Mengenang 76 Tahun Pertempuran Leuwiliang
Berbagai pertempuran terjadi antara tentara Kekaisaran Jepang dan pasukan Sekutu di kawasan Pasifik pada Perang Dunia II, menyusul serangan Jepang ke Pearl Harbor, Hawaii, 7 Desember 1941. Salah satu pertempuran berdarah antara Jepang dan Sekutu, yang jarang diketahui orang, terutama warga Indonesia, pecah di Jembatan Cianten, sebelah timur Kota Kecamatan Leuwiliang, sekitar 25 kilometer arah barat Kota Bogor, 2-4 Maret 1942, tepat 76 tahun silam.
Lokasi pertempuran tersebut berada di sekitar Jembatan Cianten dan sebelah selatan jembatan yang digunakan pasukan Jepang untuk menerobos ke arah Bogor setelah mereka mendarat di Merak pada 1 Maret 1942.
Pasukan Jepang yang dipimpin Jenderal Hitoshi Imamura berhadapan dengan pasukan Sekutu yang dipimpin Brigadir Jenderal Arthur Blackburn yang disebut Blackforce.
Pasukan Blackforce merupakan gabungan dua batalyon Angkatan Darat Australia, ditambah pasukan Angkatan Darat Amerika Serikat (US Army) dari Batalyon Artileri 131 asal Texas, dan pasukan Inggris dari Batalyon Kavaleri Ringan (Hussar) serta berbagai elemen pasukan Inggris yang mundur dari Malaya dan tentu saja pasukan KNIL Belanda.
Michael Kramer, pengurus Asosiasi Persahabatan Indonesia-New South Wales, Australia, mengadakan beberapa kali kunjungan dan riset ke lokasi pertempuran yang berjarak 15 kilometer dari Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) di Dramaga.
”Saya akhirnya memasang plakat mengenang Batalyon Senapan Mesin 2/3 dan Batalyon Perintis (Pioneer) 2/2 yang menghadang laju tentara Jepang di sekitar Cianten,” kata Kramer mengisahkan kunjungannya pada 2 Maret 2017 untuk memasang plakat dan lambang bendera Australia di salah satu bungker pertahanan (pillbox) di lokasi pertempuran.
Sebagian lokasi pertempuran masih utuh karena masuk dalam area konservasi Museum Pasir Angin di Desa Cemplang, Kelurahan Cibungbulang, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Museum tersebut memamerkan peninggalan zaman prasejarah yang memang banyak ditemukan di sepanjang jalur Bogor-Rangkasbitung.
Penjaga museum tersebut bernama Isak Tumetir yang memberikan banyak keterangan kepada Kramer yang membuat catatan resmi kondisi situs pertempuran Sekutu melawan Jepang. Lokasi pertempuran membentang dari sekitar Jembatan Cianten hingga 8 kilometer di selatan wilayah tersebut.
Kalah jumlah
Pertempuran Sekutu melawan Jepang pada awal Maret 1942 tersebut berlangsung dalam keadaan tidak seimbang. Sekutu mengandalkan pasukan Australia sebanyak 2.300-an orang, 750 prajurit artileri Amerika dari Batalyon 131, skuadron Hussar (kavaleri ringan) Inggris dengan hanya 25 tank, dan resimen artileri pertahanan udara. Musuh mereka adalah satu divisi penuh infanteri Jepang yang berjumlah di atas 10.000 prajurit.
Pihak Jepang, yakni Tentara Ke-16 di bawah Letnan Jenderal Hitoshi Imamura dengan ujung tombak Divisi 2 Infanteri (Dai Ni Shidan) di bawah Letnan Jenderal Masao Maruyama, membawahkan dua detasemen infanteri Nasu dan Fukushima.
Detasemen Nasu terdiri atas Resimen Infanteri 16 (minus Batalyon 1), Batalyon Artileri 1 dari Resimen Artileri Lapangan Ke-2 (minus 1 kompi artileri), Kompi 1 dari Resimen Zeni Ke-2, serta dua Kompi Angkutan Bermotor dan Detasemen Fukushima yang berkekuatan Resimen Infanteri Ke-4 (minus Batalyon 3), Batalyon 2 dari Resimen Artileri Lapangan Ke-2, Batalyon Anti Tank Ke-5, dan Kompi 2 dari Resimen Zeni kK-2. Mereka mendarat di Merak, Banten, dengan diangkut 56 kapal transport Kaigun (Angkatan Laut Jepang), pada 1 Maret 1942 pukul 02.00.
