Mereka Terus Berjuang dan Tidak Akan Berhenti
“Akulah pemilik tubuh ini/ Bukan ibu/ Bukan bapak/ Bukan kakak atau adik/ Bukan anak/ Bukan kamu semua.”
Sepenggal bait dari puisi berjudul Perempuan dibawakan oleh Dwi Rahayu (37) bersama . Ia adalah seorang korban selamat dari upaya penculikan yang terjadi sekitar sembilan tahun silam.
“Dulu saya berkenalan dengan seorang laki-laki melalui Facebook tahun 2008,” ujarnya, di sela acara pentas seni dan tutur perjuangan perempuan akar rumput yang digelar oleh Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), di Jakarta, Minggu (4/3). Acara itu digelar untuk menyambut Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret nanti.
Tak lama setelah berkenalan, entah bagaimana laki-laki itu dapat melacak keberadaan Dwi pada Agustus 2009. Ketika ia berada di Institut Bisnis dan Multimedia (IBM) ASMI, Jakarta Timur, untuk mengambil ijazah, Dwi merasa seorang laki-laki tinggi besar berada di belakang dan menepuk pundaknya, pukul 13.00.
Dari situ, ia merasa pusing dan secara samar-samar mengingat dibawa ke sebuah mobil Toyota Kijang. Ketika sadar, ia berada di kursi belakang pengemudi. Terdapat dua orang dalam mobil itu.
Sekitar 25 menit kemudian, muncul sebuah mobil Toyota Innova. Seorang laki-laki mengendarai mobil itu, sementara dua orang lainnya duduk menghimpit Dwi agar ia tidak bisa lari. Dwi kemudian menendang kaki penculiknya di sampingnya dan langsung membuka pintu untuk lari.
Ia bersyukur sebab berhasil lolos dari penculikan dan belum sempat diperlakukan secara senonoh oleh para penculiknya. “Saya masih merasa ketakutan karena kejadian itu,” tuturnya.
Dari situ, Dwi yang sehari-hari bekerja sebagai wiraswasta semakin sadar dengan kerentanan dengan yang dimiliki perempuan dalam tatanan masyarakat. Dalam bait-bait puisinya, ia mengimbau agar perempuan tidak dilihat sebagai objek semata. Perempuan hadir bukan untuk menjadi bahan caci, penganiayaan, dan perkosaan.
Pemerintah hingga kini belum mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU Penghapusan Kekerasan Seksual).Dalam RUU itu, akan disertakan pembahasan pencegahan kejahatan, penjabaran jenis perbuatan merugikan yang belum ada di peraturan perundangan, dan perlindungan korban kekerasan seksual. (Kompas, 30/01)
Rentan kekerasan seksual
Siti Rubaidah dari Forum Penyintas Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), yang juga turut mengisi acara itu menyatakan, perempuan Indonesia masih rentan dengan kekerasan seksual.
Data dari LBH APIK menyebutkan, terdapat 854 kasus kekerasan seksual tahun 2016 dan 648 kasus tahun 2017. Walaupun menurun, jumlah angka kasus dinilai masih tinggi.
Selain Dwi dan Siti, turut hadir dalam acara itu diantaranya Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti, ibu dari Andro Supriyanto yang merupakan korban salah tangkap untuk kasus pembunuhan, yaitu Marni, penggagas Rumah Harapan dan selebritas Melanie Subono, perwakilan Serikat Perempuan Indonesia (Seruni) Ranting Desa Sukamulya (Bogor) Neneng, serta anggota Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Leni Suryani.
Leni menyatakan, masyarakat saat ini masih menilai PRT sebagai pekerjaan rendahan. Padahal, PRT dinyatakan telah memenuhi empat unsur utama pekerjaan formal, yaitu memiliki pemberi kerja, pekerja, gaji, dan tugas.
“Menjadi PRT bukan cita-cita saya,” katanya. Ia menyatakan, dengan pendidikan pas-pasan, yaitu hanya lulusan sekolah menengah pertama, ia berangkat sebagai pekerja migran di Malaysia tahun 1999 dan Singapura tahun 2002.
Akibat dari keterbatasan pengetahuannya adalah ia tidak mengetahui hak dari seorang PRT. Selama enam tahun ia bekerja tanpa hari libur, dari pagi hingga malam.
Setelah pulang Indonesia, ia bergabung dengan Serikat PRT Sapu Lidi dan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT). Dari situ, ia membantu memberikan advokasi bagi PRT yang mengalami masalah hukum.
Ia juga ingin mengubah citra PRT, bahwa mereka tidak perlu pendidikan dan berorganisasi. “Kami sediakan pendidikan keterampilan dan membantu dalam ujian kesetaraan bagi PRT,” tuturnya.
Namun, yang terpenting baginya adalah untuk terus mendorong RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga agar segera disahkan. Leni mengatakan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum memprioritaskan RUU itu karena tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2018.
“Sudah sekitar 14 tahun dan masih belum disahkan,” kata Leni. Menurut dia, pengesahan RUU itu sangat penting karena dapat menurunkan pelanggaran hak PRT, yang mayoritas adalah perempuan. Dalam berbagai kasus yang Jala PRT tangani, kasus pelanggaran yang sering terjadi adalah pemecatan sepihak dan tidak adanya pesangon.
Aturan hukum yang jelas dibutuhkan untuk mendukung kesetaraan jender. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan Perlindungan PRT adalah dua dari masih banyaknya landasan hukum yang dibutuhkan untuk melindungi dan menyetarakan posisi perempuan dalam tatanan masyarakat.
Hal tersebut karena perempuan adalah mayoritas dari korban kekerasan seksual dan pelanggaran hak PRT di Indonesia. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2016 oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan, satu dari tiga perempuan Indonesia berusia 15-64 tahun atau sekitar 28 juta orang pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual oleh pasangan dan selain pasangannya.
Selain itu, data dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyebutkan, Indonesia memiliki 2,5 juta PRT. Sebanyak 92 persen adalah perempuan yang berasal dari kawasan pedesaan dan berpendidikan rendah.
Kaum perempuan kini terus menyuarakan kesetaraan jender. Melanie Subono, dalam lagunya berkata, “Pernahkah kau dilecehkan sesamamu, dianggap tidak punya hak untuk bersuara/ Dikucilkan dan selalu disampingkan, seakan tempat kita harus di bawah/ Apa yang membuat kamu berpikir kalau kamu itu punya hak yang lebih?” (DD13)