Momen Memupuk Rasa Toleransi
Berakhir sudah rangkaian perayaan Cap Go Meh di Pulau Kemaro, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (3/3). Namun, daya pikat pulau yang berada di tengah Sungai Musi ini masih memancarkan beragam kegiatannya. Salah satunya adalah prosesi sembayang syukur karena proses pelaksanaan Imlek dan Cap Go Meh berjalan baik.
Walau tidak sepadat dua hari lalu, wisatawan tetap bedatangan ke Pulau Kemaro untuk melihat kegiatan akhir dalam rangkaian Cap Go Meh di sana. Bedanya, tidak ada lagi jembatan sementara yang dibuat dari enam kapal ponton seperti perayaan puncak Kamis (1/3) lalu.
Alhasil, pengunjung harus menggunakan perahu ketek seperti hari normal dengan ongkos penyebrangan sekitar Rp 50.000 per orang. Ongkos akan lebih murah, apabila pengunjung naik perahu secara berkelompok.
Walau harus membayar tidak menyurutkan niat wisatawan untuk datang di Pulau seluas hampir 30 hektar ini. Saat itu kondisi Sungai Musi sendang pasang, golombang pun cukup keras, sehingga kapal terombang ambing. Namun sensasi penjalanan selama lima menit di Sungai Musi ini, sepertinya dinikmati oleh setiap pengunjung.
Setibanya di Pulau Kemaro, rasa pandangan langsung merangarah terhadap aktivitas di dalam Kelenteng Hok Ceng Bio. Kelenteng ini merupaan tempat beribadah bagi tiga kepercayaa yakni Buddhis, Taois, dan Kong Hu Cu.
Sejumlah umat tampak melakukan aktivitas peribadatan di sejumlah altar seperti di makam buyut Siti Fatimah dan di altar sejumlah dewa seperti Dewa Bumi (Hok Tek Cin Sin), Dewa Langit (Shien Tien Shang Tee), Dewi Kwam Im (Alvalokitesvara), Dewi Laut (Ma Chu atau Thien Shang Shen Mu), altar dari para pengawal dan pengiring (Cin Ciang), altar tanah tumbuh danaltar Tuhan Yang Maha Esa (Thien).
Di akhir rangkaian ibadah panitia pelaksana melakukan doa syukur dengan menyajikan sejumlah makanan yang akan dipersembahkan kepada dewa. Namun, sebelum prosesi itu dilakukan, seorang pendeta dan sejumlah pengawalnya melakukan doa bersama dengan umat dan mengelilingi persembahan yang sudah dihidangkan.
Persembahan itu terdiri dari aneka hidangan seperti nasi, bihun, kue, dan aneka lauk. Setelah didoakan, lauk itu dibagikan kepada para pengunjung yang datang. Di sisi yang lain, ada prosesi pembakaran kertas yang disimbolkan sebagai uang yang akan diberikan kepada leluhur.
Semua kegiatan ini menarik minat para wisatawan, tidak hanya wisatawan keturunan Tionghoa tetapi wisatawan non-Tionghoa.
Ayu Setia Ningsih (26) misalnya, dia datang untuk melihat kegiatan terakhir di Pulau Kemaro. Ini adalah kali pertama dia melihat prosesi persembahan syukur di akhir perayaan Cap Go Meh. “Ini merupakan bukti bahwa Indonesia memiliki banyak budaya,” kata dia.
Sebelumnya, panitia penyelenggara menata kawasan Pulau Kemaro menjadi sangat menarik. Mulai dengan dipasangnya 3.000 lampion di sejumlah sisi kawasan.
Pemasangan lilin, dan pemasangan lampu di Pagoda setinggi 45 meter dan lebar 13 meter sehingga tampak sangat indah di malam hari. Tidak heran banyak wisatawan yang mengabadikan gambar dengan latar belakang pagoda tersebut.
