Membangun Ketahanan Pangan dari Pinggiran Kabupaten Bogor
Sejak 2014, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengembangkan konsep desa berteknologi tinggi atau biovillage. Di desa tersebut, berbagai jenis tumbuhan pangan lokal dikembangkan, teknologi pengolahan bahan pangan dari hulu ke hilir diterapkan, hewan-hewan yang mendukung keberlanjutan produksi pangan dipelihara, seluruh bahan yang ada bisa digunakan tanpa ada sisa. Namun, tidak banyak yang tahu dan bisa merasakan manfaatnya. Biovillage ini masih kurang perhatian.
”Kita seharusnya bisa swasembada pangan karena secara teknologi sudah mendukung,” kata Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI Enny Sudarmonowati saat berkeliling Cibinong Science Center-Botanical Garden (CSC-BC) di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (28/2). Kompleks CSC-BC seluas 189 hektar ini mengusung konsep biovillage, yaitu desa dengan teknologi pangan yang terintegrasi, multidisiplin, dan tidak menyisakan sampah (zero wasted).
Kita seharusnya bisa swasembada pangan karena secara teknologi sudah mendukung.
Di zona penanaman tumbuhan bahan pangan lokal, terdapat satu area yang mencolok, yaitu arena penanaman umbi kayu atau singkong. Pada lahan yang luasnya kira-kira 300 meter persegi, tumbuh berbagai pohon singkong dengan papan nama jenis dan daerah asalnya masing-masing. Ada singkong yang berasal dari Jawa Barat, Sumatera Utara, Lampung, dan daerah-daerah lainnya.
Enny mengatakan, berbagai jenis singkong itu dikawinsilangkan sehingga menghasilkan singkong dengan kandungan vitamin A atau beta karoten yang tinggi. Oleh karena itu, singkong merupakan alternatif sumber karbohidrat. Selain dikonsumsi dengan cara digoreng atau direbus, singkong tinggi vitamin A ini juga diuji coba untuk dijadikan tepung modified cassava flour (mocaf).
”Kami sudah membuat produk mi dengan kandungan 50 persen terigu dan 50 persen mocaf,” kata Enny. Meski belum 100 persen, penggunaan mocaf mampu menyubstitusi terigu dari gandum yang kurang cocok ditanam di Indonesia.
Selain singkong, adapula umbi-umbian lain, seperti taka dan talas. Berbeda dengan singkong yang bisa ditemui hampir di seluruh wilayah Indonesia, talas justru banyak tumbuh di Jawa Barat.
Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber minyak atau lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, serta 110 jenis rempah dan bumbu. Keragaman ini merupakan yang tertinggi di dunia setelah Brasil (Kompas, 27/2).
Akan tetapi, sejak pemerintahan Presiden Soeharto, sumber karbohidrat yang diprioritaskan hanya beras. Pada 1980-an, pemerintahan Orde Baru melaksanakan Revolusi Hijau untuk menyukseskan program swasembada beras. Demi menjaga keberlangsungan pangan beras, Orde Baru juga memberikan jatah beras bulanan bagi seluruh pegawai negeri sipil (PNS) dan tentara.
Sejak pemerintahan Presiden Soeharto, sumber karbohidrat yang diprioritaskan hanya beras.
Kebijakan penyeragaman bahan pangan itu berlanjut di masa presiden-presiden berikutnya. Pada 2003, Megawati Soekarnoputri melaksanakan program beras miskin (raskin), yaitu pengiriman beras kepada warga miskin di seluruh Indonesia. Bahkan, hingga saat ini, salah satu program Presiden Jokowi Widodo adalah mencetak 1 juta hektar sawah baru.
Selain beras, gandum yang tidak bisa ditanam di Indonesia justru menjadi salah satu pangan pokok yang populer di masyarakat. Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa, mengatakan, proporsi gandum sebagai pangan pokok di Indonesia sudah mencapai 25,4 persen dari total pangan selama 2017. Menurut dia, kondisi ini amat mengkhawatirkan karena sudah melewati ambang kritis, yaitu 25 persen (Kompas, 26/2).
Meski krisis pangan sudah menjadi ancaman, kata Enny, pemerintah belum memberi perhatian lebih pada pangan lokal. ”Saya sudah membicarakan hasil penelitian LIPI kepada pihak Kementerian Pertanian agar pangan pokok tidak hanya fokus pada padi, jagung, dan kedelai, tetapi belum ada tanggapan yang signifikan,” ucapnya.
Selain tanaman pangan lokal, biovillage LIPI juga memiliki kebun plasma nutfah yang ditanami beragam buah. Beberapa di antaranya 500 jenis pisang dan 40 jenis alpukat dari seluruh Indonesia. Di samping itu, LIPI juga bekerja sama dengan perusahaan swasta untuk mengumpulkan buah-buah langka dari seluruh penjuru Indonesia.
