Benarkah Restorasi Gambut Jawaban Tunggal atas Masalah Kebakaran Lahan?
Pada 8 Februari 2018 sore, lahan semak belukar di Desa Lukun, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau, mulai terbakar. Api kemudian membesar seiring dengan tidak adanya upaya pemadaman awal di lapangan.
Kebakaran kecil di kawasan rawa gambut di pulau terluar Provinsi Riau itu dengan cepat menyeruak ke segala penjuru. Hanya tiga hari setelah munculnya titik api kecil, kebakaran sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Dua hari kemudian, lompatan bunga api yang berasal dari perkebunan sagu warga menyeberangi kanal berair dan membakar perkebunan sagu PT National Sagoe Prima, salah satu anak perusahaan Grup Sampoerna.
Pemadaman darat dan pengeboman air dari udara yang dibantu helikopter grup Sinar Mas pada hari ke-7 tetap tidak mampu memadamkan api yang sudah berkobar dahsyat. Siraman bom air dari helikopter ibarat memadamkan api di lubang sampah dengan menggunakan ludah dari mulut.
Dengan kondisi seperti itu, hanya hujan yang mampu memadamkannya. Untungnya, hujan yang dinanti itu turun juga pada 18 Februari atau setelah api berkobar 11 hari. Api pun padam. Semua pihak senang.
Tentang data luas kebakaran masih simpang siur. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau menyebutkan hanya 210 hektar. Rinciannya, seluas 160 hektar berada di lahan perkebunan sagu milik warga, lahan kosong, dan hutan desa serta seluas 50 hektar di lahan sagu PT NSP.
Luas lahan yang terbakar sesungguhnya masih menjadi misteri. Dari pemantauan udara pada hari ke-7 yang diikuti Kompas, dengan rute helikopter mengitari kawasan terbakar sepanjang 6 kilometer dan lebar 5 kilometer, memberikan hitungan luas kotor lahan terbakar mencapai 3.000 hektar. Taruhlah tingkat kesalahan mencapai 50 persen, karena kebakaran tidak menghanguskan seluruh lokasi dalam radius pengitaran, maka luas kebakaran sedikitnya mencapai 1.500 hektar.
Belakangan, akademisi dari Universitas Riau mengukur luas kebakaran mencapai 1.224 hektar. Muncul pertanyaan, mengapa api sampai membakar hebat dan tidak mampu dikendalikan?
Menurut Kepala BPBD Kepulauan Meranti M Eddy Afrizal, kebakaran di Desa Lukun sebenarnya dapat cepat diatasi apabila Badan Restorasi Gambut (BRG) dan PT NSP bertindak lebih cepat membantu pemadaman. Hal itu disebabkan BRG, lembaga bentukan Presiden Joko Widodo, sedang membuat pekerjaan besar percontohan cara merestorasi kawasan gambut di seluruh wilayah Kecamatan Tebing Tinggi Timur. Desa Lukun adalah halaman belakang BRG. PT NSP pun berlokasi di kecamatan sama.
”Pada saat seluruh pihak sibuk memadamkan api, kami tidak melihat BRG hadir membantu. Kami pun menyesalkan PT NSP tidak membantu sejak awal, padahal kami sudah meminta bantuan kepada perusahaan itu. Mereka (PT NSP) hanya peduli dengan lahan kebun mereka saja,” tutur Eddy pada Jumat (16/2) atau setelah api marak selama sembilan hari.
Ketika tudingan Eddy itu dikonfirmasi, Deputi Bidang Penelitian dan Pengembangan BRG Haris Gunawan tegas membantah. Haris mengatakan, tim ahli BRG sudah sejak awal bersama masyarakat membantu memadamkan api. Sebaliknya, Eddy tetap kukuh dengan pernyataannya.
Setyo Budi Utomo dari Bagian Humas PT NSP juga menyebutkan, pihaknya sudah mengirimkan satu tim yang terdiri atas empat orang dengan peralatan satu mesin pompa sejak Sabtu (10/2) atau pada kebakaran hari ke-3.
PT NSP memang ikut membantu, tetapi bukan pada kesempatan pertama. Selain itu, bantuan perusahaan pemilik konsesi 21.500 hektar itu terkesan sangat minimalis. Apalagi, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya telah mewajibkan perusahaan membantu pemadaman di lahan warga di sekitar konsesinya.
