Gendam Penguasa Benteng Pendam
Kepala menengadah di depan lengkung gerbang baluwarti tua di antara aliran Bengawan Solo dan Bengawan Madiun di Ngawi, Jawa Timur. Di sana masih terpajang plakat kuno merah dan angka kuning 1839-1845.
Di dinding dalam gerbang terpampang poster lukisan lelaki bule, berseragam militer biru nilam dengan tiga bintang jasa, memegang gulungan dokumen, dan keterangan tertulis Jendral Van Den Bosch 1830-1833. Poster itu mengambil karya lukisan seniman Cornelis Kruseman asal Belanda.
Poster lukisan lelaki yang sama juga ada di dinding salah satu bangunan dalam kompleks benteng itu. Pada papan hijau petunjuk reruntuhan bangunan berpilar empat itu tertulis MAKO VDB (Markas Komando Van Den Bosch).
Namun, poster pada dinding MAKO VDB tidak sedang memegang dokumen. Dia berdiri dengan seragam militer biru nilam dengan dua bintang jasa, selendang ikat pinggang jingga, dan celana putih. Poster yang ini diyakini mengambil karya seniman periode romantisisme Raden Saleh Sjarif Boestaman.
Tidak diragukan lagi, sosok dalam dua poster itu ialah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johannes Graaf Van Den Bosch yang saat berkuasa di nusantara (Indonesia zaman dahulu) menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Oleh Cornelis dan Raden Saleh, Bosch dilukis sebagai sosok pemuda tampan dan flamboyan. Sosok ini memang keturunan bangsawan Negeri Kincir Angin. Saat berkuasa di nusantara, Bosch dikenal amat tegas dan keras untuk menghindari penyebutan bengis.
Bosch berkuasa setelah Hindia-Belanda memadamkan Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1925-1930). Namun, di Ngawi yang saat itu berstatus onder-regentschap perlawanan terhadap Hindia-Belanda oleh pengikut Diponegoro masih berlanjut. Saat itu, tokoh perlawanan setempat ialah Wirotani. Penjajah berkepentingan memadamkan pemberontakan di Ngawi yang salah satunya dengan menaikkan status wilayah menjadi regentschap (kabupaten dalam wilayah eks Karesidenan Madiun). Ngawi dipimpin oleh Regent atau Bupati Raden Adipati Kertonegoro pada 1834.
Sejarawan PJF Louw menulis, sepetak tanah di Ngawi timur laut memiliki posisi amat strategis dan berpotensi amat menguntungkan. Lahan seluas 15 hektar itu merupakan pertemuan aliran sungai besar Bengawan Solo dan Bengawan Madiun. Kedua sungai merupakan jalur pelayaran dari Mataram di pedalaman Jawa ke Laut Jawa yang selanjutnya jalur perdagangan global. Menguasai kawasan itu berarti mengendalikan Mataram (Jawa). Menjajah Jawa berarti menguasai nusantara.
Bosch menginisiasi pembangunan benteng di sana. Namun, pembangunan baru bisa dilaksanakan setelah kekuasaan Bosch berganti. Jika mengacu pada plakat di gerbang tadi, pembangunan benteng itu terjadi di masa kekuasaan empat Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yakni Dominique Jacques de Eerens, Carel Sirardus Willem van Hogendorp, Pieter Merkus, dan Joan Cornelis Reynst.
Kompleks bangunan itu dibangun dengan bentuk persegi dengan panjang 165 meter dan lebar 80 meter. Keempat sudut tembok dari bata merupakan selekoh yang diperkuat altileri. Benteng dikelilingi parit dan gundukan tanah. Ini basis pertahanan amat kokoh terhadap serangan.
Ada cerita parit sekeliling kompleks bangunan itu merupakan tempat pemeliharaan buaya. Untuk keluar masuk benteng dengan jembatan katrol. Itulah Benteng Van Den Bosch yang oleh masyarakat Ngawi juga disebut Benteng Pendam (Pendem) karena tertutup “dinding alam” berupa gundukan tanah.
