Yie Gae Tjie, Perintis Pemasaran Wastra NTT
Lembaran kain tenun (wastra) berbagai motif terpajang di sisi kiri Jalan Nong Meak 27 Maumere, Nusa Tenggara Timur. Sementara di bagian dalam gerai seni (art shop) Kota Pena itu, berbagai motif kain tenun asal 22 kabupaten/kota di NTT dipajang. Harga kain itu berkisar Rp 50.000-Rp 5 juta per lembar. Kain tenun dengan 1.700 motif inilah yang tersebar sampai di Labuan Bajo dan Kota Kupang untuk menjadi barang cendera mata wisatawan.
Usaha cendera mata tenun ini dirintis Yie Gae Tjie alias Baba Itje alias Moat Babong sejak 1978. Saat itu, produksi tenun di Sikka atau Nusa Tenggara Timur (NTT) belum mewabah seperti sekarang. Baba Itje harus berjalan dari kampung ke kampung di Sikka untuk mendapatkan 2-5 lembar tenun, kemudian memajangnya di art shop Kota Pena, miliknya.
”Mungkin tahun itu, saya satu-satunya yang membuka art shop tenun di Flores. Tahun 1978-2008, turis-turis berombongan masuk-keluar tempat ini, membeli kain tenun, suvenir khas Flores, atau sekadar melihat,” kata Baba Itje.
Saat itu, wisatawan yang datang ke gerai seninya 20-70 orang saja. Akan tetapi, jumlah turis tersebut berangsur menurun, dan sampai hari ini boleh dibilang sepi. ”Kini, dalam satu pekan, 3-5 orang mampir, tidak hanya turis asing, tetapi juga konsumen lokal,” katanya.
Sesuai adat Sikka, sampai 1978, kain tenun tidak boleh atau haram diperjualikan. Kain itu memiliki nilai keramat, mistis, warisan leluhur, alat mas kawin, pakaian kebesaran ratu dan raja, dan hanya boleh disimpan di rumah-rumah adat. Warga setempat percaya, jika aturan tersebut dilanggar dan wastra itu disalahgunakan, mereka akan terkena hukuman dari leluhur.
Seusai ditenun, wastra disimpan saja di rumah. Saat pesta adat atau hari keagamaan kain tenun itu dipakai. Meski demikian, semangat menenun warga setempat tetap membara karena keterampilan itu peninggalan leluhur. Kain pun terus menumpuk.
Seiring dengan tuntutan zaman dan kebutuhan penenun, keangkeran adat dalam lembaran tenun pun berubah.
Baba Itje meyakinkan penenun dan tetua adat saat itu bahwa tenun tidak boleh disimpan begitu saja sebagai barang pusaka. Karena tenun terus diproduksi oleh kaum perempuan, tenun harus dijual untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Tradisi leluhur harus bisa menyejahterakan bukan mengungkung.
Seiring dengan tuntutan zaman dan kebutuhan penenun, keangkeran adat dalam lembaran tenun pun berubah. Tenun saat ini dengan mudah ditemukan di mana-mana di setiap kabupaten.
Berkat dorongan dan inspirasi dari Baba Itje, di Maumere sudah hadir sekitar 10 jenis suvenir wastra, Larantuka 7 suvenir, Ende 12 suvenir, dan Bajawa 8 suvenir, dan Labuan Bajo 6 suvenir tenun. Sebagian besar suvenir tenun ini berada di pasar-pasar tradisional.
Namun, di balik itu, toko-toko suvenir tenun yang sudah punya nama, termasuk artshop Kota Pena, perlahan menjadi sepi oleh maraknya suvenir yang dijual di sejumlah tempat ini. Lagi pula, harga tenun di toko-toko suvenir yang ada di pasar-pasar tradisional relatif lebih murah dibandingkan di toko-toko.
Kerja sama
Di pusat suvenir lain, kain itu dibeli dari desa-desa, tetapi di art shop Kota Pena, kain tenun diantar warga. Sejak 1979, Babai Itje membangun kerja sama dengan para penenun di 70 desa di Sikka. Kini, mereka paham ke mana mereka harus menjual kain setelah selesai menenun.
”Mereka menitipkan kain-kain hasil tenunan di sini. Saya jual sesuai harga yang mereka patok. Namun, ada jenis kain tertentu yang saya beli langsung karena dari sisi kualitas sangat bagus dan saya pastikan bahwa kain itu cepat diminati konsumen,” kata Baba Itje.