Dua hari lebih awal
Normalnya, penyelenggaraan Cap Go Meh diadakan 15 hari setelah hari raya tahun baru Imlek. Namun, khusus di Pulau Kemaro, Palembang penyelenggaraan Cap Go Meh diadakan di hari ke 13 setelah imlek.
Tujuannya, agar wisatawan dapat lebih dulu datang ke Pulau Kemaro sebelum melakukan peribadahan di tempat tinggalnya masing-masing.
“Alasannya, agar perayaan ini dapat menarik minat wisatawan lebih besar lagi,” ujar Wakil Ketua Majelis Rohaniawan Tridharma, Indonesia Sumatera Selatan, Tjik Harun.
Strategi ini dinilai cukup jitu, bagaimana tidak? Perayaan Cap Go Meh di Palembang mampu menyedot wisatwan hingga 80.000 orang. Bahkan wisatawan datang dari sejumlah daerah di Indonesia hingga mancanegara.
“Wisatawan paling banyak datang dari Hongkong, Malaysia, dan Singapura,” ujar Harun.
Salah satu acara puncak yang selalu dinanti adalah prosesi sembayang di makam buyut Siti Fatimah. Di sana, kebanyakan pengunjung datang untuk berdoa dan meminta berkah di tahun yang akan datang.
Berkah, kemakmuran, dan keberuntungan dilambangkan melalui kembang yang telah didoakan di atas makam Siti Fatimah. Bunga tersebut disandingkan dengan kantung berwarna kuning berisikan bulir padi dan jagung.
Kedua benda tersebut dipercaya mampu mendatangkan keberuntungan, mempermudah jodoh, membersihakn diri, dan memperlancar usaha.
Bahkan beberapa pengunjung datang dengan membawa kembang yang mereka peroleh tahun lalu dan menukarkannya dengan yang baru.
Setelah kantong dan kembang diserahkan, orang yang mendapatkan dua benda tersebut memasukan uang ke dalam drum berwana merah yang diletakan tepat di depan makan sebagai tanda syukur dan terima kasih.
Namun, prosesi yang paling ditunggu adalah sembayang kepada Thien (Tuhan Mahaesa) berupa penyembelihan kambing hitam yang darahnya dipercaya mendatankan sebuah keberuntungan.
Di tahun-tahun sebelumnya, penyembelihan dilakukan tepat pukul 00.00 WIB. Namun, tahun ini, penyembelihan tertunda.
Ternyata pengurus rumah ibadah menunggu pendeta yang terlebih dahulu berdoa di altar yang lain. Bunyi lonceng terdengar, tanda pendeta telah tiba di rumah ibadah. Panitia meminta pengunjung memberikan ruang dan jalan bagi sang pendeta.
Melihat pendeta masuk, pengunjung pun semakin berdesakan, mendekati kambing yang akan disembelih tepat di depan makam Siti Fatimah. Mereka menyiapkan uang berbagai nominal. Setelah dirasa siap, pendeta mempersilakan panitia untuk menyembelih kambing hitam yang telah didoakan.
Situasi semakin tak terkendali, pengunjung berusaha mendekati kambing tersebut untuk mendapatkan darahnya. Anggota TNI/Polri yang besiaga pun tampak kewalahan menghalau serbuan pengunjung.
Darah kambing yang telah disembelih kemudian ditampung dalam terpal berwarna biru dan langsung dibawa ke dalam altar lainnya. Tak berputus asa, pengunjung mengelap ceceran darah dengan uang yang sudah dipersiapkan.
Apabila uang dapat dibasuh dengan darah kambing tersebut, maka dapat dijadikan jimat pembawa keberuntungan.
“Biasaya orang yang sudah merasakan keberuntungan dan kelancaran usaha di tahun sebelumnya, pasti akan datang lagi ke Pulau Kemaro,” ujar Harun.
Legenda Pulau Kemaro
Berdasarkan legenda yang tetulis di batu sebelah kelenteng Hok Cing Rio, ada cerita mengenai kisah cinta Siti Fatimah dengan pedagang dari China Tan Bun An. Bermula dari niat Tan Bun An untuk berdagang di Palembang sehingga meminta izin dengan kerajaan Palembang.