Pada kurun 1890-1895, benteng itu merupakan tempat tinggal ilmuwan besar dunia Marie Eugene Francois Thomas Dubois
Pada kurun 1890-1895, benteng itu merupakan tempat tinggal ilmuwan besar dunia Marie Eugene Francois Thomas Dubois. Ahli anatomi asal Belanda itu kurun 1891-1893 mengeskavasi bantaran Bengawan Solo yang kemudian disebut Trinil, lebih kurang 13 Km dari Benteng Van Den Bosch. Di Trinil, Dubois menemukan fosil manusia purba Pithecanthropus erectus. Penemuan Dubois mengguncang dunia sebab merupakan temuan fosil manusia purba pertama di luar Eropa dan Afrika untuk membuktikan teori evolusi Charles Darwin. Fosil temuan Dubois dianggap mata rantai evolusi manusia yang hilang.
Juru Pelihara Museum Trinil Catur Gumono mengatakan, selama eskavasi, diyakini Dubois bolak balik Trinil dan benteng. Fosil-fosil dari Trinil diyakini sempat disimpan dan dipelajari Dubois di benteng yang tersisa nyaris berupa reruntuhan itu sebelum dibawa ke luar Jawa untuk dipamerkan kepada ilmuwan dunia. “Hubungan antara Trinil dan Benteng Pendem amat erat,” ujar lelaki yang tinggal sekitar 2 Km dari Benteng Van Den Bosch itu.
Sersan Kepala Bambang Suwito, personel Batalyon Artileri Medan (Yonarmed) 12 Kostrad, yang telah 21 tahun ditugaskan untuk menempati salah satu sudut benteng itu, mengungkapkan, perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda oleh pengikut Diponegoro terus berlanjut di Ngawi. Salah satu tokoh perlawanan ialah KH Muhammad Nursalim yang menurut cerita ditangkap, disiksa, dan dikubur hidup-hidup.
Pada Oktober 2016 telah ditandatangani kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Ngawi dan Divisi Infanteri 2 Kostrad untuk penyelamatan Benteng Pendem.
Di dalam benteng memang terdapat makam dan nisan pejuang itu. Makam telah dipugar pada 1992 oleh Yonarmed 12 Kostrad. Serdadu Jepang pernah mengebom benteng sampai merusak salah satu bagian dan menguasai kompleks kurun 1942-1945. Selanjutnya sampai 1948, benteng tidak ada yang menguasai sehingga diduduki oleh Tentara Rakyat Indonesia, cikal bakal TNI, kemudian menjadi markas Batalyon Infanteri 520/Gelatik. Pada 1962, benteng dikuasai oleh Yonarmed 12 Kostrad dan ditinggalkan pada 1983, tetapi masih dalam penguasaan Kostrad hingga saat ini.
Pada Oktober 2016 telah ditandatangani kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Ngawi dan Divisi Infanteri 2 Kostrad untuk penyelamatan Benteng Pendem. Balai Arkeologi Yogyakarta telah datang untuk sejumlah penggalian, pemetaan, dan survei guna penyusunan dokumen desain teknis detail untuk rencana pemugaran.
Bupati Ngawi Budi Sulistyono mengatakan, anggaran pemugaran diperkirakan mencapai Rp 200 miliar. Ngawi menyiapkan dana sedikitnya Rp 40 miliar untuk membantu pemugaran. Pencairan dana secara bertahap dan dimulai pada 2018.
Pemugaran diperlukan untuk melestarikan kompleks yang seharusnya masuk kategori bangunan cagar budaya nasional. Pembiayaan pemugaran bisa ditempuh lewat skema program kota pusaka Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. ”Kabupaten Ngawi merupakan anggota Jaringan Kota Pusaka,” katanya.
Kompleks itu memiliki bangunan berpilar asli yang tak dimiliki benteng-benteng lain di Indonesia. Benteng Van den Bosch layak menjadi bangunan cagar budaya nasional karena memenuhi kriteria Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Kriteria itu antara lain berusia minimal 50 tahun; mewakili masa gaya minimal 50 tahun; memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau kebudayaan; serta bernilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.