Berkah Keberuntungan di Pulau Kemaro
Orang-orang memadati rumah ibadah Tri Dharma Hok Ceng Bio di Pulau Kemaro, Palembang, Sumatera Selatan, saat waktu bergulir memasuki Kamis (1/3) dini hari. Pembukaan rangkaian perayaan Cap Go Meh di Pulau Kemaro dilakukan.
Selain menziarahi makam Buyut Siti Fatimah, putri Palembang yang dianggap sebagai leluhur masyarakat Tionghoa di Palembang, mereka juga berdoa kepada Dewa Bumi (Hok Tek Cin Sin) di dalam kelenteng. Mereka mengharapkan berkah di tahun baru.
Tradisi ini sudah menjadi agenda tahunan yang selalu dinanti dan menjadi salah satu daya tarik wisata di Palembang.
Perayaan dimulai pada sehari menjelang Cap Go Meh dan ditutup sehari setelah Cap Go Meh, atau selama 3 hari 2 malam. Jumlah pengunjung dalam rangkaian acara ini bisa mencapai 90.000 orang.
Pulau Kemaro berada di tengah Sungai Musi. Pada hari biasa, untuk mencapainya, pengunjung harus menyeberang dengan menggunakan perahu ketek.
Namun, saat perayaan Cap Go Meh, perayaan terakhir tahun baru atau 15 hari setelah tahun baru China, ada akses khusus yang disediakan panitia. Sebanyak enam kapal ponton sepanjang 200 meter disediakan sebagai jembatan sementara bagi pengunjung yang ingin datang ke Pulau Kemaro.
Begitu memasuki kawasan pulau, sekitar 3.000 lampion menghiasi tiap ruas jalan. Di kiri-kanan jalan juga tersedia warung kuliner yang dapat disinggahi pengunjung. Wayang orang Tionghoa juga digelar untuk memeriahkan acara.
Namun, pusat perayaan berada di Kelenteng Hok Ceng Bio. Saat memasuki kelenteng, kepulan asap dari dupa menyeruak ke seluruh ruang rumah ibadah.
Pengunjung masuk keluar untuk berdoa sembari membawa dupanya. Pertunjukan barongsai juga beraksi di depan pintu masuk kelenteng.
Ada sebuah prosesi yang selalu dilakukan pengunjung setiap datang ke kelenteng saat Cap Go Meh, yakni meminta kembang yang telah didoakan di atas makam Siti Fatimah.
Bunga tersebut disandingkan dengan kantong berwarna kuning berisikan bulir padi dan jagung. Kantong kuning tersebut melambangkan kemakmuran dan kesehatan.
Kedua benda tersebut dipercaya mampu mendatangkan keberuntungan, mempermudah jodoh, membersihkan diri, dan memperlancar usaha.
Bahkan, beberapa pengunjung datang dengan membawa kembang yang mereka peroleh tahun lalu dan menukarnya dengan yang baru.
Setelah kantong dan kembang diserahkan petugas, orang yang mendapatkannya kemudian memasukkan uang ke dalam drum berwana merah yang diletakkan tepat di depan makam sebagai tanda syukur dan terima kasih.
Prosesi yang paling ditunggu adalah sembayang kepada Thien (Tuhan Yang Maha Esa). Sembahyang dilakukan dengan mempersembahkan kambing hitam yang disembelih.
Darah kambing dipercaya mendatangkan keberuntungan. Penyembelihan biasanya dilakukan tepat pukul 00.00, tetapi tahun ini molor menjadi pukul 01.25.
Saat bunyi lonceng terdengar, tanda pendeta tiba di rumah ibadah, peziarah berdesakan mendekati kambing yang akan disembelih di depan makam Siti Fatimah.
Biasanya, darah kambing itu diperebutkan peziarah. Mereka mencelupkan uang ke dalam darah kambing. Uang yang terkena darah menjadi simbol kesejahteraan.
Namun, karena sering terjadi kerusuhan, sejak empat tahun lalu panitia tidak lagi memperbolehkan perebutan darah. Darah kambing yang telah disembelih ditampung dalam terpal berwarna biru dan dipersembahkan di salah satu altar di kelenteng.
Namun, dini hari itu, saat pendeta mempersilakan panitia menyembelih kambing hitam yang telah didoakan, tetap saja pengunjung berusaha mendekati kambing tersebut untuk mendapatkan darahnya.
Anggota TNI/Polri yang bersiaga pun tampak kewalahan menghalau serbuan pengunjung yang sudah mempersiapkan uangnya sejak awal. Darah kambing yang tercecer pun akhirnya dilap dengan uang.
