JAKARTA, KOMPAS -- Dalam sidang vonis pengadilan, terdakwa Jon Riah Ukur Ginting atau Jonru Ginting dinyatakan bersalah dan dihukum penjara selama 1,5 tahun. Dia terbukti menyebarkan ujaran kebencian melalui media sosial.
Sidang vonis tersebut digelar pada Jumat (2/3) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Persidangan dimulai pada pukul 14.00 dan berakhir sekitar pukul 16.00.
Sebelum sidang tutup, Ketua Majelis Hakim Antonius Simbolon menyatakan, terdakwa bersalah dan dihukum penjara 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 50 juta.
Menurut hakim, terdakwa terbukti melanggar Pasal 28 Ayat 2 juncto Pasal 45 Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik, dan Pasal 156 KUHP tentang Penghinaan terhadap Suatu Golongan Tertentu.
Ada lima konten bersifat publik dan dapat dibagikan di media sosial milik Jonru yang disebutkan hakim selama persidangan. Konten pertama berisi pandangan terhadap seorang tokoh dan diposkan pada 23 Juni 2017.
Ada sekitar 25.000 akun menyukainya, 14.000 akun membagikan, dan 7.300 akun mengomentarinya.
Konten kedua membahas suatu aliran tertentu dan diposkan pada 15 Agustus 2017. Sekitar 12.000 akun menyukainya, 2.000 akun membagikannya, dan 500 akun mengomentarinya.
Berselang dua hari, konten ketiga dipos. Isinya berupa pandangan terhadap etnis tertentu. Konten ini disukai sekitar 12.000 akun, dibagikan oleh 2.000 akun, dan dikomentari oleh 500 akun.
Konten keempat diunggah pada 18 Agustus 2017 dan membahas tentang suatu kelompok agama tertentu. Sejumlah kira-kira 32.000 akun menyukainya, 12.000 akun membagikannya, dan 2.100 akun mengomentarinya.
Sementara, konten kelima dibahas dalam suatu acara televisi swasta pada 29 Agustus 2017. Konten itu membahas Presiden Joko Widodo dan secara terpisah menyatakan dugaan adanya suap dalam persetujuan UU Organisasi Masyarakat.
Dalam persidangan, Antonius menyatakan pertimbangan dari saksi ahli sosiologi. "Menurut ahli, konten-konten itu berpotensi menimbulkan permusuhan dan kebencian pada pihak atau kelompok tertentu," katanya.
Adapun sebelumnya, jaksa penuntut menghadirkan ahli hukum pidana, ahli digital forensik, ahli hukum agama Islam, dan ahli sosiologi. Pihak kuasa hukum terdakwa menghadirkan ahli hukum pidana dan ahli aliran sesat.
Ditemui setelah sidang, Ahmad Muchlis, anggota Jaksa Penuntut Umum dan Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, mengatakan, pihaknya cukup puas dan adil meskipun pihaknya meminta hukuman penjara dua tahun.
Angka 1,5 tahun ini sudah lebih dari dua per tiga dari yang diajukan. Menurutnya, keadaan Jonru yang sudah berkeluarga menjadi pertimbangan.
Ahmad menambahkan, jalannya persidangan ini hendaknya mengingatkan berbagai pihak untuk bijak dalam bermedia sosial. "Jika ingin mengkritik, lakukan dengan santun," ujarnya.
Pihak kuasa hukum terdakwa berpendapat, bukti material persidangan ini lemah. "Kemungkinan kami akan mengajukan banding minggu depan," kata Djudju Purwanto, salah satu kuasa hukum terdakwa, saat ditemui setelah persidangan, Jumat.
Djudju berpandangan, hakim hanya memperhatikan hal-hal normatif. Seharusnya, wujud kebencian dan permusuhan serta dampak nyatanya terhadap kelompok atau pihak yang menjadi korban lebih dibuktikan secara konkret.
Sebelumnya, Jonru ditetapkan sebagai tersangka pada 29 September 2017 (Kompas, 30/9/2017) dan ditahan di Polda Metro Jaya pada 30 September 2017 (Kompas, 2/10/2017). Adapun barang bukti yang disebutkan dalam persidangan berupa laptop, flash disk, ponsel, harddisk, sebuah akun media sosial, dan akun surat elektronik. (DD09)