Daerah Mulai Mengembangkan Pangan Lokal
JAYAPURA, KOMPAS — Sejumlah daerah mengeluarkan sejumlah program untuk mendukung peningkatan konsumsi pangan lokal. Selain menerbitkan peraturan daerah, pemerintah di sejumlah daerah juga mencanangkan program diversifikasi pangan dan mengalokasikan anggaran untuk mendukung upaya tersebut.
Seperti diberitakan Kompas, Kamis (1/3), diversifikasi pangan menjadi kunci dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Penganekaragaman pangan juga sesuai dengan amanat konstitusi. Hal itu telah ditindaklanjuti melalui penerbitan berbagai kebijakan oleh sejumlah pemerintah daerah, tetapi implementasinya belum optimal.
Pemerintah Provinsi Papua, contohnya, telah mengeluarkan sejumlah program untuk mendukung peningkatan konsumsi sagu sebagai pangan lokal. Program tersebut meliputi penataan lahan sagu sehingga bisa produktif dan pendampingan kelompok usaha pengolahan sagu menjadi bahan makanan yang bernilai ekonomis.
Kepala Subbagian Program Dinas Perkebunan Provinsi Papua Gatot Budi Santoso, di Jayapura, Rabu (28/2), mengatakan, tahun ini pihaknya menerapkan program penataan lahan perkebunan sagu di tiga kabupaten seluas 700 hektar. Tiga kabupaten itu adalah Nabire, Jayapura, dan Keerom, yang berbatasan dengan Papua Niugini. Total anggaran dikucurkan untuk program ini Rp 3,2 miliar.
”Lahan perkebunan sagu seluas 700 hektar ini meliputi 300 hektar di Keerom, sedangkan lahan seluas 200 hektar di Nabire dan 200 hektar di Jayapura. Total anggaran untuk penataan lahan di Keerom mencapai Rp 1,7 miliar. Sementara anggaran sebesar Rp 1,5 miliar di Nabire dan Jayapura,” papar Gatot.
Penataan lahan sagu berupa pola tanam dengan jarak antarpohon sagu idealnya 8-9 meter agar menghasilkan pohon sagu produktif. Total luas lahan sagu di 14 kabupaten di Papua 35.395 hektar dengan jumlah petani 2.729 orang, tapi produksi sagu hanya 28.576 ton per tahun. ”Selama ini pohon sagu di Papua tumbuh liar. Ini perlu diubah lewat sosialisasi pentingnya konsumsi sagu sebagai bahan pangan lokal pengganti beras untuk kesehatan dan bernilai ekonomis,” ungkapnya.
Kelompok usaha
Kepala Seksi Penganekaragaman Pangan Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Papua Yohannes Palangan mengatakan, pihaknya membentuk dan mendampingi enam kelompok usaha pengelolaan komoditas sagu di lima kabupaten/kota sejak 2016. Kelima daerah tersebut adalah Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Sarmi, Waropen, dan Kepulauan Yapen.
”Setiap kelompok usaha pengelolaan sagu berjumlah sekitar 20 orang. Sebanyak dua kelompok membuat beras analog dan empat kelompok lainnya membuat tepung sagu,” kata Yohannes.
Setiap kelompok dibekali anggaran Rp 250 juta hingga Rp 300 juta untuk penyediaan bahan baku dan peralatan pengolahan sagu menjadi beras analog dan tepung sagu.
”Hingga saat ini baru tepung sagu yang telah dipasarkan ke sejumlah pusat perbelanjaan. Sementara beras analog belum dapat dipasarkan karena harga jualnya yang mencapai Rp 40.000 per kilogram. Hal ini disebabkan tingginya biaya operasional pengolahan menjadi beras analog,” ujar Yohannes.
Membudayakan pola makan
Kabupaten Kepulauan Sangihe membudayakan pola makan sagu dan ubi pengganti makanan pokok sebagai bentuk ketahanan pangan masyarakat. Setiap dua hari dalam sepekan, Selasa dan Jumat, masyarakat diwajibkan makan sagu dan umbi-umbian, nonberas. Makanan sagu kini dapat diolah dalam bentuk beras dan mi.
Bupati Kepulauan Sangihe Jabes Gaghana di Manado, Selasa (27/2), mengatakan, sagu merupakan makanan pokok tradisional masyarakat Sangihe. Para leluhur mengonsumsi sagu untuk kehidupannya. Pengalihan pola makanan pokok itu berdampak pada belanja beras warga senilai Rp 6 miliar setiap bulan. ”Kami kembali makan sagu sebagai makanan pokok. Sagu jadi bentuk ketahanan pangan masyarakat Sangihe yang kerap kesulitan beras,” katanya.
Jabes menghitung apabila budaya makan sagu itu berhasil, setiap bulan uang masyarakat dari belanja beras sebanyak Rp 6 miliar dapat tersimpan. Perhitungan itu berdasarkan jumlah penduduk dan konsumsi beras setiap keluarga sebanyak 3 kilogram setiap hari.
Pemerintah Kabupaten Sangihe mewajibkan seluruh masyarakat Sangihe di rumah dan rumah makan mengonsumsi sagu setiap Selasa dan Jumat. Sosialisasi makan sagu ditanggapi positif masyarakat kepulauan yang kesulitan memperoleh beras.