Bantuan yang dimaksudkan pemerintah tentunya bukan bersifat ala kadarnya. Berapakah nilai bantuan pemadaman dengan tenaga empat orang dan satu mesin pompa? Sebagai pembanding, Grup Sinar Mas yang tidak memiliki konsesi di lokasi yang terbakar di Kepulauan Meranti membantu pemadaman dengan helikopter yang dapat menelan biaya Rp 1 miliar per hari.
Kebakaran di proyek restorasi BRG di Desa Lukun juga mengundang pertanyaan besar. Mengapa api dapat membakar lahan restorasi? Bukankah selama ini BRG membuat tesis bahwa restorasi adalah jawaban atas persoalan kebakaran lahan dan hutan.
Bukankah BRG menyebutkan bahwa proses restorasi yang dimulai dengan menyekat kanal, menjaga muka air gambut tetap stabil dan menanam pohon sagu yang adaptif dengan gambut, akan mampu menjaga lahan dari kebakaran? Kebakaran justru terjadi pada lahan sagu yang bersekat kanal dan berair.
Menurut Haris, kebakaran di Desa Lukun lebih disebabkan kekeringan yang membuat muka air gambut turun sampai 53 cm, dari semestinya 40 cm. Selain itu, di wilayah Desa Lukun terdapat aktivitas pembalakan liar dan perambahan. Ditambah lagi kebakaran berlangsung di lokasi yang jauh dari pemukiman. Namun apapun yang didalilkan Haris, justru membuktikan BRG belum mampu mencegah kebakaran di halamannya sendiri.
Sebaliknya, pernyataan Haris membuktikan bahwa tesis BRG tentang kaitan restorasi dan kebakaran lahan, gagal dibuktikan di lapangan. Persoalan kebakaran lahan dan hutan ternyata jauh lebih kompleks dari sekadar program restorasi. Secara tidak langsung, Haris mengungkapkan bahwa pembalakan liar dan perambahan adalah akar utama kebakaran lahan selama ini.
Namun sayangnya, pemerintah tidak pernah serius membuat program untuk mengendalikan pembalakan dan perambahan tersebut. Terlalu banyak bukti bahwa pemerintah menganggap sepi aktivitas pembalak liar yang merajalela menebangi kayu dan membiarkan perambah merusak kawasan hutan sedikit demi sedikit. Tidak mengherankan suatu ketika kelak akan terjadi ledakan perambah di seluruh hutan negeri ini yang tidak mungkin ditanggulangi tanpa dampak sosial besar.
Presiden Joko Widodo seakan dininabobokan dengan program restorasi bakal mampu menjawab seluruh persoalan kebakaran lahan dan hutan. Sementara akar persoalan kebakaran lahan dan hutan sesungguhnya hanya dikerjakan sambil lalu.
Tentang kekeringan dan membuat muka air gambut turun sampai 53 cm di Lukun, seperti diungkap Haris, juga membuktikan bahwa upaya mempertahankan ketinggian muka air gambut agar tetap stabil pada musim kering tidak mungkin dilakukan. Artinya, Peraturan Pemerintah Nomor No 71/2014 jo Peraturan Pemerintah Nomor 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang mewajibkan perusahaan mempertahankan muka air pada tingkat 40 cm mustahil dilakukan. Peraturan pemerintah itu harus direvisi agar lebih sesuai dengan kondisi alamiah.
Tudingan Eddy Afrizal tentang ketidakhadiran BRG pada saat memadamkan kebakaran juga memperlihatkan koordinasi BRG dengan instansi lokal yang sama-sama berfungsi mencegah dan mengendalikan kebakaran tidak berjalan baik. Koordinasi itu mesti diperbaiki.
Kebakaran lahan Desa Lukun adalah titik balik yang semestinya membuka mata pemerintah untuk menyelesaikan akar persoalan kebakaran lahan di negeri ini. Bukan berarti restorasi tidak penting. BRG tetap diperlukan. Namun, pola yang ditawarkan BRG dengan program restorasinya bukanlah obat yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit kebakaran lahan dan hutan.