Diversifikasi untuk Pemenuhan Gizi Seimbang
YOGYAKARTA, KOMPAS -- Pemerintah menyatakan komitmennya untuk terus mendorong upaya diversifikasi atau penganekaragaman bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat. Namun, upaya diversifikasi tidak hanya bertujuan untuk memasyarakatkan sumber karbohidrat selain beras, melainkan juga untuk mendorong terpenuhinya gizi seimbang di kalangan masyarakat.
"Diversifikasi pangan itu bukan berarti diversifikasi karbohidrat, tapi bagaimana kita mendorong konsumsi pangan yang beragam dan bergizi seimbang," kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi, Jumat (2/3), di Yogyakarta.
Agung menyatakan, pemerintah berkomitmen terus mendorong diversifikasi pangan yang berbasis bahan pangan lokal. Namun, ia mengingatkan, bahan pangan lokal itu bukan hanya bahan pangan sumber karbohidrat seperti sagu, singkong, dan ketela. "Kita juga punya banyak jenis sayuran," ujarnya.
Oleh karena itu, pemerintah akan terus mendorong agar masyarakat lebih banyak mengonsumsi bahan pangan selain sumber karbohidrat, misalnya sayuran dan buah-buahan. "Konsumsi buah dan sayur kita itu masih jauh dari yang direkomendasikan. Yang direkomendasikan itu kan 73 kilogram per kapita per tahun, tapi kita baru 43 kg per kapita per tahun," papar Agung.
Untuk mewujudkan diversifikasi pangan, pemerintah mendorong upaya-upaya pengolahan bahan pangan lokal menjadi produk makanan yang menarik, baik secara rasa maupun tampilan. Pengolahan semacam itu penting agar masyarakat luas tertarik untuk mengonsumsi bahan pangan lokal. "Yang kita inginkan adalah menumbuhkan ketertarikan masyarakat untuk mengonsumsi pangan lokal, bukan kita memaksa mereka," ungkapnya.
Agung juga menyebut, ke depan, upaya diversifikasi pangan yang dilakukan pemerintah akan lebih banyak menyasar kalangan menengah ke atas. Sebab, kalangan menengah ke atas dinilai lebih mudah diajak melakukan diversifikasi pangan. "Masyarakat kelas menengah ke atas itu sudah sadar pangan," tuturnya.
Kepala Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Tri Agustin Satriani, mengatakan, upaya mewujudkan diversifikasi pangan oleh pemerintah antara lain dilakukan dengan mendorong tumbuh dan berkembangnya usaha pengolahan bahan pangan pokok lokal selain beras dan gandum. Upaya itu terwadahi dalam program Pengembangan Pangan Pokok Lokal (P3L).
Dengan tumbuhnya usaha pengolahan, maka nilai ekonomi bahan pangan lokal, seperti sagu, singkong, ketela, dan sorgum, akan meningkat sehingga masyarakat pun tergerak untuk membudidayakan berbagai jenis tanaman pangan tersebut. “Kita mulai menggarap sisi hilirnya karena selama ini kan sebenarnya bahan pangan pokok lokal, misalnya sagu dan ketela, itu sudah ada tapi nilainya murah. Jadi kita berusaha bagaimana supaya ada nilai tambah,” kata Tri.
Tahun ini, Badan Ketahanan Pangan akan memberikan bantuan program P3L kepada 15 kelompok usaha pengolahan bahan pangan pokok lokal yang tersebar di 13 provinsi di Indonesia, misalnya Papua, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Riau, Gorontalo, Kalimantan Utara, Bali, dan Sulawesi Tengah. Unit usaha yang mendapat bantuan itu antara lain bergerak di bidang pengolahan sagu, jagung, talas beneng, dan ubi kayu.
“Masing-masing kelompok itu akan mendapat bantuan senilai Rp 400 juta yang antara lain digunakan untuk membeli peralatan dan bahan baku serta melakukan pendampingan dan uji laboratorium untuk menjamin produk mereka aman,” ujar Tri.
