Nilai Produksi Alat Kesehatan Lokal Hanya 8 Persen
Oleh
DD13
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Nilai produksi alat kesehatan lokal hanya mencapai 8 persen. Saat ini, nilai produksi alat kesehatan yang beredar di Indonesia sebanyak 92 persen dikuasai oleh Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan China.
Manajer Eksekutif Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki), Ahyahudin Sodri, dalam Konferensi Pers: IndoHCF Innovation Award 2018, di Jakarta, Selasa (7/3), menyatakan, hal itu terjadi karena secara karakter Indonesia bukanlah negara industri, seperti Amerika Serikat. Adapun data tersebut diperoleh oleh penelitian yang dilakukan Aspaki pada tahun 2017.
“Padahal, nilai pasar alat kesehatan (alkes) Indonesia tahun 2018 ini diperkirakan melampaui 1 miliar dollar AS atau setara Rp 13,5 triliun,” kata Ahyahudin. Menurut dia, untuk naik dari angka 6 persen menuju 8 persen saat ini saja, Indonesia membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Produksi alkes lokal, ujarnya, masih berkutat pada produk dengan nilai jual yang rendah. Ia mencontohkan, AS memproduksi alkes teknologi tinggi, seperti CT Scan, yang nilainya dapat mencapai Rp 8 miliar per unit. Sedangkan Indonesia hanya memproduksi alkes teknologi rendah, seperti tempat tidur rumah sakit, dengan nilai jual sekitar Rp 10 juta-Rp 30 juta per unit.
Produsen lokal Indonesia kini mulai memasuki produksi alkes teknologi menengah, seperti alat USG, X-Ray, dan alat pendukung proses anestesi. Dengan nilai jual yang lebih tinggi, Indonesia akan lebih untung dalam berbisnis.
Adapun, Ahyahudin menambahkan, proporsi alkes di Indonesia adalah pencitraan digital (21 persen), alat bantu pasien (27 persen), material sekali pakai habis (16 persen), dental (2 persen), ortopedi (1 persen), serta lain-lain, seperti alat bedah (33 persen).
Ia menambahkan, proses agar produksi lokal berkembang memang membutuhkan waktu yang panjang. Hal itu karena banyak tahapan yang harus dilalui, seperti percobaan dan sertifikasi produk. Selain itu, produk juga harus dinilai dari sisi kelayakan teknikal dan ekonomis.
Ditambah lagi, kendala yang harus dihadapi adalah bahan baku untuk produksi. Seluruh bahan baku masih harus diimpor. “Produksi alkes lokal dapat menurunkan pengeluaran rumah sakit karena harga akan lebih murah,” ujarnya.
Masih rendahnya produksi alkes yang rendah diharapkan dapat ditingkatkan melalui pemberdayaan inovator lokal. Ketua Umum IndoHCF, Supriyantoro, mengatakan, PT IDS Medical Systems Indonesia mengadakan IndoHCF Innovation Awards II-2018 untuk mendorong inovasi di bidang kesehatan, termasuk alkes.
Adapun IndoHCF Awards adalah program tanggung jawab sosial PT IDS Medical Systems Indonesia yang diadakan pada 26 April 2018. Acara serupa pernah digelar tahun lalu.
Terdapat lima kategori yang dilombakan, yaitu inovasi Kreasi Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas), inovasi Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT), inovasi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), inovasi teknologi informasi (TI) di bidang Smart Health, serta inovasi Alat Kesehatan.
Kategori Germas dibuat berdasarkan program Germas sebagai program nasional menuju Indonesia Sehat, SPGDT dan KIA akibat angka kecelakaan dan kematian ibu yang masih tinggi, serta inovasi TI karena era digital saat ini. Adapun kategori Alkes dibuat karena produksi lokal juga masih rendah.
Supriyantoro berharap, agar produksi alkes lokal kelas menengah naik menjadi 20-30 persen di tahun 2035, sebagaimana yang juga ditargetkan ASPAKI. Ia mencontohkan, dari ajang IndoHCF Award 2017, inovasi alkes dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, berupa selang yang menghubungkan ke otak pada kasus hidrosefalus. Inovasi itu kini dikembangkan oleh Kalbe Farma.
IndoHCF Innovation Awards II-2018 kali ini memperluas jangkauan peserta sehingga dapat menerima peserta dari pemerintah daerah yang berhasil melakukan inovasi dalam kategori KIA dan SPGDT. Total yang telah mendaftar sekarang telah mencapai 200 peserta.
Ramli Laukaban, VP Director PT IDS Medical Systems Indonesia mengatakan, penghargaan dapat menjadi wadah bagi produsen lokal untuk berkembang. Secara tidak langsung, hal tersebut dapat menguatkan perekonomian Indonesia. (DD13)