Beras Sudah Diimpor sejak Zaman Hindia Belanda
Impor beras oleh pemerintah selalu menjadi kontroversi di Indonesia. Isu impor beras tersebut bahkan menjadi isu politik bagi lawan politik pemerintah yang berkuasa. Padahal, Indonesia sulit mencukupi kebutuhan beras dengan produksi padi dalam negeri sejak lama, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka.
Catatan tertulis tentang impor beras itu antara lain dikemukakan Dr J Stroomberg dalam bukunya 1930 Handbook of the Netherlands East-Indies. Ketika buku itu ditulis, Stroomberg adalah Kepala Divisi Perdagangan, Departemen Pertanian, Industri, dan Perdagangan Pemerintah Hindia Belanda di Bogor, Jawa Barat. Buku tersebut diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit IRCiSoD Yogyakarta, Februari 2018, dengan judul Hindia Belanda 1930.
Dalam buku tersebut, Stroomberg mencatat, produksi padi Hindia Belanda tahun 1928 mencapai 6.444 juta kilogram padi, sementara hasil per unit lahan adalah 2.182 kilogram atau 2,182 ton per hektar. Penanaman padi di Jawa memberikan sekitar 93 persen dari total produksi Hindia Belanda. Produksi padi Hindia Belanda tersebut jauh melebihi produksi negara penghasil beras yang diperhitungkan di pasar internasional, seperti Jepang dan Italia. Pada 1928, produksi padi Jepang hanya 3.210 kilogram dan Italia 4.250 kilogram.
Menurut Stroomberg, berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi padi tersebut, seperti pembangunan irigasi dan terobosan pengembangan teknik pertanian dalam pemupukan dan penggarapan tanah. Meskipun demikian, masih dibutuhkan impor besar setiap tahun dari negara-negara Asia Selatan untuk mencukupi kebutuhan domestik.
Impor beras menduduki peringkat kedua setelah barang-barang tekstil potongan. Hindia Belanda, kata Stroomberg, secara keseluruhan tidak memproduksi secara cukup beras untuk menyuplai kebutuhan domestik, yang membuatnya perlu mengimpor jumlah besar setiap tahun. Para penyuplai beras Hindia Belanda adalah Rangon (Myanmar), Saigon (Vietnam), dan Siam (Thailand). Singapura dan Penang (Malaysia) adalah sumber beras impor juga walaupun hanya tempat pemindahan muatan. Stroomberg menampilkan data impor beras tahun 1926-1928.
Beras | dalam 1.000 guilder (gulden) | |||||
1926 | % | 1927 | % | 1928 | % | |
Beras Siam | 22.291 | 23,03 | 10.389 | 15,55 | 14.968 | 18,09 |
Beras Saigon | 16.827 | 17,38 | 8.503 | 12,73 | 23.471 | 28,33 |
Beras India Inggris | 25.220 | 26,05 | 18.307 | 27,40 | 16.532 | 19,95 |
Singapura dan Penang (pemindahan muatan) | 32.064 | 33,12 | 29.447 | 44,08 | 27.705 | 33,43 |
Jenis-jenis lainnya | 416 | 0,42 | 162 | 0,24 | 184 | 0,20 |
Total nilai | 96.818 | 100,00 | 66.808 | 100,00 | 82.860 | 100,00 |
Sumber: Buku Hindia Belanda 1930, Penerbit IRCiSoD Yogyakarta
Data impor beras pada masa penjajahan Jepang, perang kemerdekaan, hingga tahun 1965 sulit didapat dari kliping elektronik harian Kompas. Namun, dari pemberitaan harian Kompas, diperoleh informasi bahwa impor beras terus dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Dalam berita yang dimuat tanggal 18 Agustus 1965 disebutkan bahwa sebanyak 7.472 ton beras dari Burma (Myanmar) tiba di Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara. Beras tersebut diimpor untuk kebutuhan perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara.
Pemerintahan Presiden Soekarno juga mengimpor beras eks Republik Rakyat Tiongkok (China). Beras tiba di Pelabuhan Tanjung Priok sebanyak dua kali, yaitu 8.500,787 metrik ton pada 8 Januari 1966 dan 1.513,5 metrik ton pada 18 Januari 1966. Seperti dikutip harian Kompas, 27 Januari 1966, beras impor tersebut untuk memenuhi kebutuhan warga DKI Jakarta.
Impor beras dilakukan karena terjadi selisih antara stok beras dan konsumsi beras, mirip analisis yang dikemukakan Stroomberg 90 tahun lalu. Kepala Direktorat Pertanian Rakyat Sugandhi Amidarmo seperti dikutip harian Kompas, 28 September 1967, mengatakan, defisit beras tahun 1967 mencapai 1,9 juta ton. Angka defisit diperoleh dari produksi beras yang sebanyak 9,1 juta ton dan beras impor sebanyak 0,3 juta ton. Sementara konsumsi riil berdasarkan tarksiran Sensus Sosial Ekonomi Nasional 1964/1965 sebanyak 11,3 juta ton.