Tri menambahkan, Badan Ketahanan Pangan juga mendorong tumbuhnya Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), yakni suatu kawasan budidaya tanaman pangan, buah, sayuran, serta tanaman obat keluarga di lahan pekarangan. Pengembangan KRPL bertujuan agar masyarakat bisa memenuhi asupan gizinya tanpa harus mengeluarkan biaya yang terlalu besar. “Berdasarkan data kami, program ini bisa menghemat belanja rumah tangga sekitar 30 persen,” katanya.
Menurut Tri, program KRPL diinisiasi sejak tahun 2010 dan saat ini sudah ada sekitar 18.000 kelompok KRPL di seluruh Indonesia. Tahun ini, Badan Ketahanan Pangan akan mengembangkan 2.300 kelompok KRPL baru. Pengembangan KRPL dilakukan selama tiga tahun dengan pemberian bantuan sebesar Rp 50 juta pada tahun pertama dan Rp 15 juta pada tahun kedua. “Pada tahun ketiga, kelompok ini kami targetkan sudah bisa mandiri, tetapi mereka tetap kami dampingi,” paparnya.
Kunjungan lapangan
Pada Jumat (2/3), tim Badan Ketahanan Pangan melakukan kunjungan ke wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk melihat model program diversifikasi pangan yang diinisiasi pemerintah.
Salah satu yang dikunjungi adalah Usaha Kecil Menengah (UKM) Putri 21 di Desa Ngawu, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, DIY, yang merupakan usaha pengolahan berbasis pangan lokal. Pada tahun 2012, usaha itu mendapat bantuan berupa peralatan kerja dari Badan Ketahanan Pangan.
Ketua UKM Putri 21, Suti Rahayu (62), menjelaskan, produk andalan usaha tersebut adalah mi yang dibuat dari tepung mokaf. Mokaf merupakan tepung yang dibuat dengan bahan baku singkong. Mi yang diproduksi UKM Putri 21 itu diberi merek “Mie AYO” dan telah dipasarkan ke berbagai wilayah Indonesia. “Produksi mi kami rata-rata 50 kilogram per hari. Mi AYO memiliki 20 varian rasa, misalnya brokoli, sawi, buah naga, cabai merah, dan lain sebagainya,” katanya.
Suti menambahkan, pihaknya membeli bahan baku produksi mi dari kelompok tani di Gunung Kidul. “Usaha produksi mi berbahan mokaf ini sekaligus bisa mengangkat harga singkong sehingga teman-teman kelompok tani juga lebih sejahtera. Saat ini, kami membeli singkong dari petani dengan harga Rp 1.200 per kilogram, padahal sebelumnya singkong di sini harganya hanya Rp 500 per kg dan itu pun enggak laku dijual dan hanya dipakai untuk pakan ternak,” kata dia.
Tim Badan Ketahanan Pangan juga sempat mengunjungi KRPL yang diinisiasi secara swadaya oleh masyarakat di Dusun Gading IV, Desa Gading, Kecamatan Playen, Gunung Kidul. Di kawasan itu, terdapat lahan dengan luas sekitar 2.000 meter persegi yang digunakan untuk menanam aneka jenis tanaman, misalnya cabai, gaharu, terong, sawi, dan lain sebagainya.
"Pengembangan kawasan ini dilakukan sejak tahun 2014. Hasil panen tanaman ini dikonsumsi oleh masyarakat sendiri dan kalau ada lebihnya, dijual," kata Sumari (58), inisiator usaha budidaya swadaya di Dusun Gading IV.
Sumari menambahkan, beberapa waktu lalu, saat harga cabai sedang tinggi, warga Dusun Gading IV berinisiatif menanam cabai di lahan tersebut. Selain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, hasil panen cabai waktu itu juga dijual untuk menambah penghasilan warga. "Saat itu, hasil panen cabai di lahan ini mencapai beberapa kuintal," katanya.