Sebanyak 53 Kasus Perambahan Hutan Riau Belum Ditindaklanjuti
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Laporan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau terhadap 38 korporasi dan 15 pemodal perorangan atau cukong yang melanggar perambahan hutan selama 2017 belum ditindaklanjuti aparat penegak hukum. Keseluruhan kasus itu diduga melanggar Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan karena merambah dasar hutan tanpa izin.
Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) membuka laporan terkait hasil investigasi perambahan kawasan hutan selama 2017, Jumat (2/3), pada acara Solusi Penyelesaian Kasus Kejahatan Kawasan Hutan, di Tjikini Lima, Jakarta.
Dari investigasi itu, terdapat 35 perusahaan dan 15 cukong yang terbukti melanggar UU P3H karena merambah hutan tanpa izin serta 3 perusahaan yang menerima titipan hasil hutan yang diambil dengan ilegal.
Sejumlah 53 kasus itu telah dilaporkan dengan audiensi ke Komisi Kepolisian Nasional pada 30 Januari 2018. Namun, ketika diperiksa ulang pada 19 Februari 2018, laporan itu belum ditindaklanjuti. “Belum didisposisikan siapa yang akan menangani kasus itu,” kata Okto Yugo Setyo, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari, saat diwawancari usai acara.
Jikalahari juga telah melaporkan kasus itu ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 9 Januari 2018. Namun, sampai saat ini laporan itu masih sebatas mendapatkan nomor pengaduan.
Menurut Okto, tidak ada perkembangan signifikan dari laporan-laporan tersebut. Tidak ada kejelasan mengenai lanjutan dari pengembangan laporan investigasinya. “Padahal pelanggaran itu mengakibatkan proses ilegal pembukaan sawit. Akibatnya mulai dari sungai tercemar karena aktivitas pabrik, kebakaran hutan karena proses peluasan hutan dengan cara murah yaitu membakar, dan ruang masyarakat yang semakin berkurang,” katanya.
Ditarik lebih jauh, sejak 2016, Jikalahari sudah melaporkan 145 kasus kejahatan hutan ke aparat penegak hukum. Dari jumlah itu, hanya satu kasus yang sampai tahap putusan peradilan. Kasus lainnya terhenti di penyidikan.
Proses hukum pada kasus perambahan hutan harus cepat ditangani. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perusahaan sawit tanpa izin merugikan negara sampai Rp 39 triliun per tahun, sedangkan pendapatan yang diterima negara hanya Rp 9 triliun per tahun.
Sementara itu, hanya 154 dari 513 perusahaan sawit yang berizin lengkap dan hanya 105 yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. Masalahnya, perusahaan yang tidak berizin itu merambah 1,8 juta hektar lahan.
Banyak pula cukong perorangan yang memiliki lahan mencapai 1.000 hektar. “Secara garis besar di belakang itu ada oknum aparat penegak hukum, pengusaha, orang parpol, anggota dewan, masyarakat setempat yang bermain. Akses informasi dan cara mendapatkannya bisa main dengan elit politik dan pimpinan adat,” kata Okto.
Sinergitas penegak hukum
Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environment Law (ICEL) Henri Subagyo menyatakan, penuntasan kejahatan kawasah hutan harus diselesaikan melalui akuntabilitas penegakan hukum. Hal itu untuk menangani laporan kejahatan yang disampaikan masyarakat.
Henri menilai, perlu sinergitas kelembagaan penegakan hukum untuk mengatasi permasalahan perambahan hutan. Menurut dia, Presiden Joko Widodo harus membentuk lembaga pencegahan dan pemberantasan kejahatan kehutanan sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
“Regulasi sudah banyak, saat ini yang harus dilakukan adalah sinergitas kelembagaan penegakan hukum. Dengan itu kita bisa menangkap otak dari kejahatan terhadap hutan. Tidak seperti selama ini hanya mengorbankan masyarakat kecil,” ucap Henri.
Menurut Henri, perlu ada kolaboransi dari KLHK, Kejaksaan, Kepolisian, PPATK, dan Perpajakan untuk mengatasi permasalahan perambahan hutan. “Kami harap Presiden bisa menuntaskan kasus kejahatan ini,” katanya.
Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia Soelthon Gussetya Nanggara mengatakan, pemerintah harus berperan lebih dalam pengawasan. Tidak mungkin penegakan hukum hanya menunggu laporan masyarakat.
“Posisi pemerintah selama ini seperti hanya menunggu aduan. Ujung-ujungnya terjadi kriminalisasi pada masyarakat. Kesannya kami bertarung langsung dengan cukong ini,” kata Soelthon. (DD06)