Setelah Presiden Soeharto berkuasa 12 Maret 1967, kebijakan impor beras langsung diterapkan, terutama dari Thailand. Harian Kompas, 8 Mei 1967, mengutip Duta Besar Indonesia untuk Thailand Mayjen Achmad Jusuf yang mengatakan bahwa impor beras dari Thailand tersebut bukan karena alasan komersial, melainkan politik pendukungan Thailand terhadap Indonesia di bawah Jenderal Soeharto. Beras yang diimpor dari Thailand tersebut sebanyak 200.000 ton.
Setelah 16 tahun berkuasa, Soeharto tercatat sebagai presiden yang berhasil mewujudkan swasembada beras tahun 1983. Seperti dilaporkan harian Kompas, 15 November 1985, Presiden Soeharto bahkan mendapat kehormatan dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) untuk berpidato mewakili negara berkembang dalam peringatan 40 tahun dan konferensi ke-23 FAO, 14 November 1985 di Italia. Dirjen FAO Edouard Saouma memuji Presiden Soeharto atas keberhasilan Indonesia dalam program pangan, terutama atas keterlibatan pribadi Presiden Soeharto mengatasi masalah pangannya.
Namun, ketika swasembada beras tercapai, Menteri Pertanian Achmad Affandi seperti dikutip harian Kompas, 2 Desember 1983, sudah mengingatkan, swasembada pangan tersebut terhambat ”mental beras”. Maksudnya, mental masyarakat dalam berkonsumsi yang hanya mengartikan pangan dengan beras, padahal jenis makanan lain masih banyak.
Akibatnya, tahun 1984 Indonesia mengimpor kembali beras, bahkan mengimpor beras dari Korea Utara. Harian Kompas, 13 November 1984, memberitakan, impor beras pada semester I-1984 mencapai 10,279 juta dollar AS atau setara Rp 11 miliar dengan kurs waktu itu.
Dalam perkembangannya, negara asal beras impor tersebut bahkan lebih banyak lagi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode 2000-2015, selain Myanmar, Vietnam, Thailand, Singapura, dan Malaysia, negara asal impor beras ke Indonesia adalah China, India, Pakistan, Amerika Serikat, dan Taiwan.
Negara Asal | 2000 | 2005 | 2010 | 2015 |
Nilai CIF: 000 dollar AS | ||||
Vietnam | 77.075,6 | 12.387,4 | 232.915,7 | 202.563,1 |
Thailand | 83.408 | 32.489,0 | 109.133,7 | 66.772,4 |
China | 107.428,4 | 4,0 | 12.728,5 | 1.631,0 |
India | 0,1 | 317,7 | 1.767,5 | 13.671,7 |
Pakistan | 5.231,1 | 0,0 | 1.765,8 | 62.949,2 |
Amerika Serikat | 13.828,9 | 778,7 | 1.745,5 | 0,0 |
Taiwan | 0.0 | 0.0 | 0.0 | 0.0 |
Singapura | 484,3 | 1.880,3 | 27,6 | 0.0 |
Myanmar | 13,8 | 0.0 | 0.0 | 2.732,3 |
Lainnya | 31.659,8 | 3.641,9 | 700,8 | 1.282,5 |
Jumlah | 319.130,0 | 51.499 | 360.785 | 351.602,2 |
Sumber: BPS, diolah
Sembilan puluh tahun lalu, Stroomberg sudah membuat analisis bahwa penyebabnya adalah produktivitas hasil per unit lahan yang masih rendah, yang pada 1928 sebanyak 2,182 ton per hektar atau 21,82 kuintal per hektar. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan produktivitas padi.
Upaya selama 87 tahun, pada 2015, produktivitas padi hanya mampu meningkat 2,4 kali lipat menjadi 53,41 kuintal per hektar, sesuai data BPS. Hingga 87 tahun kemudian, tahun 2015, produksi padi sudah mencapai 12,5 kali lipat, yaitu dari 6,444 juta ton pada 1928 menjadi 75,4 juta ton pada 2015.
Produksi beras 90 tahun lalu tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan makan penduduk Hindia Belanda yang per 31 Desember 1927 berjumlah 51.563.664 jiwa. Jumlah penduduk pada 2015 sudah bertambah hampir lima kali lipat menjadi 254,9 juta jiwa.
Dari data tersebut sudah dapat terlihat, produksi padi sudah meningkat 12,5 kali lipat, lebih tinggi daripada kecepatan peningkatan jumlah penduduk yang lima kali lipat, tetapi tetap saja tidak dapat mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri.
Pengalaman 90 tahun impor beras itu membuktikan bahwa Indonesia tidak lagi dapat bergantung lagi dengan beras. Harian Kompas dalam berita utama edisi 27 Februari 2018 sudah memaparkan ada 77 jenis tanaman sumber karbohidrat yang dapat menggantikan beras.
Saatnya masyarakat Indonesia mengubah kebiasaan menggantungkan kebutuhan karbohidrat dengan sumber karbohidrat lain. Dengan mengonsumsi sumber karbohidrat selain beras, masyarakat telah membantu negara mengurangi nilai impor sehingga ekonomi secara keseluruhan akan membaik.