Dalam Jeratan Candu Narkoba
Penggunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di masyarakat memiliki sejarah amat panjang, bahkan sejak awal peradaban manusia. Selain untuk kepentingan medis, terungkapnya penyelundupan narkotika dalam jumlah besar baru-baru ini menunjukkan, Indonesia telah menjadi surga peredaran zat psikoaktif itu.
Narkotika termasuk jenis obat penghilang rasa sakit yang kerap disalahgunakan manusia. Awalnya, narkotika dan obat berbahaya (narkoba) digunakan untuk bius saat operasi. Namun, seiring perkembangan zaman, zat psikoaktif itu juga dipakai untuk menenangkan pikiran dan mendapat kesenangan dengan dosis besar.
Awalnya, narkotika dan obat berbahaya (narkoba) digunakan untuk bius saat operasi. Namun, seiring perkembangan zaman, zat psikoaktif itu juga dipakai untuk menenangkan pikiran dan mendapat kesenangan dengan dosis besar.
Dalam buku seri Sejarah Narkoba disebutkan, sekitar 2.000 tahun Sebelum Masehi, di Samaria dikenal sari bunga opion, lalu ada opium dari pohon popi (Papaver somniforum L). Opium bersifat narkotik, yakni mematikan rasa, depresan, dan mengandung lebih dari 20 jenis alkaloid (bahan alam bersifat basa, ada unsur nitrogen dan memengaruhi tubuh).
Di tahun 1600-an, penduduk Persia dan India memakai opium untuk bumbu masak dan relaksasi. Sementara penduduk Romawi dan Mesir tahun 1700-an mengunyah daun popi untuk menghilangkan rasa sakit saat melahirkan. China pun jadi tempat subur penyebaran candu ini hingga perdagangannya dilarang Kaisar China, dan itu memicu perang candu antara China dan Inggris di abad ke-19.
Candu atau opium merupakan sumber utama narkotika alam yang menghasilkan berbagai jenis narkotika dari alkaloid seperti morfin dan heroin. Candu berasal dari tanaman Papaver somniforum L, mempunyai buah muda yang jika digores akan mengeluarkan getah seperti susu (opium), dan jika kering berwarna coklat kehitaman (candu mentah).
Pada mulanya zat psikoaktif berasal dari tumbuhan. Senyawa kimia pada tanaman bersifat narkotika berupa alkaloid atau glikosida. Contohnya, daun ganja (Cannabis sativa) dan opium (Papaver somniferum), serta kokain yang berasal dari daun tanaman Erythroxylon coco L.
Tahun 1805, dokter dari Westphalia, Friedrich Wilhelim Sertuner menemukan morfin (dari nama dewa mimpi Yunani bernama Morphius), modifikasi candu dicampur amoniak, sebagai penghilang rasa sakit. Pada tahun 1874, ahli kimia dari Inggris, Alder Wright, meneliti cairan morfin dicampur asam anhidrat atau cairan asam pada jamur, lalu diproduksi secara massal dengan nama heroin.
Jenis baru
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan manusia bisa membuat berbagai jenis zat adiktif dan psikotropika buatan atau sintetis yang memiliki kemampuan sama dengan zat alami. Berdasarkan karakteristiknya, ada beberapa jenis narkoba seperti opium, morfin, heroin, putaw, oksicodon, etorfin, kokain, dan sabu.
Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyebut narkotika ialah zat atau obat dari tanaman atau bukan tanaman, sintetis dan semi sintetis, yang menyebabkan penurunan kesadaran, hilang rasa nyeri, dan ketergantungan. Bahan lain yang belum disebutkan, yang jadi pengganti morfin atau kokain, ditetapkan Menteri Kesehatan, sebagai narkotika.
Dalam istilah kedokteran, narkotika adalah obat penghilang rasa sakit dan nyeri yang berasal dari daerah viseral atau alat-alat rongga dada dan rongga perut. Narkotika juga dapat menimbulkan efek stupor atau bengong lama dalam kondisi sadar dan memicu kecanduan. Karena itu bahan narkotika hanya boleh digunakan dalam bidang pengobatan.
Di Indonesia, penyalahgunaan narkoba dan zat yang digunakan terus berkembang. Setelah maraknya penggunaan amphetamine berbentuk ekstasi dan sabu awal 1990-an, menurut data Kementerian Kesehatan, berkembang pemakaian putauw, jenis heroin kadar lebih rendah. Akhir tahun 2003, ditemukan kokain dan jamur.
Menurut Bambang Abimanyu, pengamat masalah narkoba, dalam buku Gurita Narkoba di Indonesia, jenis narkoba terus bertambah, di antaranya CC4, memberi efek senang, daya khayal tinggi, ketagihan, dan depresi. Ada juga penyalahgunaan PCC (Paracetamol, Carisoprodol, dan Caffeine), obat pereda nyeri pinggang. Dari catatan Kompas, sejak awal 2016, beredar tembakau gorilla jenis synthetic cannabinoids atau ganja sintetis, yang menimbulkan efek halusinasi dan kecanduan.
Adapun flakka termasuk narkoba jenis baru yang dibuat menyerupai kokain. Menurut Jim Hall, ahli epidemiologi penyalahgunaan narkoba di Universitas Nova Southeastern, Florida, sulit mengontrol dosis tepat flakka. Sedikit overdosis, bisa menimbulkan gejala ekstrem antara lain adrenalin melonjak dan suhu tubuh menjadi tinggi.
Dampak bagi kesehatan
Adaptasi biologis tubuh kita terhadap penggunaan narkoba dalam jangka waktu lama cukup ekstensif. Dalam buku Dampak dan Bahaya Narkoba disebutkan, tubuh manusia dapat berubah begitu banyak hingga sel-sel dan organ tubuh kita menjadi tergantung pada obat itu hanya untuk bisa berfungsi normal.
Pengaruh narkoba pada seseorang amat tergantung pada jenis narkoba yang dipakai, kepribadian dan kondisi fisik pemakai. Secara umum, dampak kecanduan narkoba dapat terlihat pada fisik, psikis, dan sosial seseorang. Salah satunya adalah, gangguan jantung dan pembuluh darah akibat narkoba mengalir melalui darah ke seluruh organ tubuh.
Selain itu penggunaan narkoba berpengaruh pada sistem saraf sehingga bisa menimbulkan kejang-kejang dan penurunan kesadaran. Contohnya, gangguan saraf sensorik memicu rasa kebas dan penglihatan buram, gangguan saraf otonom membuat gerak tak terkendali, gangguan saraf motorik, dan gangguan saraf vegetatif terkait bahasa sehingga gaya bicara cedal.
Pemakaian narkoba juga memicu gangguan di area otak yang menjalankan tugas emosi, berpikir, dan bertindak. Karena itu, narkoba bisa menyebabkan perubahan suasana hati dan emosi ekstrem hingga depresi. Jenis narkoba tertentu seperti sabu-sabu, dapat memunculkan perilaku agresif berlebihan hingga memicu tindak kekerasan.
Hal itu membuat narkoba jadi ancaman bagi generasi milenial yang merupakan penerus bangsa. Apalagi, begitu terjerat narkoba, maka seseorang akan kecanduan dan bisa kambuh lagi setelah menjalani rehabilitasi. Karena itu, dukungan lingkungan sekitar dan komitmen penegak hukum dalam memberantas narkoba menjadi kunci.