Sekadar membagikan bantuan kepada masyarakat miskin, sejatinya tidak akan membantu memperbaiki kondisi masyarakat tersebut. Karena itu, kegiatan filantropi harus disertai upaya pemberdayaan masyarakat.
SLEMAN, KOMPAS Aktivitas filantropi yang disertai pemberdayaan masyarakat akan berkontribusi signifikan pada pengurangan kemiskinan dan perbaikan taraf hidup masyarakat. Tanpa ada pemberdayaan masyarakat, aktivitas filantropi bukan membantu masyarakat miskin keluar dari kemiskinan, tetapi justru melestarikan kemiskinan.
Apabila filantropi dilakukan hanya dalam bentuk pemberian uang atau barang kepada orang yang dianggap membutuhkan, aktivitas itu tidak akan berdampak signifikan pada pengentasan kemiskinan. Sebaliknya, apabila aktivitas filantropi dikemas dalam sebuah kegiatan pemberdayaan, maka aktivitas tersebut sangat mungkin bisa meningkatkan perekonomian warga yang menjadi sasaran.
“Kegiatan filantropi itu seharusnya bukan hanya charity (amal), tapi juga pemberdayaan,” kata Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, dalam diskusi “Filantropi untuk Pemberdayaan Umat” di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (1/3).
Acara yang digelar atas kerja sama UGM, Muhammadiyah, dan Tahir Foundation itu dihadiri sejumlah pembicara, yakni Menteri Sekretaris Negara Pratikno, pengusaha Dato’ Sri Tahir, dan Rektor UGM Panut Mulyono. Acara yang dipandu oleh jurnalis televisi Najwa Shihab ini dihadiri pula oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir.
Pratikno menyatakan, lembaga-lembaga di luar pemerintah, termasuk para pelaku filantropi, memiliki peran penting untuk ikut menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat. “Energi pemerintah itu terbatas. Oleh karena itu, filantropi menjadi sesuatu yang penting,” ujarnya.
Menurut Mu’ti, aktivitas filantropi juga harus dilakukan dengan motivasi yang tulus dan tidak disertai niatan-niatan tersembunyi. Jika tidak, kegiatan filantropi bisa sekadar menjadi ajang pamer kekayaan.
Dato’ Sri Tahir menuturkan, aktivitas filantropi harus dilakukan berdasarkan komitmen pribadi yang kuat. Karena itu, dia menyebut, kegiatan filantropi berbeda dengan aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) yang dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi perusahaan.
“Filantropi itu bukan CSR dan bukan sedekah. Filantropi itu adalah komitmen terhadap hati nurani kita sendiri,” katanya.
Apabila didasari komitmen pribadi yang kuat, kata Tahir, aktivitas filantropi bisa dilakukan secara berkelanjutan. “Filantropi itu tidak tergantung pada apakah tahun ini kita untung atau rugi. Maka bagi saya, tidak terlalu berat untuk mengerjakan filantropi,” ujar pendiri kelompok usaha Mayapada Group dan lembaga filantropi Tahir Foundation tersebut.
Kerja sama
Dengan komitmen itu pula, Tahir Foundation memutuskan bekerja sama dengan Muhammadiyah dan UGM untuk memberdayakan masyarakat. Dalam kerja sama yang dimulai tahun ini tersebut, Tahir Foundation akan menyalurkan dana filantropi sebesar Rp 250 miliar selama lima tahun atau Rp 50 miliar per tahun. Dana itu akan dipakai untuk pemberdayaan di bidang kesehatan, pendidikan, dan penciptaan lapangan kerja.
Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Muhadjir Darwin mengatakan, dalam kerja sama ini Tahir Foundation sebagai penyedia dana, sementara Muhammadiyah dan UGM sebagai perumus dan pelaksana program pemberdayaan masyarakat. Program ini akan menyasar masyarakat di berbagai wilayah dengan kondisi geografis berbeda, misalnya nelayan, warga kurang mampu di perkotaan, maupun masyarakat yang masih tinggal di pedalaman.
“Program ini nantinya harus inovatif sehingga bisa menciptakan kegiatan produktif yang sustainable (berkelanjutan) di masyarakat,” ujar Muhadjir yang terlibat langsung dalam kerja sama itu.
Haedar Nashir mengatakan, Muhammadiyah siap bekerja sama dengan Tahir Foundation dan UGM untuk mengembangkan pemberdayaan masyarakat yang benar-benar efektif. Dengan pengalaman yang dimiliki ketiga lembaga, kerja sama itu diharapkan bisa menghasilkan program pemberdayaan yang berskala luas dan memberi dampak signifikan.
Panut menambahkan, program pemberdayaan itu akan melibatkan para mahasiswa, baik dari UGM maupun perguruan tinggi Muhammadiyah. Keterlibatan para mahasiswa itu tidak sekadar sebagai pelaksana, tetapi juga sebagai peneliti yang menjadikan program pemberdayaan ini sebagai bahan kajian untuk skripsi, tesis, maupun disertasi. (HRS)