Albert Kakunsi, warga Tabukan Selatan, mengatakan, tanaman sagu mudah diperoleh. Tanaman sagu ditemukan di perkebunan masyarakat yang tumbuh sendiri tanpa harus ditanam. ”Lebih enak makan sagu daripada makan beras raskin dari pemerintah,” kata Albert.
Menurut Jabes, sejak dulu kultur masyarakat Sangihe tidak mengenal sawah. Lima tahun lalu, pemerintah setempat pernah melakukan pencetakan sawah baru di sejumlah wilayah dengan mengajak masyarakat menanam padi. Akan tetapi, upaya menanam padi itu gagal karena masyarakat Sangihe tidak pernah mengenal sawah. Luas lahan sawah di Sangihe sekitar 200 hektar.
Data Dinas Pertanian Kabupaten Sangihe mencatat tahun 2001 pohon sagu tumbuh di lahan 3.042 hektar dengan produksi 14.957 ton. Pada 2010 luas areal tanaman sagu menurun tersisa 398 hektar dengan produksi 713 ton per tahun.
Rino Rogi dari Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi mengatakan, kebijakan pemerintah daerah Sangihe mengangkat sagu sebagai makanan pokok harus serius. Sagu berpotensi besar sebagai penopang ketahanan pangan Sangihe. Sebagai wilayah kepulauan, Sangihe yang mengandalkan transportasi laut dan udara sangat rentan atas perubahan cuaca.
Perubahan cuaca itu memengaruhi distribusi beras yang menjadikan wilayah kepulauan terisolasi. Selain itu, keberadaan sagu sebagai vegetasi asli sangat penting artinya bagi keseimbangan ekosistem di kepulauan tersebut. Kembali ke sagu bermakna pelestarian keanekaragaman hayati di Sangihe.
Namun, komitmen untuk mengembangkan pangan lokal di daerah belum sepenuhnya berjalan di lapangan, termasuk di kalangan akademisi. Contohnya, komitmen Universitas Pattimura, Ambon, untuk mengembangkan pangan lokal dipertanyakan alumni menyusul kebijakan penebangan lebih dari 100 pohon sagu di kompleks kampus tersebut. Penggusuran areal sagu demi pembangunan gedung itu dianggap ikut meredupkan pamor sagu.
Sesuai pantauan pada Rabu (28/2), tanaman sagu dekat gedung fakultas hukum ditebang. Areal itu disiapkan untuk pembangunan gedung. Tak jauh dari situ terdapat kebun percontohan sagu bernama Kebun Plasma Nutfah Sagu. Di dalamnya terdapat beberapa jenis pohon sagu, tetapi juga ditebang.
Saswaty Matakena, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Pattimura angkatan 1995, mengatakan, di tengah meredupnya pamor sagu akibat dominasi beras, kampus harus hadir menjaga eksistensi pangan lokal itu. Sagu yang ada di kampus merupakan ikon makanan lokal sekaligus laboratorium hidup.
Menurut Saswaty, peran kampus seharusnya lebih diperkuat setelah lahirnya Peraturan Daerah Maluku Nomor 10/2011 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Sagu. Sejumlah akademisi dari satu-satunya universitas negeri di Maluku itu ikut melahirkan perda tersebut. ”Kampus harus jadi pelopor,” ujarnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, penebangan pohon sagu itu sempat mendapat protes dari sejumlah dosen Fakultas Pertanian Unpatti. Rektor Unpatti kemudian membicarakan hal tersebut dengan Dekan Fakultas Pertanian John Matinahoru. Namun, penebangan tetap berlanjut.
Kompas berusaha menemui John di ruangannya, tapi menurut seorang petugas keamanan, John tidak ada di ruangan. Pada saat itu, mobil John terparkir di depan kantor. Setelah dihubungi lewat telepon, John mengatakan, jaringan telepon sedang gangguan. Ia meminta dihubungi lewat pesan singkat. Namun, pertanyaan lewat pesan singkat pun tak dijawab.
Sejumlah dosen mengaku kecewa dengan kebijakan kampus tersebut, tetapi mereka tidak mau nama mereka dikutip dalam pemberitaan. Salah satu pengelola Kebun Plasma Nutfah Sagu Fakultas Pertanian Unpatti, Marcus Luhukay, yang juga dosen di kampus tersebut enggan mengomentari penebangan itu.
Ia memaparkan, di Kebun Plasma Nutfah Sagu terdapat enam jenis sagu asal Maluku, yakni Molat Putih, Molat Merah, Tuni, Ihur, Duri Rotang, dan Makanaru. Kebun Plasma Nutfah Sagu pertama kali dibuka pada 1994. Setelah terbakar saat Ambon dilanda konflik 1999, kebun itu kembali digarap 12 tahun kemudian.
Marcus menambahkan, kendati sudah ada peraturan daerah, komitmen pemerintah daerah untuk mengembangkan sagu masih minim. Ia ikut melahirkan perda itu. Hal sederhana yang bisa dilakukan adalah melarang penebangan pohon sagu. Saat ini, ratusan hektar tanaman sagu terus dibabat untuk pembukaan lahan sawah dan permukiman transmigran.
Sementara untuk pengenalan penganan dari sagu juga tidak bisa dilakukan pemerintah di lingkungannya sendiri. Contohnya mewajibkan pegawai negeri sipil mengonsumsi sagu pada hari tertentu. Di Maluku, kebijakan semacam itu hanya ada di Kabupaten Maluku Tenggara. (FLO/ZAL/FRN)