JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah 58 titik kebocoran sampah teridentifikasi di Bali yang menyebabkan limbah tersebut terbawa ke laut. Menanggapi hal ini, pemerintah ingin menyelesaikannya dari hulu pengelolaan dan pengolahan sampah.
Berdasarkan riset yang dilakukan Packaging and Recycling Association for Indonesia Sustainable Environment (Praise) dan Sustainable Waste Indonesia (SWI), 58 titik kebocoran itu tersebar di sembilan kabupaten/kota. Daerah-daerah itu meliputi Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Buleleng, Kabupaten Karangasem, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Jembrana, dan Kabupaten Bangli.
Titik kebocoran yang dimaksud berupa tempat pembuangan sampah yang langsung ke sungai atau laut. Di titik ini, jumlah sampah sekitar 0,12 barang per meter persegi atau sekitar 1.300 barang yang memadati lapangan sepak bola. Barang dapat berupa plastik kemasan, kardus, atau kaleng.
Dari sembilan kabupaten/kota itu, Buleleng, Badung, dan Denpasar memiliki titik kebocoran terbanyak. Di Buleleng ada 12 titik kebocoran yang tersebar di sepanjang Jalan Jembrana sampai Jalan Buleleng dan Pantai Lovina.
Di Badung ada 11 titik yang tersebar di kawasan Legian, Seminyak, Kuta, Kuta Selatan, Jimbaran, Uluwatu, Tanjung Benoa, Nusa Dua, Tukad Mati, dan Pantai Kedonganan. Di Denpasar, ada sembilan titik yang tersebar di Tukad Badung, Rangde, Loloan, Kawasan Benoa, Kawasan Waduk Muara Nusa Dua, Muara Sungai Ayung, Pantai Biaung, dan Pantai Sanur.
Riset sampah di Bali ini penting karena sebagai destinasi pariwisata internasional, provinsi ini menjadi indikator kebersihan Indonesia di mata mancanegara.
Penelitian ini dilakukan sejak Desember 2017. ”Riset sampah di Bali ini penting karena sebagai destinasi pariwisata internasional, provinsi ini menjadi indikator kebersihan Indonesia di mata mancanegara,” kata Asisten Deputi Bidang Pendayagunaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Maritim Kementeriaan Koordinator Kemaritiman Nani Hendriati dalam acara presentasi hasil penelitian di Jakarta, Rabu (28/2).
Sampah yang terbawa ke laut mengancam kehidupan terumbu karang yang merupakan komponen penting dalam ekosistem. Peneliti SWI, Dini Trisyanti, menambahkan, sampah di laut dapat termakan hewan. Keduanya berpengaruh pada rantai makanan. Dampak jangka panjangnya, manusia terancam tidak bisa makan ikan.
Jangka pendeknya, pangan laut, seperti ikan, kepiting, udang, atau kerang, dari laut Bali dapat mengancam masyarakat. Hal ini karena kandungan yang ada di sampah masuk ke dalam tubuh makhluk hidup laut tersebut.
Selain itu, terumbu karang yang rusak juga dapat menurunkan daya tarik pariwisata bawah laut di Bali. Padahal, menyelam di laut Bali untuk melihat pemandangan terumbu karang menjadi salah satu minat wisatawan.
Di sisi lain, kelompok pendaur sudah ada minimal 10 tim di setiap kota/kabupaten. ”Namun, sistem pengumpulan sampahnya belum terpusat. Kelompok-kelompok ini perlu dibuat suatu sistem yang terintegrasi dan diberikan insentif,” kata Dini.
Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati meminta Praise dan SWI menyusun kajian rekomendasi solusi yang sejalan dengan Peraturan Presiden No 97/2017 tentang pengelolaan sampah. Kajian tersebut akan dibahas dalam rapat koordinasi nasional pada akhir Maret ini.
Selain itu, pentingnya mengurangi dan mengolah sampah di hulu atau sumbernya, seperti industri atau rumah tangga, terkait dengan sampah di laut, juga digarisbawahi Rosa. Dalam PP No 97/2017 tersebut, pada 2020 Indonesia ditargetkan 100 persen bebas sampah dengan 70 persen penanganan dan 30 persen pengurangan.
Penanganan dapat berupa mengolah kembali sampah agar dapat digunakan. Contohnya, memanfaatkan sampah plastik kemasan untuk didaur ulang di skala industri atau mencetak kartu nama dengan kertas daur ulang.
Bahkan, kini sudah ada baju berkerah yang memanfaatkan biji limbah plastik sebagai serat kainnya. Sementara pengurangan sampah dapat dilakukan dengan mengganti kemasan makanan dan minuman pada skala industri dengan bahan yang lebih ramah lingkungan.
Kesadaran masyarakat untuk mengurangi konsumsi barang-barang yang memicu sampah juga diperlukan.
Kesadaran masyarakat untuk mengurangi konsumsi barang-barang yang memicu sampah juga diperlukan, misalnya dengan membawa tas belanja sendiri dibandingkan menggunakan kantong plastik baru. Berdasarkan data yang dihimpun Rosa, rata-rata setiap manusia di Indonesia dapat menghasilkan sampah sebesar 0,7 kilogram per hari. (DD09)