Jakarta, Kompas Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta atau PAM Jaya fokus menghitung besaran imbalan air (water charge) menjelang pengambilalihan sebagian peran mitra swasta ke PAM Jaya. Hal ini terkait restrukturisasi perjanjian kerja sama pengelolaan air minum di Jakarta antara PAM Jaya dengan pihak swasta, yang direncanakan rampung akhir Maret 2018.
Pengelolaan air minum di Jakarta hingga saat ini masih dijalankan PAM Jaya bersama dengan PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), berdasarkan perjanjian kerja sama sejak 1998. Sebagian isi kontrak itu memberikan hak bagi Aetra untuk mendistribusikan air bersih di timur Jakarta dan Palyja di bagian barat Jakarta hingga tahun 2023.
Direktur Utama PAM Jaya Erlan Hidayat, Selasa (6/3), mengatakan, kompensasi berupa imbalan air mesti turun menyusul berkurangnya peran swasta. “Ini lagi kami hitung-hitung,” sebutnya.
Imbalan air ini adalah hak bagi dua operator swasta atas jasa mereka menghasilkan air. Imbalan air ini dibayarkan PAM Jaya. Akan tetapi, imbalan air yang nilainya cenderung naik secara periodik, tidak seluruhnya bisa dibayarkan dari pengumpulan tarif yang dibebankan pada pelanggan. Pasalnya, tarif tidak serta merta naik seiring dengan kenaikan nilai imbalan air.
Sebagai konsekuensinya, PAM Jaya mesti bertanggung jawab membayarkan selisih pada Aetra dan Palyja. Akan tetapi, utang PAM Jaya (tariff shortfall) pada dua operator swasta itu, kata Erlan, terus menurun.
Ia menyebutkan, utang terbayarkan karena perbaikan penjualan volume air. “Saat ini, jumlahnya (utang) sudah di bawah Rp 250 miliar,” ujar Erlan.
Konsekuensi dari peralihan pelayanan pelanggan dari dua mitra swasta kepada PAM Jaya, menurut Erlan, diikuti pula dengan proses penagihan.
Nila Ardhianie dari Amrta Institute for Water Literacy, pada hari yang sama, mengatakan, PAM Jaya mestinya mencermati putusan pengadilan dalam konteks restrukturisasi. “Water charge memang salah satu sumber masalah besar. Tapi, tanpa ada putusan pengadilan, negosiasi water charge juga dilakukan.”
Putusan pengadilan yang dimaksud Nila adalah perintah Mahkamah Agung pada 2017 untuk menghentikan kebijakan swastanisasi atau privatisasi air. Selain itu, Mahkamah Konstitusi, pada 18 Februari 2015, membatalkan Undang-Undang Sumber Daya Air Nomor 7 Tahun 2004 sebagai dasar privatisasi.
Sebelumnya, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 24 Maret 2015 menyatakan, pembatalan kontrak dengan Palyja dan Aetra. Seluruh rangkaian putusan hukum ini diawali gugatan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada November 2012.
Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta Tubagus Arif mengatakan, tarif sosial bagi penyediaan air bersih bagi kelompok masyarakat kurang mampu mesti tetap dijamin sekalipun kelak terjadi kenaikan tarif. Ia juga mengingatkan tugas lain PAM Jaya untuk mengaliri sekitar 1.200 unit hidran di Jakarta sebagai antisipasi penanganan kebakaran.
“Saat ini (hidran-hidran tersebut) kosong,” kata Arif.