Jakarta, Kompas - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyiapkan langkah menghadapi kemungkinan gempa di zona subduksi (megathrust) yang bisa mengguncang Jakarta. Riset, audit gedung, edukasi masyarakat, dan simulasi evakuasi adalah beberapa langkah tersebut.
Hal itu terangkum dalam sarasehan bertajuk “Gempa Bumi Megathrust M (Magnitudo) 8,7 Siapkah Jakarta,” Rabu (28/2) di Auditorium Gedung Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Jakarta.
Dekan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung Sri Widiyantoro menjelaskan, gempa, termasuk megathrust adalah gerakan tiba-tiba yang terjadi dalam kerak bumi, hingga batas kedalaman 600 kilometer.
Ketua Umum Ikatan Alumni Meteorologi Geofisika (Ikamega) Subardjo mengingatkan ihwal aktivitas dua megathrust di bagian selatan Jawa yakni di antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, serta megathrust di Selat Sunda.
Menurut Subardjo, segmen yang cenderung dikhawatirkan adalah megathrust Selat Sunda. Aktivitas kegempaan di kawasan ini diperkirakan menimbulkan dampak siginifikan di Jakarta sekalipun jarak dari pusat gempa sekitar 250 kilometer.
Kepala Pusat Seismologi Teknik Geofisika Potensial dan Tanda Waktu BMKG Jaya Murjaya menjelaskan, seismic gap merupakan zona yang relatif sepi tingkat kegempaannya dibandingkan daerah sekelilingnya. Ini menyusul data kegempaan di Indonesia yang relatif baru ada 100 tahun terakhir. “Andaikan kita punya data kegempaan hingga 300 tahun, 500 tahun, atau 1.000 tahun lalu, maka tidak akan ada seismic gap di selatan Jawa.”
Terus riset
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menambahkan, hingga saat ini, prediksi waktu terjadinya gempa belum bisa dilakukan. Namun, ia mengatakan, riset terkait terus dilakukan guna memprakirakan terjadinya gempa beberapa pekan sebelum terjadi.
Ia menuturkan, hal tersebut masih terkendala jumlah sensor geomagnet yang dimiliki. Saat ini, BMKG hanya memiliki satu unit geomagnet di Tangerang yang relatif masih kurang untuk riset prakiraan terjadinya gempa.
Menurut Dwikorita, ancaman gempa di Jakarta mesti disikapi dengan sejumlah tindakan. Di antaranya kajian konkret terkait kemungkinan adanya sesar yang tidak terlihat atau buta (blind fault) karena tertutupi lapisan tertentu di bawah permukaan bumi, audit bangunan, edukasi bagi masyarakat, dan simulasi evakuasi bencana gempa. “Jika blind fault terbukti, maka (konsekuensinya) akan ada perubahan peta mkro zonasi (di Jakarta),” ujarnya.
Menanggapi itu, Wakil Gubernur Jakarta Sandiaga Uno menyebutkan, pemerintah mulai melakukan audit gedung dan bangunan publik. Selain itu, disepakati pula nota kesepahaman (MoU) bersama BMKG terkait pengumpulan data kegempaan dan sinkronisasi sensor-sensor milik BMKG dengan Pemprov DKI Jakarta, edukasi kegempaan yang dipadukan unsur hiburan, dan simulasi evakuasi gempa.
Untuk audit gedung, Sandiaga menuturkan, pemerintah menerapkan sejumlah pungutan teknis dan peningkatan kualitas sumber daya manusia bagi pengelola gedung yang kualitasnya di bawah standar audit. “Kami akan merangkul untuk pastikan (terpenuhinya standar), kami tidak mau ribut-ribut.”