Gejala Radikalisme Mulai Membayangi Islam Moderat
JAKARTA, KOMPAS — Gejala radikalisme mulai memasuki wilayah Islam moderat, terutama ke organisasi masyarakat Muhammadiyah. Untuk mengatasi itu, umat Islam moderat itu berperan sangat penting dalam deradikalisasi dengan tetap bersikap etis, humanis, dan inklusif.
Bertempat di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), Jakarta, Rabu (28/2), Maarif Institute meluncurkan jurnal tentang ”Fenomena Radikalisme-Terorisme di Indonesia: Membaca Sikap dan Pandangan Muhammadiyah”.
Riset dalam jurnal ini menunjukkan ada pergerakan anggota Muhammadiyah yang menganut Islam moderat atau tengah yang mulai bergeser ke arah radikal sekalipun mayoritas tidak terpengaruh.
Direktur Eksekutif Maarif Institute Muhammad Abdullah Darraz mengatakan, kekhawatiran Muhammadiyah pada radikalisme berawal dari aksi massa Islam tahun lalu. Gerakan itu diikuti beberapa anggota Muhammadiyah meski dengan jelas ormas itu mengimbau untuk tidak ikut dalam gerakan tersebut.
Darraz mengungkapkan, hal itu merupakan pertanda gerakan radikal mulai masuk ke tubuh Muhammadiyah. Dia pun heran radikalisme bisa tumbuh subur sejak reformasi. ”Sekarang malah tumbuh subur dan mendapat tempat di publik kita,” katanya.
Rektor Uhamka sekaligus Pimpinan Pusat Muhammadiyah Suyatno mengatakan, fenomena gerakan massa itu menjadi kekhawatiran tersendiri, apalagi Muhammadiyah mengajarkan sesuatu yang sejuk dan damai.
”Cara-cara itu bagi kami bukan yang terbaik. Banyak yang lebih elok dan itu bukan tradisi kami, tetapi malah banyak yang ikut-ikutan. Fenomena ini menjadi keprihatinan dan tidak baik bila gejala ini terus terjadi,” kata Suyatno.
Menurut Suyatno, radikalisme mulai tumbuh karena kesenjangan sosial yang terjadi di Indonesia. Akibat tidak adanya keadilan, orang menjadi apatis. Kecenderungan itu membuat masyarakat jadi ganas dan radikal karena ketidakpercayaan kepada pemerintah.
Peneliti senior Maarif Institute sekaligus anggota Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, Zuly Qodir, mengatakan, ada pihak-pihak yang sengaja memobilisasi kesenjangan itu. Pihak tersebut menggerakkan untuk kepentingan jangka pendek, seperti politik praktis.
”Masalahnya mereka tidak sadar kalau sedang digunakan sebagai agenda politik,” katanya.
Zuly meyakini timbulnya gerakan radikal itu masih akan terjadi hingga berakhirnya Pemilihan Umum 2019. Banyak yang akan memanfaatkan populisme agama untuk kepentingan politik.
Jalan keluar
Untuk itu, Zuly menilai, umat Islam tengah harus berperan dalam menghentikan radikalisme itu. Caranya, dengan tidak mudah menghakimi penganut lainnya.
”Misalnya ada orang menggunakan cadar dan sering membaca Al Quran lalu dikatakan radikal, ini bahaya betul. Tidak ada urusannya pilihan orang untuk beribadah dengan kaitannya dengan radikal,” ucap Zuly saat diwawancarai seusai acara itu.
Umat Islam tengah atau moderat harus berperan dalam menghentikan radikalisme.
Menurut Zuly, seseorang Muslim dapat dikatakan radikal ketika mengungkapkan kebencian, berbuat kekerasan, serta menjurus ke arah ekstremisme dan terorisme. Sementara itu, siapa pun berhak beribadah dengan caranya masing-masing.
Zuly berharap kaum Islam moderat mampu menengahi dan bukan malah menjadi pelaku generalisasi itu. Apabila tuduhan itu dilakukan, resistensi dari kalangan yang tertuduh akan semakin kuat.
”Yang dituduh bisa malah jadi mengarah ke radikal karena tidak diterima,” katanya.
Apalagi, kata Zuly, banyak penganut Islam yang masih berada dalam zona tengah. Mereka bisa dengan mudah ke arah kanan atau radikal bila merasa dituduh dan dikucilkan.
Selain itu, Muhammadiyah dilarang dengan mudah menghukum dan mengafirkan orang lain. Hal itu mencirikan bibit-bibit radikal. Akibatnya, kekhasan Islam moderat yang sangat etis, humanis, dan inklusif akan hilang.
”Berilah argumen yang cukup kalau merasa ada yang salah dengan orang itu. Kita tidak berhak mengatakan orang lain kafir atau masuk neraka karena itu hak Tuhan. Jelaskan saja apa yang benar. Selebihnya itu terserah orang itu didengar atau tidak,” kata Zuly.
Harus diajarkan Indonesia itu multikultural. Jangan malah mengajarkan agamanya yang paling benar.
Kontributor jurnal Maarif, Mohammad Shofan, yang juga hadir pada acara itu mengkhawatirkan fenomena radikalisme di kalangan pelajar. Hal itu mengacu pada beberapa riset, salah satunya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang menyatakan 39 persen mahasiswa sudah terpapar radikalisme.
Untuk itu, kata Shofan, guru dan dosen harus mengajarkan Islam dengan benar. Islam harus diajarkan dengan latar belakang Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan.
”Harus diajarkan Indonesia itu multikultural. Jangan malah mengajarkan agamanya yang paling benar. Di titik ini, guru punya peran signifikan,” katanya.
Sementara itu, Zuly melihat langkah pemerintah untuk menangkap orang yang menyebarkan isu kebencian sudah tepat. Menurut dia, hal itu harus lebih aktif dilakukan untuk mengurangi aktor radikal.
”Penyesatan yang dilakukan kalau dibiarkan akan bahaya untuk negara dan organisasi masyarakat Islam. Kalau dibiarkan merajalela, mereka bisa memengaruhi orang baik yang berada di tengah,” kata Zuly. (DD06)