Sebelumnya, dalam Pertempuran Selat Sunda (Battle of Sunda Strait), sepasang kapal penjelajah Sekutu, USS Houston milik Angkatan Laut AS (US Navy) dan HMAS Perth dari Angkatan Laut Australia (Royal Australian Navy/RAN), menenggelamkan lima kapal angkut Jepang sebelum akhirnya ditenggelamkan pihak Jepang yang mengepung mereka.
Kapal angkut Ryujo Maru yang ditenggelamkan mengangkut Letjen Hitoshi Imamura yang segera dievakuasi ke darat. Adapun menurut sejarawan Didi Kwartanada, kapal angkut Sakura Maru tenggelam berikut alat propaganda yang disiapkan Jepang, yakni paket piringan hitam berisi rekaman lagu ”Indonesia Raya” yang dimainkan orkes Philharmonic Tokyo.
Blackforce mengambil posisi pertahanan di sisi timur sungai menanti kedatangan pasukan Jepang.
Pasukan Jepang yang berhasil mendarat segera bergerak menuju Serang-Rangkasbitung menuju Bogor untuk mencapai sasaran akhir pusat pertahanan Sekutu di Pulau Jawa, yakni Kota Bandung.
Untuk mengelabui pesawat pengintai Jepang, Brigjen Blackburn mengerahkan truk-truk pengangkut pasukan berputar-putar kota Batavia (Jakarta) sehingga Jepang mengira ada banyak truk yang dikerahkan Sekutu dalam pertahanan Pulau Jawa sebelah barat.
Sedianya pasukan KNIL di bawah Mayor Jenderal Schilling akan bersama-sama Blackforce mempertahankan garis sepanjang Leuwiliang-Bogor. Akan tetapi, setelah mengetahui pasukan Jepang yang mendarat di Eretan Wetan, Indramayu, berhasil bergerak menuju Subang, dekat Bandung, satu resimen pasukan KNIL di bawah Schilling diperintahkan pindah memperkuat pertahanan Bandung.
Dalam buku Arthur Blackburn VC An Australian Hero, His Men, and Theirs Two World Wars disebutkan, Blackforce yang mencapai Leuwiliang menjelang dini hari 2 Maret 1942 segera mengambil posisi pertahanan.
Pasukan KNIL sebelumnya sudah meledakkan jembatan di perbatasan Leuwiliang-Bogor di Sungai Cianten sehingga Blackforce mengambil posisi pertahanan di sisi timur sungai, menanti kedatangan pasukan Jepang.
Pasukan dari Batalyon Perintis 2/2 menempatkan satu kompi di bawah Kapten Nason di sebuah bukit di sisi utara jembatan dan dapat mengawasi kedatangan musuh dari sana.
Dalam catatan Michael Kramer disebutkan, bukit di dekat jembatan tersebut tingginya 30 meter dan terdapat 25 lokasi pertahanan serta beberapa pillbox yang tersisa. Jaringan pertahanan tersebut terhubung dengan parit-parit.
Pada pagi 2 Maret, sudah terlihat beberapa tank Jepang dari Resimen Intai 2 berada di barat Sungai Cianten. Jembatan yang terputus dan Sungai Cianten memisahkan pasukan Jepang di barat (Kota Leuwiliang) dan pasukan Blackforce di sisi timur di Cibungbulang dekat Kampus IPB saat ini.
Pertempuran pecah
Menjelang siang, pasukan Jepang yang bertambah jumlahnya mencoba melingkar ke selatan jembatan, sekitar 300 meter, untuk mencoba menyeberangi Cianten. Gerakan tersebut terbaca dan pasukan dari Batalyon Senapan Mesin 2/3 membabat musuh sehingga mengakibatkan kerugian di pihak Jepang yang mengurungkan serangan.
Mendekati petang, Kolonel Hiroyasu bersama Resimen Infantri 16 Jepang sampai di Leuwiliang. Mereka bersiap menyerang posisi Blackforce pada malam hari di Cibatok dan menyeberangi sungai di Cikaniki dengan menggunakan perahu.
Ketika itu, bulan Maret di Jawa terutama bagian barat adalah puncak musim hujan. Permukaan sungai sering kali naik hingga 3-4 meter dengan arus yang ganas.
