JAKARTA, KOMPAS — Masa depan uang virtual belum jelas di Indonesia. Belum adanya regulasi yang mengatur secara spesifik perdagangan uang virtual menyebabkan para konsumen masih dibayangi risiko yang tinggi.
Ketua Satgas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tongam L Tobing mengimbau masyarakat Indonesia untuk lebih berhati-hati apabila ingin melakukan investasi dengan membeli uang virtual. Salah satu uang virtual yang populer di Indonesia adalah bitcoin. Menurut dia, risiko dari investasi jenis ini sangat tinggi, sebab tidak ada satu instansi atau otoritas pun yang mengawasi peredaran uang virtual, padahal uang virtual diperdagangkan secara internasional.
”Dollar sebagai mata uang AS tidak bisa dijadikan pembayaran di Indonesia, tetapi bisa diperjualbelikan. Mengapa? Karena dollar ada otoritas yang mengawasi, sementara uang kripto (uang virtual) tidak ada,” ujar Tongam saat menjadi pembicara dalam diskusi ”Membaca Arah Nasib Bitcoin di Indonesia” yang diselenggarakan oleh IPMI International Business School di Jakarta, Jumat (2/3).
Sejauh ini, pihak Bank Indonesia telah melarang uang virtual dijadikan alat pembayaran di Indonesia. Selain itu, OJK juga melarang setiap penyedia jasa keuangan di Indonesia untuk memperjualbelikan uang virtual.
Hal tersebut, sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Rupiah sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Uang virtual juga tidak bisa dianggap sebagai efek atau sekuritas karena belum ada peraturan yang melandasi transaksi dalam bentuk tersebut.
Meski begitu, keberadaan uang virtual sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan dinilai oleh Oscar Darmawan, CEO Bitcoin.co.id (penyedia jasa perdagangan bitcoin), telah memiliki landasan hukum. Itu didasarkan pada pemahamannya tentang UU No 7 Tahun 2014 tentang perdagangan. Dalam UU itu, perdagangan barang tidak berwujud melalui sistem elektronik diakui.
”Ini negara hukum, tentu kami mengikuti regulasi bahwa bitcoin tidak bisa jadi alat pembayaran atau dijadikan sebagai efek,” ujar Oscar.
Menurut Oscar, sebagai sebuah industri rintisan, ia bersifat dinamis. Jika otoritas di Indonesia melarang semua transaksi uang virtual dalam bentuk apa pun, ia tidak akan beroperasi di Indonesia, tetapi pindah ke negara lain.
”Tentu sebagai orang Indonesia saya ingin mengembangkan potensi bitcoin di Indonesia. Akan tetapi, kalau tidak memungkinkan, ya berarti negara ini memang tidak mau mendapatkan devisa dari bisnis ini,” ujar Oscar.
Risiko
Hingga saat ini, baik Kementerian Perdagangan maupun Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) belum memberikan pernyataan resmi terkait status jual beli uang kripto. Padahal, jumlah masyarakat Indonesia yang telah menjadi anggota di bitcoin.co.id diklaim telah mencapai 1 juta anggota.
”Tentu saja kalau uang kripto sebagai komoditas itu domainnya Kemendag. Akan tetapi, kami mengimbau kepada masyarakat setiap investasi, kan, ada risiko. Setiap risiko itu tanggung jawab masing-masing. Ada baiknya kenali dulu produk yang akan diinvestasikan,” tutur Tongam.
Tongam khawatir masyarakat dengan kemampuan ekonomi kelas menengah ke bawah di Indonesia cenderung mudah tergiur akan tawaran imbal hasil yang sangat tinggi ketika berinvestasi dalam bitcoin. Menurut dia, jika bitcoin dijadikan investasi, tidak ada kewajiban penjual untuk bertanggung jawab jika tiba-tiba terjadi kerugian yang cukup besar didapatkan oleh investor.
Perubahan secara drastis harga uang virtual dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama dinilai Tongam sangat spekulatif. Tahun lalu, nilai bitcoin melonjak 1.000 persen lebih dan anjlok sekitar 40 persen hanya dalam enam minggu (Kompas, 2/2).
Menurut Tongam, akhir-akhir ini mulai banyak penyedia jasa jual beli bitcoin yang melakukan penawaran tidak masuk akal kepada masyarakat agar membeli bitcoin, antara lain pembeli akan mendapatkan bunga 1-5 persen setiap hari. Bulan ini, OJK akan memanggil sembilan perusahaan penyedia jasa yang diduga melakukan penipuan dengan praktik seperti itu.
”Data pemilik bitcoin juga cenderung anonim (tidak dikenal). Ini sangat rawan terjadi pencucian uang,” ujar Tongam.
Ihwal potensi penyalahgunaan, Oscar menilai, hal itu dapat diminimalkan dengan adanya regulasi yang mengatur secara spesifik tentang uang virtual di Indonesia.
Diterima
Pengajar Hukum Bisnis dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Mustolih Siradj, menilai, keputusan pemerintah yang melarang peredaran uang virtual sebagai alat pembayaran adalah hal yang tepat. Hal itu karena mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada.
Meski begitu, dalam konteks uang virtual sebagai komoditas, Mustolih menilai masyarakat hanya perlu menunggu momentum hingga pemerintah mengeluarkan peraturan yang spesifik mengatur keberadaan uang virtual.
”Dalam era digital, saya kira pada waktunya ini (pemerintah) hanya menunggu momentumnya saja. Artinya, (uang virtual) akan diterima sebagaimana produk-produk baru di mana ada regulasi yang mengadaptasi. Pada akhirnya yang harus dipahami regulator ialah harus open minded (berpikiran terbuka),” kata Mustolih.
Hal yang perlu dipikirkan pemerintah saat ini, menurut Mustolih, ialah mendorong agar peraturan terkait uang virtual tidak hanya mengatur di satu negara. Harus ada peraturan yang disepakati untuk berlaku lintas negara karena sistem yang digunakan dalam uang virtual ialah sistem internasional yang saling terkoneksi. (DD14)