Sulati (64), pengunjung dari DKI Jakarta yang tengah menghitung uang yang berhasil dilumuri dengan darah kambing, mengatakan, uang tesebut akan disimpannya sebagai peruntungan usaha nanti. Ada 4 lembar uang nominal Rp 100.000, 1 lembar uang Rp 20.000, dan 2 lembar uang Rp 10.000.
Ini adalah kali ke-10, Sulati datang ke Pulau Kemaro untuk merayakan Cap Go Meh. ”Saya ingin merasakan kemeriahan yang ada. Itulah sebabnya saya selalu datang ke sini,” katanya.
300 tahun
Wakil Ketua Yayasan Pulau Kemaro Chandra Husein mengatakan, tradisi Cap Go Meh di Pulau Kemaro sudah berlangsung sejak 300 tahun lalu.
Perayaan dilakukan oleh umat Tri Dharma (Buddhisme, Taoisme, dan Konfusius) yang dipimpin seorang kapitan atau pejabat yang ditunjuk untuk mengurusi warga perantau Tionghoa pada masa kolonial Belanda.
”Tradisi ini terus berlanjut hingga saat ini,” ujarnya.
Berdasarkan legenda yang tertulis di prasati di Pulau Kemaro, Siti Fatima, leluhur yang dimuliakan di Pulau Kemaro adalah putri raja Palembang yang menjalin cinta dengan seorang pedagang China bernama Tan Bun An. Tan Bun An lalu mengajak Siti Fatimah bertemu keluarganya di China.
Saat kembali ke Palembang, mereka dibekali tujuh guci yang berisi emas. Sesampai di muara Sungai Musi, Tan Bun An ingin melihat hadiah emas di dalam guci-guci itu. Namun, yang ditemukan hanya sayuran busuk. Ia lalu membuang guci itu ke sungai.
Guci terakhir terjatuh diatas dek dan pecah. Ternyata di dalamnya terdapat emas. Tanpa berpikir panjang ia terjun ke dalam sungai untuk mengambil emas-emas dalam guci yang sudah dibuangnya.
Seorang pengawalnya juga ikut terjun membantu, tetapi kedua orang itu muncul. Siti Fatimah akhirnya ikut terjun ke Sungai Musi.
Kisah itu menjadi simbol kesetiaan, yang mengena saat perayaan Cap Go Meh yang merupakan ajang para pemuda-pemudi mencari jodoh.
Chandra mengisahkan, kehidupan pemudi Tionghoa pada zaman feodal cukup sulit. Dalam menjalani hidupnya, mereka seakan dipingit.
Satu-satunya waktu yang dapat digunakan untuk mencari jodoh adalah saat hari lampion atau Cap Go Meh. Saat itu, pemudi boleh keluar rumah dengan alasan melihat perayaan malam lampion.
Namun, pada saat bersamaan, para pemuda akan melihat pemudi yang keluar dan mengincar pasangannya untuk dinikahkan di kemudian hari.
”Itulah di Pulau Kemaro ada satu pohon beringin yang dijuluki pohon cinta karena banyak pasangan pemuda-pemudi yang menuliskan namanya di batang pohon. Namun, saat ini hal itu dilarang sehingga mereka menulis namanya di pagar yang mengelilingi pohon,” ujar Chandra.
Menurut dia, tradisi seperti ini menjadi salah satu daya tarik wisata bagi masyarakat tidak hanya di dalam negeri, bahkan di luar negeri. Biasanya wisatawan datang dari Malaysia, Hong Kong, Singapura, India, dan sejumlah negara lain.
”Perayaan ini melibatkan semua kalangan masyarakat. Ini sebagai wujud dari toleransi yang kian kental,” kata Chandra.
Karena banyaknya pengunjung, persiapan sudah dilakukan panitia sejak sebulan sebelum acara berlangsung.
Selain Kelenteng Hok Ceng Bio, di Pulau Kemaro juga terdapat pagoda sembilan lantai setinggi 45 meter dan lebar 13 meter yang kian indah dengan berbagai hiasan lampu warna-warninya.
Pejabat sementara Wali Kota Palembang Akhmad Najib mengungkapkan, perayaan Cap Go Meh merupakan wujud nyata dari keberagamaan di kota Palembang.
”Semua bergembira, bukan hanya masyarakat Tionghoa, melainkan juga suku-suku lainnya. Ini menunjukkan keberagamaan masyarakat Palembang semakin kuat,” kata Najib.
Di sisi lain, kata Najib, perayaan Cap Go Meh ini juga mampu menaikkan ekonomi masyarakat. ”Terdapat ratusan pedagang di sini sehingga berdampak terhadap berputarnya roda ekonomi masyarakat,” ujar Najib.