Di saat yang sama, Tan Bun An terkesima dengan penampilan dari Siti Fatimah. Mereka pun jatuh hati dan berencana untuk menikah. Tan Bun An pun membawa Siti Fatimah ke China untuk bertemu keluarganya.
Sebagai bekal kembali ke Palembang , mereka dihadiahi tujuh guci yang berisi emas. Sesampai di muara Sungai Musi Tan Bun han ingin melihat hadiah emas di dalam Guci-guci tersebut. Namun yang dilihat bukan emas melainkan sayuran sawi-sawi.
Tanpa berpikir panjang ia membuang guci-guci tersebut ke sungai. Tetapi guci terakhir terjatuh diatas dek dan pecah. Ternyata didalamnya terdapat emas. Tanpa berpikir panjag, Tan Bun An terjun ke dalam sungai untuk mengambil emas-emas dalam guci yang sudah dibuangnya.
Melihat tuannya tidak muncul, seorang pengawalnya juga ikut terjun untuk membantu, tetapi kedua orang itu tidak kunjung muncul. Merasa khawatir Siti Fatimah akhirnya menyusul dan terjun juga ke Sungai Musi dan tidak muncul kembali hingga saat ini.
Untuk mengenang mereka bertiga dibangunlah sebuah kuil dan makam untuk ketiga orang tersebut. Untuk memperingati kejadian tersebut pula, maka dibangunlah makam Siti Fatimah.
Tak pandang ras, agama, dan suku
Perayaan Cap Go Me di Pulau Kemaro Palembang memperlihatkan kesatuan antar umat beragama. Prosesi di dalam kelenteng ternyata menjadi daya tarik bagi wisatawan non Tionghoa.
Wisatawan yang menggunakan jilbab pun tidak segan untuk masuk ke dalam kelenteng. Mereka seakan terkesima dengan prosesi yang sedang berlangsung.
Bahkan berdasarkan lagenda, Siti Fatima yang dipecaya sebagai buyut masyarakat Tionghoa di Palembang dipercaya sebagai seorang putri dari Kerajaan Palembang yang merupakan seorang Muslim.
Melalui perayaan Cap Go Meh menjadi bukti bahwa rasa toleransi di kehidupan bermasyarakat di Palembang sangat kental.
Rasa toleransi juga tergambar dalam perayaan imlek lalu. Saat itu, imlek berlangsung di hari Jumat dimana umat muslim menjalankan ibadah sholat Jumat.
“Perayaan imlek dan sholat Jumat beralangsung khimat dan damai,”ujarnya.
Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin dalam sambutannya di pembukaan Muktamar Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia (ARSPI) Jumat (2/3) cukup berbangga dengan predikat zero conflict yang disematkan kepada Sumatera Selatan.
“Kerusuhan antar agama, suku, ras tidak pernah terjadi di Sumsel. Hal inilah yang harus dijaga,” katanya.
Situasi ini tercipta lantaran masyarakat mampu membina hubungan baik dengan memelihara rasa tolerasi.
Pejabat Sementara Wali Kota Palembang Akhmad Najib mengungkapkan, perayaan Cap Go Meh merupakan wujud nyata dari keberagamaan di kota Palembang.
“Semua bergembira, bukan hanya masyarakat Tionghoa. Ini menunjukkan keberagamaan masyarakat Palembang semakin kuat, "kata Najib.
Di sisi lain, lanjut Najib, perayaan Cap Go Meh ini juga mampu menaikkan ekonomi masyarakat. "Terdapat ratusan pedagang disini sehingga berdampak terhadap berputarnya roda ekonomi masyarakat " ujar Najib.
Medi (40) salah satu pemilik perahu ketek menuturkan perayaan Cap Go Meh memberikan rezeki lebih baginya. Di hari biasa, dia hanya memperoleh pendapatan Rp 50.000 per hari. Namun, saat Cap Go Meh pendapatannya bisa mencapai Rp 400.000 per hari.