Harum Kopi Sangrai yang Hilang dari Kampung Panggung
Dua bangunan bercat putih yang saling berhadapan di gang selebar tiga meter itu terkunci. Tiada penanda, apalagi bukti bahwa tempat itu adalah pelopor usaha kopi di Surabaya.
Wangi biji kopi disangrai dan digiling yang pernah mengharumkan kampung itu pada kurun 1930-1980 telah menguap hilang ke langit. Pintu dan jendela tertutup serta gembok mengunci pagar bangunan seakan mengakhiri kisah usaha kopi di sana.
Rumah tingkat dua bercat putih dan bernomor 12 itu berada di Gang IX, Jalan Panggung RT 006 RW 011, Nyamplungan, Pabean Cantikan, Surabaya. Di atas pintu rumah itu pernah terpampang papan hitam dengan tulisan emas HAP HOO TJAN dan aksara Han.
Di seberang rumah itu berdiri bangunan bercat putih dan bernomor 11 dengan pintu dan banyak jendela dari papan kayu. Di dalamnya pernah ada tungku tua dan berbagai peralatan untuk memanggang dan menggiling biji kopi.
Pada kurun waktu Desember 2017-Februari 2018, lima kali penulis mendatangi bangunan di tengah Kampung Panggung yang padat penduduk itu.
Penulis mencoba mengonfirmasi sisa-sisa cerita tentang keberadaan kopi Hap Hoo Tjan sekaligus melihat isi kedua bangunan peninggalan era Hindia-Belanda itu. Namun, upaya tidak pernah berhasil. Kalangan tetangga dan warga bahkan merasa tak mengenal penjaga, pemilik, atau ahli warisnya.
Sejumlah literatur dan penuturan tetua Kampung Panggung menyebutkan kedua bangunan itu pernah dimiliki oleh Go Soe Loet (selanjutnya disebut Loet). Lelaki ini datang ke Surabaya pada 1920 dan sejak 1927 ia bersama Go Bi Tjong dan Go Soe Bin mendirikan usaha kopi bermerek Hap Hoo Tjan.
Loet memiliki lima anak, yakni Indra Boediono, Soedomo Mergonoto, Singgih Goenawan, Lenny Setyawati, dan Wiwik Sundari. Trio atau tiga bersaudara Indra-Soedomo-Singgih merintis usaha kopi Kapal Api sejak 1957.
Usaha kopi Hap Hoo Tjan meredup karena Loet pecah kongsi dengan Tjong dan Bin. Usaha Loet gulung tikar pada 1983, sedangkan Kapal Api yang dirintis ketiga putranya berlayar mengarungi samudra pasar global. Loet meninggal pada 1993.
Tradisional
Mohammad Romli (65) masih bersemangat menceritakan tempat tinggalnya yang sekampung harum oleh kopi Hap Hoo Tjan. Romli, migran dari Sampang (Madura), masih ingat sosok Loet yang bertubuh tinggi, kekar, dan berwibawa.
”Pak Loet sering disebut bos oleh warga sini. Lha, memang dia bos, juragan kopi di sini, pegawainya banyak,” katanya saat ditemui pada awal Februari di Balai Rukun Warga 011 yang terpaut satu bangunan dari rumah nomor 12 ”Hap Hoo Tjan” itu.
Romli mengingat gang sempit itu ramai hilir mudik pegawai Hap Hoo Tjan yang diperkirakan lebih dari 500 orang. Uniknya, tetangga atau warga tidak ada yang bekerja di usaha kopi.
Warga yang saat ini mayoritas pendatang dari Madura antara lain merupakan buruh Pasar Pabean, pegawai bengkel, jual beli rongsokan, atau pengasong makanan dan minuman.
”Saya ingat kopi Hap Hoo Tjan itu tidak ada mereknya, tetapi dijual di dalam bungkus ukuran besar,” katanya. Rumah di samping kediaman Romli pernah disewa untuk gudang penyimpanan kopi Hap Hoo Tjan yang siap dijual di Surabaya.
Apakah pernah menikmati kopi Hap Hoo Tjan? ”Tidak pernah. Waktu itu harganya kemahalan buat saya, Pak,” kata Romli sambil tertawa. Mengopi memang menjadi salah satu kebiasaan warga Kampung Panggung.
Namun, mereka lebih suka membeli biji kopi di Pasar Pabean dengan banyak jenis dan harga terjangkau. Kopi yang dibeli di pasar kemudian dipanggang secara manual di rumah, ditumbuk, dan atau dicampur pipilan jagung agar lebih banyak.
Cara penyajiannya, warga cuma tahu dengan cara diseduh dan ditambahi gula pasir, gula aren, jahe tumbuk, dan atau sedikit garam.
Ketua RW 011 Ahmad Zaenudin (26) menambahkan, tidak mengetahui lagi cerita kopi Hap Hoo Tjan. Ahmad tak sempat mengenal Loet dan keturunannya yang kini merajai pasar kopi nasional dengan merek Kapal Api. ”Yang saya tahu Kapal Api dimulai dari rumah itu,” katanya.
Sebagai pengurus warga, Ahmad tak memiliki identitas penjaga, pemilik, atau ahli waris terkini kedua bangunan bekas usaha Hap Hoo Tjan. Namun, setahun lalu, kedua bangunan itu diperbaiki sehingga saat ini masih tampak terawat dan apik.
Yang disesalkan, tiada catatan tertulis di buku RW 011 tentang kisah Hap Hoo Tjan. Cerita kopi itu menghilang seperti wangi kopi yang sudah tak lagi tercium lagi di Kampung Panggung.
Minim kisah
Dosen ilmu sejarah Universitas Airlangga, Purnawan Basundoro, mengatakan, keberadaan Hap Hoo Tjan membuktikan budaya kopi sudah ada sejak lama di Surabaya. Namun, mengopi dianggap bukan budaya menonjol arek atau warga ”Kota Pahlawan”, julukan Surabaya.
Mengopi bagi orang Surabaya zaman era Hindia-Belanda dan awal kemerdekaan lekat dengan budaya cangkrukan atau nongkrong sambil membicarakan masalah harian.
Mereka nongkrong mengelilingi lapak pikul minuman kopi yang juga menyajikan penganan tradisional, antara lain grobyak, jemblem, bledus, lopis, atau ”telek kucing”.
”Di Surabaya, lebih mudah menemukan jejak iklan bir daripada iklan produk kopi. Ini cukup unik sebab budaya minum di Surabaya ternyata banyak, tetapi kenapa iklan produk kopi tidak ditemukan di koran-koran zaman dahulu,” kata Purnawan.
Hap Hoo Tjan diduga merupakan kejelian Loet melihat peluang bisnis kopi yang saat itu belum menjadi primadona di Surabaya. Pada awal usaha, Loet membungkus produk kopinya dengan kertas koran.
Loet berjualan kopi dipikul berkeliling kampung sampai Pelabuhan Tanjung Perak. Lambat laun, Hap Hoo Tjan banyak diminati. Loet menambah kapasitas usaha dan mengirim produk dengan becak ke warung, toko, pasar, dan pelanggan. Loet juga mengayuh sepeda untuk menjual kopinya hingga Pasar Wonokromo.
Namun, kisah itu kini hanya bisa dituturkan tanpa bisa dihirup, apalagi diseruput. Hap Hoo Tjan telah hilang dan wangi kopi legendaris itu sudah lama menguap dan tak berbekas. Mungkin rasa kopi itu sepahit perjalanan usaha dari awal sampai bangkrut.