Selain tenun Sikka, Baba Itje juga menjual tenun dari Flores Timur, Ende, Ngada, Nagekeo, Manggarai, Sumba, Sabu, dan Timor. Harga kain bervariasi Rp 50.000-Rp 5 juta per lembar. Tenun seharga Rp 5 juta berjenis kain tua dan diproses dengan cara memintal secara manual benang asli dari kapas.
Di toko suvenir itu, tenun yang dijual terdiri atas 1.700 jenis motif dengan kekhasan tersendiri. Masing-masing motif memperlihatkan daerah asal dari kain tenun itu. Hampir 22 kabupaten/kota di NTT memiliki motif berbeda-beda. Hanya suku Lamaholot (Flores Timur, Lembata, dan Alor) yang memiliki motif tenun hampir mirip.
Ia mengatakan, penurunan omzet tenun di tempatnya terjadi karena Bandara Frans Seda di Wai Oti, Maumere, bukan lagi satu-satunya Bandara di Flores seperti dulu.
Kini, turis asing boleh datang atau keluar Flores melalui Ende dan Labuan Bajo. Dua tempat ini paling diminati turis karena memiliki daya tarik tersendiri, yakni Danau Kelimutu di Ende dan komodo di Pulau Komodo, Labuan Bajo.
Baba Itje sedang merintis kerja sama dengan beberapa toko suvenir di Ende dan Labuan Bajo dalam penjualan tenun ikat. Setiap bulan, ia mengirim 150 kain ke pusat suvenir di Ende dan Labuan Bajo, demikian sebaliknya.
Pengunjung yang baru datang ke art shop Kota Pena akan terkesima dengan sejumlah aksesori yang menghiasi toko itu. Ribuan bola dari anyaman daun lontar berdiameter sekitar 15 sentimeter bergelantungan di emperan toko, bahkan di pagar pintu masuk gerai seni itu.
Benda-benda antik, seperti parang, tombak, dan perisai berusia ratusan tahun, terpajang di dinding rumah dan di dalam toko. Berbagai jenis suvenir berupa anting, rantai, gelang dari kulit penyu, dan kayu pun disiapkan di situ. Baju-baju pria dan perempuan hasil modifikasi antara kain tenun dan kain hasil produksi pabrik dipajang di antara tenun-tenun.
Dengan usaha wastra itulah, Baba Itje bisa membiayai pendidikan kedua anaknya sampai perguruan tinggi. Namun, lebih dari itu ia mempunyai beberapa aktivitas di bidang sosial kemasyarakatan dengan biaya pribadi.
Dengan usaha wastra itulah, Baba Itje bisa membiayai pendidikan kedua anaknya sampai perguruan tinggi. Namun, lebih dari itu ia mempunyai beberapa aktivitas di bidang sosial kemasyarakatan dengan biaya pribadi. Satu bulan ia bisa merogoh kocek pribadi hingga Rp 5 juta untuk berbagai aktivitas kemanusiaan. Uang itu dari hasil penjualan kain tenun dan berbagai suvenir.
Dia antara lain menggerakkan kegiatan Bola Kemanusiaan Flores, yakni bermain bola bersama, masing-masing tim berjumlah enam orang. Bermain bola komunal ini untuk membangun persaudaraan, kejujuran, dan kebersamaan di kalangan masyarakat.
Sekarang saya bina 100 anak-anak pengangguran di Kota Maumere, dengan mendorong mereka menjadi tukang cukur rambut di pasar-pasar. Anak-anak itu sangat pintar mencukur atau merapihkan rambut pria, tetapi tidak diberdayakan.
”Sekarang saya bina 100 anak-anak pengangguran di Kota Maumere, dengan mendorong mereka menjadi tukang cukur rambut di pasar-pasar. Anak-anak itu sangat pintar mencukur atau merapihkan rambut pria, tetapi tidak diberdayakan,” ujarnya.
Baba Itje pun melengkapi mereka dengan alat cukur yang dibelinya sendiri untuk digunakan anak-anak muda itu. Dengan demikian, keterampilan mereka menggunting rambut bisa menjadi lapangan pekerjaan bagi mereka.
Yie Gae Tjie
- Lahir: Maumere, 16 Oktober 1954
- Pendidikan: Belajar otodidak
- Istri: Theresia Indri Yuliastuti
- Anak-anak: Dian Djimmy (28), Yezenia Djimmy (17)