Etnisitas dan Politik Kekerabatan Sulawesi Tenggara
Politik identitas dan politik kekerabatan menjadi ciri yang kerap mewarnai setiap kontestasi politik yang berlangsung di Sulawesi Tenggara. Kuatnya peran ketokohan dalam kultur politik di sana, membuat setiap perubahan afiliasi politik elite daerah berdampak pula terhadap pergeseran dinamika politik di wilayah semenanjung tenggara Sulawesi ini.
Sejarah perpolitikan daerah Sulawesi Tenggara tak pernah luput dari politik identitas. Etnisitas senantiasa menjadi variabel yang cukup menentukan dalam setiap kontestasi politik di wilayah tersebut. Setidaknya ada empat etnis utama yang mendominasi kelompok masyarakat Sulawesi Tenggara, yaitu etnis Buton, Muna, Tolaki, dan Bugis.
Dominasi empat etnis tersebut tersegregasi dalam dua karakteristik wilayah geografis, yaitu wilayah daratan dan kepulauan. Wilayah daratan didominasi oleh kelompok etnis Tolaki dan Bugis, sementara wilayah kepulauan lebih banyak dihuni kelompok etnis Muna dan Buton. Pengelompokkan dominasi etnis di dua wilayah ini, menjadi faktor yang cenderung dominan berpengaruh pada setiap kontestasi politik yang berlangsung di Sulawesi Tenggara.
Sejarah perpolitikan daerah Sulawesi Tenggara tak pernah luput dari politik identitas. Namun, kasus operasi tangkap tangan KPK terhadap Asrun, calon gubernur Sultra, tampaknya mengubah konstelasi politik daerah.
Dosen Ilmu Politik Universitas Halu Oleo, Kendari, Eka Suaib menjelaskan bahwa jaringan patron-klien, kekerabatan, dan etnisitas menjadi ciri khas politik lokal Sulawesi Tenggara sejak masa kerajaan dan masih terus berlangsung hingga kini. Orang daratan cenderung akan memilih pemimpin yang berasal dari daratan dan sebaliknya orang kepulauan cenderung memilih calon pemimpin dari etnis asal kepulauan.
Tak heran, strategi pemenangan dalam kontestasi pemilihan kepala daerah selalu menerapkan konfigurasi pasangan calon berdasarkan latar belakang dua kelompok utama etnis tersebut. Demikian juga dalam pemilihan gubernur mendatang. Calon gubernur nomor urut satu, Ali Mazi yang dikenal berasal dari kepulauan dipasangkan dengan Lukman Abunawas yang mewakili kelompok etnis daratan. Sementara itu, calon gubernur nomor urut dua Asrun berlatar belakang etnis daratan dipasangkan dengan Hugua dari kepulauan. Sedangkan Rusda Mahmud yang berlatar Bugis berpasangan dengan La Ode M. Sjafei Kahar yang berasal dari kepulauan.
Selain kuatnya sentimen etnis, peran ketokohan juga cukup kuat dalam kultur berpolitik masyarakat Sulawesi Tenggara. Preferensi pilihan masyarakat cenderung mengikuti arah pilihan politik tokoh elite di daerah. Hal ini membuat identitas kepartaian masyarakat cenderung lemah. Peta politik Provinsi Sulawesi Tenggara cenderung berubah setiap penyelenggaraan pemilu.
Hal itu terlihat dalam pemenang perolehan suara selama empat kali penyelenggaraan Pemilu. Partai Golkar yang masih memegang dominasi suara pemilih pada dua pemilu pertama pasca Orde Baru (Pemilu 1999 dan Pemilu 2004), tergeser oleh dominasi Partai Demokrat pada pemilu 2009. Berikutnya, wajah politik Sulawesi Tenggara kembali berubah pada Pemilu 2014.
Partai Amanat Nasional berhasil menguasai perolehan suara di mayoritas wilayah di provinsi tersebut dan relatif bertahan hingga saat ini. PAN berhasil meraih 221.449 (18 persen) suara pemilih dan merebut sembilan kursi legislatif di provinsi tersebut.
Penguasaan struktur
Kuatnya politik etnis dan dominasi peran ketokohan elite, berkorelasi kuat dengan fenomena penguasaan struktur politik lokal berbasis kekerabatan di Sulawesi Tenggara. Politik kekerabatan tampak menguat pada era otonomi daerah di provinsi tersebut. Jejaring kerabat cenderung menguasai posisi-posisi strategis dalam kelembagaan politik daerah, baik dalam struktur dewan pimpinan daerah Parpol, DPRD, maupun kepala daerah.
Penelitian yang dilakukan Program Studi Ilmu Politik Universitas Halu Oleo, menyimpulkan model politik kekerabatan berlangsung di hampir semua wilayah di Sulawesi Tenggara. Tercatat setidaknya 11 dari 45 anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara hasil pemilu 2014 berasal dari keluarga pejabat daerah.
