JKN justru akan semakin besar,” ujar Ronald.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Yayasan Kanker Indonesia Aru Wisaksono Sudoyo menyayangkan keputusan BPJS Kesehatan yang tidak lagi menjamin pengadaan trastuzumab sebagai layanan terapi pasien kanker payudara.
Saat ini, memang banyak pilihan obat sebagai terapi target, tetapi tidak berdampak signifikan terhadap harapan hidup pasien. Harganya pun dinilai sangat mahal.
”Trastuzumab itu jelas lebih bermakna untuk memperpanjang harapan hidup pasien. Jadi, sangat disayangkan, apa pun alasannya, kalau obat ini dihapuskan. Apalagi malah digantikan dengan obat yang justru memakan biaya lebih besar,” katanya. (DD04)