Krisis tak pernah sama. Apalagi, digitalisasi sedang membawa perubahan besar. Krisis pada abad ini, kalaupun terjadi, bisa jadi memiliki pola baru.
JAKARTA, KOMPAS - Krisis keuangan dari masa ke masa semakin kompleks. Di abad ini, dengan pemicu digitalisasi, kompleksitas meningkat. Untuk itu, paradigma baru dan penyesuaian kebijakan menjadi keniscayaan bagi para pengambil kebijakan.
Demikian salah satu pesan yang mengemuka dari seminar internasional yang digelar Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Jakarta, Rabu (28/2). Acara ini merupakan bagian dari rangkaian menuju pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia di Bali, Oktober 2018 mendatang.
Kepala Penasehat Komisi Regulasi Perbankan China Andrew Sheng, dalam salah satu sesi menyatakan, krisis keuangan Asia pada 1997 dan krisis keuangan global pada 2007 meninggalkan tiga pesan. Pertama, setiap pemangku kepentingan harus senantiasa siap.
Kedua, krisis adalah peristiwa, sedangkan restrukturisasi perbankan adalah proses yang butuh waktu. Ketiga adalah eksekusi atau dieksekusi.
Krisis keuangan global pada 2007, Andrew melanjutkan, menunjukkan bahwa terjadi saling kunci dan saling tergantung antar-unit, mulai dari bank, shadow banking, pasar modal, sampai pasar real estate, yang didorong oleh utang, derivatif, dan unsur politik.
Belakangan, kompleksitas itu meningkat bersama dengan munculnya sejumlah faktor seperti digitalisasi ekonomi, geopolitik, dan perubahan iklim. Semua tantangan tersebut membutuhkan reformulasi kebijakan moneter, reformasi aturan, dan penyesuaian struktur pasar.
Ketika krisis makin kompleks dan baru, hal yang bisa disiapkan adalah mengingat prinsip-prinsip dasar. Ingat, tidak ada krisis yang sama.
Layaknya perang, menurut Andrew, ketika peluru pertama telah ditembakkan, rencana perang tidak lagi berguna. Semua bergantung pada jenderal, kapten, dan serdadu di lapangan dalam memutuskan di tengah ketidakpastian yang sangat besar.
Ini pertama-tama bukan soal infrastruktur. Infrastruktur paling penting adalah mental, yakni bagaimana kita melihat persoalan dan bagaimana kita meresponnya. Tak ada teori. Semua pengalaman.
Saat ini, Andrew menambahkan, konteksnya sudah berubah akibat digitalisasi. Manakala seluruh sistem menjadi digital, bisnis akan terdampak, termasuk perbankan. Persaingan pun kian ketat. Demografi berubah. Nasabah memiliki ekpektasi baru.
”Regulasi menjadi semakin kompleks. Dan, kini kita memiliki dividen digital, tetapi defisit lapangan kerja. Itulah yang membuat mengapa kita semua khawatir. Seluruh risiko amat terkait satu sama lain dan benar-benar kompleks. Kita harus bisa memecahkan persoalan dalam waktu yang singkat,” kata Andrew.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah, menjawab pertanyaan Kompas, menyatakan, Indonesia sudah memilki sistem yang lebih baik dalam memitigasi dan menangani krisis. Sistem tersebut, mulai dari undang-undang sampai aturan-aturan pelaksana yang telah disesuaikan dengan ketentuan internasional.
Kita sudah merancang dengan teruktur. Ini adalah bagian dari cara kita mencegah krisis.
Krisis pada abad 21, menurut Halim, tidak harus diawali oleh masalah di sektor keuangan. Sektor yang tidak siap terhadap digitalisasi, berpotensi mengalami ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan ini merupakan benih-benih instabilitas yang jika tidak terkendali bisa memicu krisis.
”Ke depan, sektor keuanganharus semakin hati-hati. Berbagai perkembangan digital, memberi kesempatan ekonomi berkembang lebih cepat. Namun, juga menimbulkan potensi yang bisa memicu ketidakseimbangan,” kata Halim. (LAS)