Pertumbuhan tanaman yang ditanam di biovillage dioptimalkan dengan penggunaan pupuk organik hayati (POH). Di laboratorium POH, LIPI mengembangkan jenis pupuk yang memiliki 10 mikroorganisme tanah. Kemampuan pupuk tersebut dalam mengolah tanah jauh lebih baik ketimbang pupuk organik lain yang secara umum hanya memiliki dua mikroorganisme tanah.
Penyebab lain krisis pangan adalah kegagalan panen karena kegagalan penyerbukan. Itu disebabkan jumlah kupu-kupu yang terus berkurang.
Optimalisasi pertumbuhan tanaman juga didukung dengan penangkaran kupu-kupu. Dari 2.000 jenis kupu-kupu yang ada di dunia, LIPI menangkarkan 20 di antaranya. Menurut Enny, peran kupu-kupu membantu penyerbukan tanaman kerap tidak disadari banyak pihak. Saat ini, penyerbukan diganti dengan bahan kimia, bukan lagi kupu-kupu.
”Penyebab lain krisis pangan adalah kegagalan panen karena kegagalan penyerbukan. Itu disebabkan jumlah kupu-kupu yang terus berkurang,” ujar Enny.
Peternakan dan pengolahan limbah
Persoalan pangan tidak hanya terkait dengan tanaman, tetapi juga soal hewan. Di biovillage, LIPI beternak sapi dengan teknologi tinggi. Salah satunya teknologi sexing atau rekayasa jenis kelamin sapi.
Kebutuhan peternakan membutuhkan lebih banyak sapi betina ketimbang jantan. Dengan teknologi sexing tersebut, kata Enny, akurasi jenis kelamin sapi yang akan dilahirkan mencapai 90 persen. Dengan demikian, produksi sapi betina bisa dioptimalkan.
Menurut Enny, teknologi tersebut sudah pernah diterapkan di Rumpin, Kabupaten Bogor. Akan tetapi, penerapan tidak bisa meluas ke wilayah lain karena keterbatasan regulasi.
Rekayasa jenis kelamin ini membutuhkan bahan baku sperma sapi yang harus dibawa ke lokasi pengujian. Namun, pemerintah belum mengizinkan sperma sapi dibawa menaiki pesawat.
Dari berbagai tumbuhan dan hewan yang dikembangkan di biovillage, LIPI memproduksi berbagai makanan sehat. Beberapa di antaranya beras, susu, dan yoghurt. Sisa hasil produksi diolah kembali untuk menciptakan manfaat.
Salah satunya adalah budidaya jamur yang menggunakan sisa penggilingan padi atau dedak, serbuk sisa gergaji, dan kapur. Campuran ketiga bahan itu kemudian disterilkan dan diletakkan di dalam ruang budidaya. Setelah jamur dipanen, sisa media tanam bisa diolah kembali menjadi pupuk organik hayati yang berguna menyuburkan tanaman-tanaman lain.
Kerja sama
Menurut Enny, biovillage merupakan etalase hasil penelitian LIPI yang bisa diterapkan langsung oleh masyarakat. Ia pun mencita-citakan, model tersebut bisa diterapkan di desa-desa sehingga setiap desa memiliki mekanisme ketahanan pangan.
Seharusnya ada kerja sama dengan kementerian terkait, tetapi sekarang kami masih berjalan sendiri.
Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi Bambang Sunarko mengatakan, sayangnya prototipe desa ini belum bisa diadaptasi secara nasional. Pihaknya baru bisa menginisiasi kerja sama dengan komunitas masyarakat, perusahaan swasta, dan pemerintah daerah. ”Seharusnya ada kerja sama dengan kementerian terkait, tetapi sekarang kami masih berjalan sendiri,” ujarnya.
Anggota Komisi VIII DPR, Ivan Doly Gultom, mengatakan, penelitian-penelitian yang memiliki dampak langsung terhadap kehidupan masyarakat semestinya mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Ia menyayangkan minimnya anggaran dana yang dialokasikan untuk LIPI.
Anggaran yang diterima LIPI secara keseluruhan Rp 1,2 triliun per tahun. Sebanyak 60 persen dari totalnya digunakan untuk membayar upah pegawai. Oleh karena itu, dana penelitian mendapat porsi 40 persen.
Menurut Enny, anggaran yang diterima LIPI secara keseluruhan Rp 1,2 triliun per tahun. Sebanyak 60 persen dari totalnya digunakan untuk membayar upah pegawai. Oleh karena itu, dana penelitian mendapat porsi 40 persen. ”Saya berharap dana penelitian mendapatkan porsi yang memadai ke depannya,” kata Enny.
Selain itu, LIPI juga berharap ada kerja sama yang baik dari pemerintah maupun swasta untuk menggandakan produk-produk hasil penelitian mereka. ”Kita ini kan sedang berpacu dengan waktu, jika tidak segera digandakan, akan semakin banyak bahan pangan, buah-buahan, yang hilang dari Indonesia,” kata Enny. (DD01)