Komunitas Jam Tangan ”Vintage” Berkembang
Kegemaran untuk mengoleksi jam-jam tangan vintage atau jam lawas dalam tiga tahun terakhir ini berkembang pesat di masyarakat. Penggemar jam kuno ini tidak terbatas, dari presiden, pilot, sampai pemulung.
Munculnya komunitas-komunitas horologi, yakni mereka yang tertarik terhadap jam tangan sebagai alat pengukur waktu, juga bermunculan di Bandung, Malang, Semarang, Surabaya, Bandar Lampung, Yogyakarta, Riau, Medan, Makassar, dan Denpasar.
”Kami penggemar jam vintage di Salatiga juga tidak kalah, sudah mulai bangkit sejak tiga tahun silam. Bermula dari kesenangan dapat jam antik dan lawas warisan orangtua, kini kegemaran jam sudah jadi bisnis yang memberi penghasilan ladang lebih besar dibanding gaji saya,” ujar Bernadi Murmana, Jumat (2/3) malam, saat kumpul sesama penggemar jam yang berlangsung di Logos Cafe, Klaseman, Kota Salatiga, Jawa Tengah.
Di kafe yang dikelola Munadi itu sudah berkumpul sekitar lima orang anggota komunitas horologi atau peminat jam vintage.
Di Salatiga terdapat sekitar 10 penggemar jam, belum termasuk 2-3 ahli jam, yakni tukang servis jam yang menjadi pendukung kegemaran anggota komunitas itu. Mereka yang hadir selain selain Bernadi, termasuk senior dalam hal pehobi jam kuno, juga ada Yastro Malakian II, Ardi, dan Junaedi.
Di meja tempat beberapa gelas kopi dan asbak terhampar lebih dari 50 jam vintage dengan puluhan merek, rata-rata vintage arena buatan mulai 1950 hingga 1980. Dilihat dari mereknya, ada buatan Rusia, Swiss tentu saja tidak ketinggalan, dan raksasa produsen jam besar di Asia, yakni Jepang.
”Beberapa jam koleksi saya justru jam-jam yang hanya dijual di Jepang, tidak dipasarkan diluar \'Negeri Matahari Terbit\', istilah kerennya jam JDM (Japan domestic market), seperti Seiko chrono, Seiko diver, dan Seiko 5. Tanda untuk mengenali jam JDM ialah simbol hari pada jam itu menggunakan huruf Kanji,” ujar Yastro Malakian yang mengatakan, saat ini pekerjaannya hanya pengepul jam.
Yastro memiliki jam Seiko 5 sports dengan bezel (ring tepi) berwarna biru. Diperkirakan jam ini buatan 1960 dengan tenaga otomatik.
Jam tersebut sudah buluk (sangat kuno), bezel sudah tidak utuh, warna biru di ring banyak terhapus dimakan usia. Dial atau dasar jamnya sudah tidak mulus. Sekilas jam ini ”mati”, tetapi begitu digoyang, jarum detiknya langsung bergerak (hidup).
”Jam otomatif punya kelebihan. Jam ini sangat awet, apalagi jika kondisinya orisinal semua part-nya, bisa diwariskan ke anak cucu. Jam-jam merek tertentu, terutama jam kelas atas (high end), malah menjadi investasi tidak lekang waktu,” ujarnya.
Para penggemar jam ini, mengatakan, jam yang mereka koleksi ialah jam-jam kelas menengah ke bawah. Seperti jam Seiko 5, jam yang juga dijuluki ”jam sejuta umat” ini, di samping dimiliki 6 dari 10 penggemar jam di masyarakat Indonesia, merupakan jam yang paling diminati.
Di level itu ada jam Seiko, Titoni, Citizen, Rado, Alba, Alexander Christi, Titus, Vostok, Encar, sedangkan jam kelas atas berjejer Rolex, Tissot, Omega, Tag Heuer, Patek Phillipe, dan Bomberg.
Hasil perburuan
Menurut Junaedi, jam-jam vintage ini sebagian besar hasil buruan, selain warisan dari orangtua. Tak heran, banyak penggemar jam meluangkan waktu di setiap akhir pekan untuk mengunjungi kota-kota kecil.
”Bila tidak punya info, paling mudah ke tukang jam di pasar atau tukang jam di sudut kota, atau pasar loak, pasar klithikan (barang lawas). Bisa juga ke toko-toko jam lama yang biasanya kecil di sudut kota. Dengan mengunjungi tukang jam atau ke pemilik langsung, saya berharap mendapatkan jam antik juga langka,” ujar Junaedi.
Bernadi mengatakan, dia pernah memperoleh jam Seiko Bullhed atau di kalangan penggemar disebut jam kebo dari petani sayuran di Ngablak, Kopeng. Jam langka itu ditebus seharga di bawah Rp 1 juta. Saat ini harga jam kebo dengan ciri dua tanduk di atas angka 12 itu lebih dari Rp 8 juta.
Berburu jam itu, kata Bernadi, penggabungan antara seni dan harapan cemas. Tak jarang, jam yang ditemukan sudah mati, pemiliknya tidak mau repot. Padahal, jam itu setelah diganti batereinya langsung hidup. ”Jadi saya beli pas kondisi jam mati, jadi lebih murah,” ujarnya.
Namun, belakangan, seiring banyaknya jam diburu penggemar, masyarakat di desa pun mulai paham soal harga. Jadi, kadang harga di tangan pemilik bisa nyaris sama dengan harga pasaran di kota besar.
Ardi mengatakan, varian jam tangan itu terbagi lima bila dikaji dari sumber tenaga (power), dari jam otomatik, jam baterai, jam solar, jam manual (power wind), hingga jam kinetik.
Jam otomatik digerakkan oleh rotor yang mendorong per bekerja, sedangkan jam manual mengutamakan gerakan per untuk memberi energi pada mesinnya.
Mesin jam, bila diperhatikan terdapat pasak-pasak, atau disebut pula jewels. Di setiap jam bisa terdapat 17 jewels, 23 jewels, 25 jewels, 29 jewels, bahkan sampai 50 jewels. Semakin banyak jewels belum tentu lebih baik karena jewels bisa saja hanya hiasan mesin.
Di Salatiga, menurut Bernadi, penggemar jam belum tersegmen. Penggemar jam yang tersegmen ada yang suka jam digital (Casio, G-shock) ada pula penggemar jam diver (jam khusus untuk menyelam atau diving), ada pula yang khusus maniak jam Rolex, Seiko, Rado, Titus, dan sebagainya.
Penggemar jam G-shock, misalnya Adi Prasetyo, memilih jam G-shock terutama yang market Jepang juga karena unik. Jam G-shock dengan varian Sky Force, Gundam, kini tengah naik daun.
Harga per buah jam Gundam yang masih orisinal bisa tembus Rp 4 juta atau di kalangan komunitas disebut 4.000. Jam Gundam ini moncer gara-gara dipakai oleh bintang film, Mac Gyver. Seperti halnya James Bond mengenakan jam Seiko SKX 007.