JAKARTA, KOMPAS -- Profil sebagian besar siswa SMA belum berkorelasi dengan kebutuhan dunia kerja. Dari beberapa sekolah yang sudah diprofil, ditemukan keseragaman bahwa 75 persen siswa memiliki kemampuan organisasi yang lebih rendah dari standar industri.
Sekitar 60 persen anak memiliki kemampuan mengatasi masalah yang lebih rendah daripada patokan di industri. Secara rata-rata belum ada sekolah yang siswanya memiliki kemampuan berpikir kritis yang tinggi.
Ina Liem, infopreneur dan konsultan karier dari Jurusanku.com di Jakarta, akhir pekan lalu, mengatakan, lewat Inadata, pihaknya sedang mengembangkan analisis pendidikan (EA) secara big data dengan mengumpulkan profil siswa SMA dari sejumlah daerah di Indonesia.
”Dunia pendidikan kita menghadapi zaman yang tidak bisa ditanggapi dengan cara lama. Kalau prioritas kita adalah mengatasi kesenjangan antara profil anak dan kebutuhan di industri abad ke-21, metode untuk memotret sekolah harus disempurnakan,” kata Ina.
Ina mengingatkan, Presiden Joko Widodo kerap bicara ”kerja, kerja, dan kerja”. Pesan ini sebetulnya bicara soal semangat berkompetisi, etos kerja, kegigihan, inisiatif, dan sebagainya.
Masalahnya, bagaimana mengetahui sebuah lembaga sudah berhasil mencapainya? Presiden juga bicara sampai sejauh mana universitas sudah berubah untuk menghadapi industri 4.0.
”Pertanyaan sama untuk sekolah menengah kita, sudah sejauh mana sekolah kita mengubah siswa untuk siap kuliah dan membekali siswa dengan skill masa depan,” ujar Ina.
Pihak perguruan tinggi, lanjutnya, tentu ingin tahu mahasiswa seperti apa yang berpotensi menjadi inovator, mana yang berbakat penggerak komunitas, mana yang berpeluang sukses sebagai karyawan di perusahaan besar, mana yang profilnya cocok membuka bisnis rintisan, dan lain-lain.
Pilihan metode mengajar pun akan terbantu dengan analisis pendidikan. Selain itu, perguruan tinggi juga perlu tahu sebesar apa dampak yang dihasilkan lembaga terhadap lulusannya. Kalaupun ada dampaknya, dampak pada aspek apa, seberapa besar, apakah sesuai visi misi lembaga, dan sebagainya.
Jika sebuah lembaga mencanangkan sebagai technopreneur university, bagaimana rekrutmen mahasiswanya, sudahkah lembaga ini membentuk skill dan karakter lulusan yang tepat, seberapa besar perubahannya, dan sudah sesuaikah metode pengajaran dengan profil mahasiswanya di tiap angkatan.
Tes minat-bakat
Ina mengatakan, tes minat-bakat yang dilakukan pada siswa selama ini hanya menjawab kebutuhan tertentu. Apalagi, banyak yang memakai tes kecerdasan intelektual (IQ).
Manfaat tes ini dirasakan si pengambil tes, orangtua, dan guru bimbingan konseling (BK) di sekolah. Hasilnya lebih dominan dipakai untuk penjurusan IPA atau IPS di sekolah dan jurusan perkuliahan.
”Psikolog atau guru BK di sekolah harus diberdayakan lebih sebagai konsultan karier. Jika wawasan mereka tentang tren karier dan industri terbatas, saran yang diberikan juga terbatas atau kurang pas,” kata Ina.
"Yang lebih penting itu hasil analisa dan interpretasi hasil tes dibandingkan alat tes itu sendiri. Jadi psikolog atau guru Bimbingan Konselling di sekolah harus diberdayakan lebih sebagai konsultan karier. Jika wawasan mereka tentang tren karier dan industri terbatas, saran yang diberikan juga terbatas atau kurang pas," kata Ina.
Contoh, jarang sekali guru BK menyarankan jurusan Perikanan Budidaya, Pengolahan Hasil Perikanan, Teknik Mesin Perikanan, Konversi Energi, atau Business Analytics, dalam tes minat bakat. Padahal meskipun tidak muncul pada hasil tes minat, belum tentu anak tidak berminat pada bidang tertentu.
Menurut Ina, di sekolah, hanya guru BK yang memanfaatkan hasil tes minat bakat. Akibatnya segala pemahaman tentang profil siswa mengendap di BK. Jika prioritasnya adalah perubahan dan inovasi di bidang pendidikan, solusinya ada pada Education Analytics (EA). Dengan EA, semua pemangku kepentingan bisa melakukan perubahan dan inovasi dengan cepat berbasis data, bukan kira-kira. EA bisa mengungkap berbagai insight yang tak pernah terpikir atau tampak sebelumnya.
Secara terpisah, Rektor Institut Teknologi Bandung Kadarsah Suryadi mengatakan, dalam merekrut calon mahasiswa baru, pendekatan dengan melihat profil siswa di tingkat SMA/SMK untuk skala nasional belum bisa dilakukan. Karena itu, prestasi atau tes akademik masih jadi andalan. ”Namun, setelah masuk jadi mahasiswa, banyak PT yang melakukan tes psikologi untuk memotret potensi mahasiswa untuk membantu keberhasilan pendidikan selama kuliah,” kata Kadarsah. (ELN).