The Local Market, Ajakan Mencintai Produk Kreatif Lokal
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
Urip iku Urup dalam bahasa Indonesia berarti ’hidup itu bernyala’. Kalimat ini tertera di kaus yang dipakai panitia The Local Market. Namun, kalimat ini memiliki makna dalam.
”Ketika Anda datang dan membeli produk ekonomi kreatif di sini, Anda akan langsung merasakan sukacita. Para peserta bazar ini bukan sekadar memamerkan barang, melainkan mengajak Anda untuk memiliki hasrat serta kecintaan terhadap merek dalam negeri,” tutur pendiri Ku Ka (laman pemasaran produk ekonomi kreatif lokal), Titonius Karto, yang ditemui Kompas, Jumat (2/3), di Oakwood Suites La Maison, Jakarta Selatan. Oakwood Suites La Maison menjadi lokasi bazar dan seminar The Local Market.
Omongan Titonius memang tidak berlebihan. The Local Market diisi 65 pelaku ekonomi kreatif lokal. Semuanya mengusung semangat pemberdayaan sosial, menggunakan material alam, dan kekhasan kebudayaan Indonesia.
Misalnya, Du’Anyam. Du’Anyam merupakan perusahaan aksesori fashion berbahan baku anyaman. Perusahaan ini berdiri tahun 2014. Konsep yang diusung adalah pemberdayaan sosial kepada perempuan perajin anyaman di daerah rural.
Proyek pertama Du’Anyam menyasar perajin di Larantuka, Nusa Tenggara Timur. Produk-produk Du’Anyam didistribusikan di gerai nasional ataupun internasional, seperti Alun-alun Indonesia dan Kisaku Heritage.
Contoh kedua adalah Marenggo. Produknya berupa syal batik yang dibuat dengan teknik celup ikat. Pewarnanya menggunakan bahan alam. Kini, produk buatan perusahaan asli Yogyakarta ini sudah bisa dibeli di Fashion Legacy, Lippo Mall Kemang, Jakarta.
”Kami sengaja menata The Local Market sebagai bazar interaktif. Kami mendorong peserta bazar berani menceritakan hasrat mereka selama proses produksi. Cara ini sekaligus mengedukasi pengunjung agar mencintai produk lokal,” ujar Titonius.
The Local Market merupakan hasil kolaborasi Ku Ka dan Paisley Things, sebuah toko yang menjual aneka produk kerajinan khas Indonesia. The Local Market pertama kali diselenggarakan empat tahun lalu. Kegiatan ini bersifat tahunan. Sebelumnya, Ku Ka dan Paisley Things memakai nama Kemang Rooftop Market karena memang menggunakan rooftop gedung Coworkinc Kemang.
Ku Ka dan Paisley Things selalu melakukan penilaian peserta bazar. Kriteria penting adalah peserta memiliki produk khas dan melakukan pemberdayaan sosial.
”Tahun ini kami menambahkan kriteria kembali ke material alam,” ucap Senior Communications Ku Ka, Stephanie Edelweis.
Gerakan hijau
Wido, Founder Mata Cinta, mengatakan, pihaknya mengikuti The Local Market karena ingin berpartisipasi mengedukasi masyarakat tentang pengolahan sampah organik.
Pada saat pameran, dia membawa serta alat pengolah sampah organik. Dia juga menghias lapaknya dengan beberapa tanaman hasil pemupukan pupuk organik.
”Masyarakat urban belum pandai memilah sampah organik dan anorganik. Jangan buru-buru menjelaskan kepada mereka tentang konsep daur ulang. Ajari mereka memilah terlebih dulu,” ujar Wido.
Anita, Founder Arra Jewelry, memilih memproduksi kalung berbahan dasar kain perca batik. Selama delapan tahun berproduksi pakaian batik, Anita berusaha agar material kain yang dipakai tidak menyisakan sisa berukuran lebar. Oleh sebab itu, dia mengumpulkan perca-perca dan dibuat kalung.
Nagawati Surya juga memiliki semangat yang sama. Sejak memasuki usia paruh baya tahun 2014, dia mendirikan label Threadapeutic yang artinya terapi benang. Dia ingin mengisi masa tuanya dengan kegiatan produktif. Maka, lahirlah label itu.
Threadapeutic fokus memproduksi tas dan aksesori fashion dengan bahan dasar kain bekas. Keunikan produk Nagawati terletak pada tekstur. Kain bekas yang dipakai diberikan perlakuan faux chennile.
Kembali ke alam ini tidak hanya terwujud dalam produk-produk para peserta pameran, tetapi juga dekorasi lokasi. Saat memasuki ruang kegiatan, pengunjung akan disambut dengan hiasan berupa rangkaian bendera berbentuk segitiga. Tidak ada motif sama. Ternyata, bendera segitiga tersebut dibuat dari bahan spanduk bekas.
Semangat kolaborasi
The Local Market membuka ruang kolaborasi antarsesama peserta bazar dan seminar. Inilah yang disukai oleh Paxel, perusahaan rintisan bidang teknologi logistik, sekaligus penyedia jasa kurir.
Brand Guardian Paxel, Alexander Zulkarnain, menyebutkan, Paxel baru berdiri tiga bulan lalu. Visi perusahaan adalah menyediakan solusi teknologi logistik dan jasa kurir bagi pelaku ekonomi kreatif. Paxel memberikan penawaran kecepatan, efisiensi, dan harga terjangkau.
Para kurir Paxel yang disebut Hero akan langsung mengambil dan mengantar barang. Paxel tidak menerapkan pusat pengumpulan barang. Setiap kali ada permintaan pengantaran, Hero datang ke lokasi pengirim, mengemas, dan segera mendistribusikan kepada penerima.
”Keluhan yang biasa terlontar adalah waktu sampai barang terlalu lama. Harga jasa kurir terlalu mahal. Belum lagi barang harus dikumpulkan dulu sebelum didistribusikan,” ujarnya.
Untuk wilayah urban, seperti Jabodetabek, masyarakatnya selalu terjebak dalam kesibukan bekerja di luar rumah. Kehadiran perdagangan secara elektronik atau e-dagang mempermudah mereka memenuhi barang kebutuhan. Hanya saja, mereka tidak memiliki waktu menerima barang pesanan. Fitur Paxel memungkinkan konsumen memilih waktu pengiriman ataupun penerimaan barang pesanan.
Alexander mengatakan, sejak berdiri, Paxel menggandeng sejumlah organisasi nonpemerintah. Paxel membantu pengiriman dokumen dan bantuan dari organisasi secara cuma-cuma.
”Keikutsertaan kami di sini adalah mengajak kolaborasi serta kerja sama,” ujarnya.