BEIJING, MINGGU — Meskipun tidak menginginkan hubungan dagangnya dengan Amerika Serikat terganggu, China dengan tegas mengatakan siap membalas jika Washington merusak kepentingan ekonomi Beijing.
”China tidak mau perang dagang dengan AS. Akan tetapi, jika tindakan AS mengancam kepentingan China, China tidak akan tinggal diam,” kata Wakil Menteri Luar Negeri sekaligus juru bicara Parlemen China, Zhang Yesui, Minggu (4/3), di Beijing, China.
Ia memperingatkan kebijakan yang dibuat dengan penilaian tidak tepat akan mengganggu hubungan kedua negara dan membawa dampak yang tidak diinginkan siapa pun.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Presiden AS Donald Trump berencana mengenakan tarif 25 persen untuk impor baja dan 10 persen pada aluminium. China dan sejumlah negara bereaksi terhadap kebijakan itu.
”Langkah AS mengenakan sanksi pada (produk) bangsa lain, khususnya baja dan aluminium, dengan alasan mengamankan kepentingan nasional, adalah tidak berdasar,” ujar Menteri Luar Negeri China Wang Yi, Sabtu lalu.
Pernyataan itu untuk merespons pernyataan Presiden Trump yang akan mengenakan bea masuk impor sebesar 25 persen untuk baja dan 10 persen untuk aluminium. Pengumuman itu disampaikan saat penasihat ekonomi Presiden China Xi Jinping, Liu He, bertandang ke AS untuk membahas kerja sama ekonomi yang lebih komprehensif. Liu menyebut China dan AS lebih menginginkan kerja sama dibandingkan konfrontasi.
Sebenarnya China, penghasil baja terbesar, tidak terdampak langsung oleh pengumuman itu. Ekspor baja dan aluminium dari China ke AS sangat minim, kurang dari 1 persen impor AS. Namun, Beijing telah menjadi target utama kemarahan Trump atas defisit perdagangan AS.
Reaksi negara lain
Pengenaan bea masuk itu lebih mungkin berdampak kepada Kanada, Brasil, Korea Selatan, Turki, dan Meksiko. Federasi Industri Korea Selatan menyurati para pejabat dan parlemen AS untuk meminta penjelasan atas kebijakan itu.
Terkait rencana Trump itu, Menteri Perdagangan Australia Steve Ciobo menyatakan sudah menghubungi Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross. Dalam pembicaraan itu, Ciobo berharap Ross memberikan jaminan Pemerintah AS akan memberikan pengecualian pada impor baja dari Australia. Akan tetapi, harapan itu belum terpenuhi. Harapan pengecualian itu didasarkan pada kesepakatan antara Australia dan AS di sela pertemuan G-20 tahun lalu.
Ciobo juga mengatakan, pihaknya memantau reaksi negara-negara lain atas pengumuman itu dan menyatakan sangat khawatir ”jika ketegangan terus meningkat dan, pada akhirnya, tindakan saling mengenakan tarif pada ekspor dan impor di antara negara-negara akan mengarah pada pelambatan pertumbuhan”.
Seperti China, ekspor baja dan aluminium Australia ke AS sebenarnya tergolong rendah dalam neraca impor AS. Porsinya hanya beberapa persen dari seluruh impor baja AS. Akan tetapi, Ciobo mengingatkan, pengenaan tarif itu akan mengganggu perdagangan dan memicu kehilangan lapangan kerja.
Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull mengecam hambatan itu. Ia menyebutnya sebagai jalan buntu. ”Proteksionisme bukan jalan keluar dari pertumbuhan rendah. Kebijakan itu justru akan memperdalam masalah,” ujarnya.
Dampak bagi AS
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Trump menyatakan kebijakan itu diambil untuk melindungi 140.000 pekerja di industri baja dan aluminium AS. Namun, para ekonom memperingatkan, kebijakan itu justru membahayakan 6,5 juta pekerja. Mereka adalah buruh di industri yang menjadi konsumen baja dan aluminium impor. Industri itu antara lain otomotif, dirgantara, dan bahan bangunan.
Hambatan impor juga dapat memicu industri AS menaikkan harga karena merasa tidak ada pesaing. Dampaknya, harga barang-barang yang menggunakan baja dalam negeri AS akan naik pula dan akhirnya memberatkan konsumen (Kompas, Minggu, 4 Maret).
Divisi layanan investor Moody’s memperingatkan, kenaikan harga aneka barang akan memperlambat pertumbuhan ekonomi AS. Pada akhirnya, pekerja pabrik akan berkurang. ”Bea masuk dan kuota impor baja tidak pernah bisa melindungi industri (baja) dalam jangka panjang. Lapangan pekerjaan di industri itu terus menurun,” kata ekonom Babson College di Massachusetts, Kent Jones. (AP/AFP)