Pihak Jepang baru bisa menyeberang sungai yang bergolak pada pukul 04.00 tanggal 3 Maret. Akan tetapi, komandan mereka, Kolonel Hiroyasu, terluka dan sebagian besar pasukan Jepang dihabisi.
Sisa pasukan Jepang berhasil membangun pijakan di sisi timur Cianten di wilayah yang dipertahankan Blackforce. Tidak lama kemudian, ketika pagi tiba, pasukan tank dari Kavaleri Ringan (Hussar) Inggris menyerbu posisi tersebut.
Menjelang siang, sejumlah tank Jepang mendekati posisi jembatan yang dihancurkan, senjata antitank Blackforce beraksi dan melumpuhkan dua tank Jepang. Pihak Jepang membalas dengan tembakan mortir dan senapan mesin, tetapi tidak mengenai sasaran. Baku tembak berlangsung hingga menjelang petang.
Karena unggul jumlah, pasukan Jepang tidak dapat dibendung.
Blackburn memerintahkan baterai artileri dari Batalyon 131 dari Texas membuka tembakan. Rangkaian tembakan artileri tersebut efektif menghancurkan posisi mortir Jepang dan konsentrasi pasukan serta kendaraan bermotor musuh. Blackburn dalam memoarnya mencatat, lebih kurang 160 peluru artileri ditembakkan batalyon artileri dengan tepat mengenai sasaran.
Meski demikian, karena unggul jumlah, pasukan Jepang tidak dapat dibendung. Pada malam 4 Maret, pasukan Jepang berhasil menyeberangi Cianten beberapa kilometer di selatan lokasi pasukan Blackforce.
Agar tidak terkepung, Blackburn memerintahkan pasukan bergeser ke arah Bogor. Mereka menempati posisi strategis di dekat Kota Bogor. Lokasi tersebut diperkirakan berada di dekat Markas Batalyon Infantri 315/Garuda TNI AD saat ini dan lembah di bawah Jembatan Merah di Kota Bogor.
Markas Besar Sekutu di Bandung juga memutuskan untuk mengosongkan Batavia sebagai open city agar tidak terjadi serangan terhadap kota yang sudah berpenduduk lebih dari setengah juta jiwa pada masa itu.
Saat pasukan Sekutu mundur dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor), lalu berlanjut ke Bandung. Blackforce diminta menahan laju pasukan Jepang dari arah Leuwiliang. Setelah itu, sebagian pasukan Blackforce mundur ke arah Bandung. Dalam situasi kacau, satu kompi Batalyon Perintis 2/2 terpisah dari induk pasukan Blackforce. Untunglah mereka dapat meloloskan diri ke Pelabuhan Ratu, Sukabumi.
Kegigihan bertempur Blackforce yang sebagian anggotanya pernah bertempur di Kreta, Yunani, Suriah, dan Tobruk memang mengagumkan. Arthur Blackburn memuji keberanian anak buahnya dengan 3 mortir ringan, 600 granat, tanpa ranjau dan perlindungan udara berhasil menahan lajut sebuah Divisi Infanteri Jepang.
Lebih jauh dicatat Kapten Guild saat memerintahkan tiga peleton bergerak ke arah barat dan barat laut, mereka masuk jebakan saat bergerak ke sebuah desa, dua prajurit tewas dan banyak yang terluka saat mereka bergerak mundur dari Leuwiliang.
Selanjutnya, tujuh pucuk senapan mesin ringan dan dua mortir membuka tembakan ke pihak lawan. Pasukan Jepang yang sudah menguasai desa di selatan Leuwiliang membalas dengan sengit. Kontak tembak berlangsung satu setengah jam.
Dokter heroik
Kisah kepahlawanan prajurit Australia juga tercatat dalam aksi satuan medis. Dokter Edward Dunlop, Komandan Rumah Sakit Sekutu di Bandung (rumah sakit tersebut kemudian menjadi gedung SMA Kristen Dago yang kemudian diruntuhkan karena sengketa pengurus), mengoperasi prajurit Beverly yang sebagian rahangnya hancur, nadi kartoid di leher terputus, dan lehernya berlubang karena kendaraan lapis bajanya hancur dihantam tembakan Jepang.
Beverly dibiarkan berbaring menunggu ajal di rumah sakit. Edward Dunlop yang melihat Beverly masih hidup segera memerintahkan operasi. Dia pun berjanji kepada Beverly akan menyempurnakan hasil operasi kelak sesudah Perang Dunia II usai. Ternyata, Beverly berhasil selamat dan hidup lebih lama dari Edward Dunlop yang wafat tahun 1993.