Selain itu, pada pilkada 2015, sebanyak tiga dari tujuh kepala daerah terpilih di provinsi ini memiliki hubungan keluarga dengan politisi lokal. Kondisi tersebut makin kental pada pilkada 2017, dimana tiga dari empat kepala daerah pemenang pilkada juga berasal dari keluarga politisi lokal.
Pada masa Orde Baru jejaring kekerabatan dalam struktur politik daerah di Sulawesi Tenggara lebih banyak dikuasai oleh kelompok keturunan bangsawan dan birokrat. Selama era otonomi daerah, selain birokrat banyak juga muncul elite politik baru dari kelompok pengusaha yang membangun jejaring politik kekerabatan.
Nur Alam yang terjerat kasus korupsi gratifikasi tambang adalah pengusaha yang masuk ke dunia politik sebagai anggota DPRD, menjabat ketua Dewan Pimpinan Wilayah PAN, dan akhirnya berhasil menjadi Gubernur Sultra dua periode (2007-2016). Istri Nur Alam, Asnawati, juga terpilih menjadi anggota DPR RI.
https://kompas.id/baca/polhuk/2018/02/15/negara-dirugikan-rp-27-triliun/
Sosok lain adalah Asrun yang menjadi calon Gubernur pada Pilkada mendatang. Asrun adalah mantan Wali Kota Kendari dua periode (2007-2017). Pada pemilu 2014, kedua anak Asrun, Asrisal Pratama dan Adriatma Dwi Putra menjadi anggota DPRD Kota Kendari. Kemudian, Adriatma Dwi Putra, melanjutkan posisi ayahnya sebagai Wali Kota Kendari di pilkada 2017.
Belakangan, Asrun dan Adriatma sama-sama terjerat korupsi dan ditetapkan sebagai tersangka kasus suap proyek infrastruktur oleh KPK.
Provinsi Sulawesi Tenggara kaya akan potensi sumber daya alam pertambangan, bahkan menjadi salah satu provinsi penghasil nikel terbesar di Indonesia. Kasus korupsi terkait penerbitan izin tambang selain menyeret Nur Alam, juga menjerat mantan Bupati Konawe utara, Aswad Sulaiman.
Konstelasi berubah
Kasus tangkap tangan Asrun oleh KPK tampaknya mengubah konstelasi politik jelang Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara. Asrun ditangkap bersama putranya yang saat ini menjabat Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra atas dugaan suap terkait proyek infrastruktur di Kota Kendari.
https://kompas.id/baca/utama/2018/02/28/wali-kota-kendari-ditangkap-kpk/
Asrun yang berpasangan dengan Hugua diusung oleh koalisi PAN, PKS, PDI Perjuangan, Partai Gerindra, dan Hanura. Di atas kertas, pasangan ini memiliki modal politik yang cukup kuat. Koalisi lima partai politik pengusung pasangan tersebut mengantongi 58 persen kursi DPRD Provinsi, dengan modal akumulasi suara pemilih lebih dari 50 persen berdasarkan hasil Pemilu Legislatif 2014.
Popularitas Asrun yang berlatar belakang mantan Wali Kota Kendari dua periode seharusnya juga menjadi modal kuat untuk memuluskan jalan meraih kursi nomor satu di Sulawesi Tenggara. Apalagi putra Asrun, Adriatma Dwi Putra juga menjabat Wali Kota Kendari saat ini. Dalam hitung-hitungan politik, infrastruktur politik yang dimiliki pasangan Asrun-Hagua cenderung lebih kuat dibandingkan dua pasangan lainnya.
Modal politik PAN terbukti cukup besar di wilayah Sulawesi Tenggara. Hal ini ditandai dengan keberhasilan pasangan calon yang diusung PAN menduduki kursi kepemimpinan lokal dalam rangkaian Pilkada selama ini. Selama rangkaian pilkada yang berlangsung hingga tahun 2014, tak kurang dari 10 pasangan yang diusung oleh PAN berhasil memenangi pertarungan dan menduduki kursi Bupati/Wali Kota di Sulawesi Tenggara.
Meskipun Asrun ditetapkan sebagai tersangka, statusnya tetap sah sebagai calon gubernur selama belum ada ketetapan hukum. Sesuai peraturan KPU nomor 15 Tahun 2017 tentang Pencalonan Gubernur dan Wagub, Bupati dan Wabup dan/atau wali kota dan wakil wali kota, Parpol atau koalisi Parpol dilarang menarik pengajuan Paslon. Kecuali calon tersebut tidak memenuhi syarat kesehatan, berhalangan tetap, atau telah dijatuhi pidana berkekuatan hukum tetap.
Operasi tangkap tangan KPK terhadap Asrun mengaburkan kembali kalkulasi politik Pilgub Sulawesi Tenggara dan membuka peluang lebih lebar bagi dua pasangan calon lainnya.