Kontak radio yang berulang kali dilakukan ke Australia ternyata tidak berhasil. Pasukannya pun dilucuti dan menjadi tawanan perang Jepang.
Jika kita mengunjungi Victoria Barrack di Melbourne, di seberangnya terdapat patung perunggu seukuran manusia, itu adalah sosok Sir Edward Dunlop, sang pahlawan penyelamat banyak nyawa prajurit Sekutu di Afrika Utara, Jawa, hingga dalam pembangunan jalur kereta api maut Thailand-Burma.
Arthur Blackburn dalam memoar yang ditulis sesudah perang mencatat, berkat keberanian anak buahnya menghadang gerak laju pasukan Jepang, pasukan Belanda di Batavia bisa mundur ke arah Bandung melalui jalan raya dan kereta api untuk menyusun pertahanan di sekitar Kota Bandung.
Pada 10 Maret setelah Belanda menyerah kepada Jepang, Blackburn memindahkan pasukannya dari Garut ke Pameungpeuk dengan tujuan ke pantai selatan Jawa untuk meloloskan diri kembali ke Australia.
Malang, kontak radio yang berulang kali dilakukan ke Australia ternyata tidak berhasil. Pasukannya pun dilucuti dan menjadi tawanan perang Jepang, dibawa ke Cimahi, lalu ditawan di kompleks Batalyon X KNIL di Batavia (kini kompleks Hotel Borobudur di Lapangan Banteng).
Sejarawan Australia, Robert Cribb, dalam buku Gangsters and Revolutionaries – The Jakarta People’s Militia and The Indonesian Revolution 1945-1949, menceritakan kelanjutan riwayat senjata yang digunakan para prajurit Australia di Leuwiliang.
Amunisi dan berbagai peluru yang ada harus dilapis kain agar muat di laras senapan.
Selanjutnya, senjata digunakan para aktivis mahasiswa di Jalan Prapatan 10 (sekarang Jalan Usman Harun) dengan membentuk Resimen BKR Djakarta yang menghimpun para mantan mahasiswa kedokteran (Ika Daigaku)—kini Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia—dan para perwira PETA yang bertugas di Mabes Rikugun (Angkatan Darat Jepang).
Resimen BKR Djakarta dipimpin Pemuda Singgih, yang di masa pendudukan adalah mahasiswa kedokteran yang akrab dengan Syahrir dan Hatta. Pada akhir tahun 1945, Resimen BKR Djakarta menyingkir ke Tangerang dan mendukung pendirian Akademi Militer Tangerang di bawah pimpinan Daan Mogot.
Pasukan ini mengandalkan persenjataan berupa senapan-senapan Italia yang sebelumnnya digunakan kepolisian di Djakarta yang merupakan rampasan dari tentara Australia yang beroperasi di Jawa awal tahun 1942 sebelum invasi Jepang ke Pulau Jawa.
Senjata tersebut dirampas tentara Australia dari musuh mereka pasukan Italia dalam perang di Afrika Utara dari Semenanjung Sirenaika hingga Tobruk.
Senapan Italia peninggalan Blackforce tersebut sudah kehabisan amunisi dan berbagai peluru yang ada harus dilapis kain agar muat di laras senapan. Sejumlah kasus kecelakaan letusan senapan yang tidak disengaja dan ledakan kerap terjadi karenanya.
Lebih dari 500 tentara Jepang gugur dalam pertempuran melawan Blackforce.
Adapun di Taman Prasasti di Tanah Abang dan di lokasi pertempuran di Leuwiliang, Michael Kramer mencatat adanya monumen dari pihak Jepang memperingati besarnya korban yang dialami dalam Pertempuran Leuwiliang.
Kramer yang mewawancarai penjaga Museum Pasir Angin, Isak Tumetir, menyatakan, lebih dari 500 tentara Jepang gugur dalam pertempuran melawan Blackforce. Nama-nama yang gugur adalah perwira menengah yang memimpin batalyon di Divisi 2 Tentara 16 yang kemudian menduduki Pulau Jawa.
Pertempuran tersebut merupakan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia mengingat Pulau Jawa menjadi sasaran utama invasi Jepang di Asia Tenggara. Betapa tinggi nilai geostrategis Kepulauan Nusantara hingga saat ini!