Penanak Nasi Lengkap dengan Nasinya Pun Dijual
Seorang pria berusia sekitar 35 tahun dengan tato di lengan kanan duduk sambil merokok di teras lantai dua sebuah rumah di permukiman padat di Kampung Kubur, Medan, Sabtu (3/3). Lalu, dua pria lain berusia sekitar 25 tahun datang ke depan rumah. Dari halaman rumah, dua pria itu berbicara dengan pria bertato di lantai dua.
Beberapa saat kemudian, pria bertato yang tidak mengenakan baju itu menurunkan sebuah ember plastik hitam yang diikat dengan tali dari lantai dua. Pria di halaman rumah yang mengenakan jins dan kaus oblong lalu menaruh beberapa lembar uang di dalam ember. Setelah mengambil uang tersebut, pria bertato menurunkan kembali ember berisi bungkusan plastik kecil.
”Ya begitulah mereka bertransaksi (jual beli sabu). Kemarin polisi baru menangkap satu pengedar hanya berapa meter dari rumah itu, sekarang sudah ada lagi,” kata Delima (50), bukan nama sebenarnya, warga Kampung Kubur, saat Kompas berkunjung ke sana.
Kampung Kubur yang merupakan permukiman padat dikenal sebagai salah satu pusat jual-beli narkoba di Medan. Hampir setiap hari terjadi penggerebekan, baik dari polisi maupun BNN di kampung yang berada di Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Petisah, itu. Mantan Kepala BNN Komisaris Jenderal Budi Waseso pada 2016 bahkan pernah secara khusus datang ke kampung itu untuk melakukan pembinaan.
Kampung dengan berukuran sekitar 500 meter x 300 meter itu berada di jantung Kota Medan di tepi Sungai Deli. Disebut Kampung Kubur karena ada pemakaman etnis Bengali di sana. Untuk memasuki kampung, perlu melalui beberapa gang sempit di Jalan Taruma.
Kampung berukuran sekitar 500 meter x 300 meter itu berada di jantung Kota Medan di tepi Sungai Deli. Disebut Kampung Kubur karena ada pemakaman etnis Bengali di sana.
Jalan di dalam Kampung Kubur juga hanya bisa dilalui sepeda motor dan sebagian hanya bisa dilalui pejalan kali dengan lebar jalan 0,5 meter hingga 1,5 meter. Jalan-jalan itu berbelit tidak teratur seperti labirin. Rumah-rumah di sana berukuran sekitar 4 meter x 8 meter.
Hampir di setiap pintu masuk Kampung Kubur ada orang berdiri atau sekadar duduk-duduk. Setiap ada orang yang masuk, mereka menatap curiga.
Delima mengatakan, para pengedar di Kampung Kubur punya banyak modus dan bahasa isyarat untuk mengelabui petugas. Mereka, misalnya, menyebut polisi atau petugas BNN dengan kata ”nai” yang dalam bahasa India Bengali artinya anjing. Sebagian rumah di sana saling tersambung agar mudah melarikan diri atau bersembunyi ketika ada penggerebekan.
Emmy (64), mantan Kepala Lingkungan I Kampung Kubur, mengatakan, hingga kini Kampung Kubur tetap menjadi pusat jual-beli narkoba meskipun berbagai program pemberantasan sudah dilakukan di sana. ”Setelah kedatangan Budi Waseso, di kampung ini didirikan sejumlah pos polisi dan BNN selama tiga bulan. Transaksi narkoba sempat berkurang, tetapi marak lagi setelah posnya tutup,” katanya.
Emmy mengatakan, sejumlah warga di Kampung Kubur ada juga yang menyediakan rumah untuk konsumsi narkoba yang disebut dengan rumah asap. Para penyalahguna narkoba membayar Rp 10.000 per orang untuk sekali isap sabu di rumah itu. Yang datang ke rumah itu sebagian besar orang luar Kampung Kubur, dari anak sekolah hingga kakek-kakek.
Sebelum masuk ke rumah asap, terkadang para pemakai narkoba menjual dulu barang-barangnya agar punya uang untuk beli sabu atau ekstasi. ”Pernah seorang pria sakau menawarkan penanak nasi listrik ke saya lengkap dengan nasi di dalamnya. Saya kaget. Saya bayangkan anak dan istrinya mau makan, tetapi tak ada nasi lagi di rumahnya,” katanya.
Maraknya peredaran narkoba di Kampung Kubur membuat warga tidak dipercayai, bahkan untuk mengkredit sepeda motor,
Menurut Emmy, tidak sedikit anak sekolah, bahkan yang berpakaian seragam, masuk ke rumah asap itu. Mereka patungan Rp 50.000 per orang untuk membeli satu paket sabu yang harganya sekitar Rp 150.000 per paket atau sekitar 0,1 gram. Anak sekolah itu kadang bertengkar memperebutkan bagian yang lebih banyak.
Maraknya peredaran narkoba di Kampung Kubur, kata Emmy, membuat warga tidak dipercayai, bahkan untuk mengkredit sepeda motor. ”Warga di sini kalau mau mengkredit sepeda motor pinjam identitas orang lain. Mau minjam uang di bank juga tidak bisa,” katanya.
Selain di Kampung Kubur, peredaran narkoba menyentuh perkampungan-perkampungan di pinggiran Medan hingga kabupaten lain. Marlina (27), bukan nama sebenarnya, mengatakan, di kampungnya di Desa Genteng, Kecamatan Tanjung Pura, Langkat, sabu bisa diperoleh di rumah salah satu tetangga satu gang dengan harga Rp 50.000 per paket. Adik lelakinya, sebut saja Yogi (24), bahkan sudah menjadi korban sejak empat tahun lalu.
Temperamen adiknya yang bekerja menyuling minyak di Langkat itu makin tidak terkontrol, gampang marah. Ia berani menjual sepeda motor untuk mendapatkan sabu. Kipas angin sampai kayu untuk membangun rumah dijual. Bersama teman-temannya ia mencuri sawit, ayam, atau bebek tetangga. Keluarga menjadi gaduh karena ulah Yogi.
Di Sunggal Kanan, Deli Serdang, Nuryanti (38), bukan nama sebenarnya, bong untuk mengisap sabu pernah ditemukan berserakan di sawah di bawah pohon pisang. Salah satu adiknya, sebut saja Yanto (27), terkena narkoba tiga tahun lalu. Si adik terjerat utang, berani mencuri di tempat kerja sehingga dikeluarkan.
Keluarga adiknya pulang ke rumah ibunya menjadi beban keluarga. Ibunya jatuh sakit memikirkan adiknya. ”Sekarang adik saya sudah lebih baik. Tapi saya cemas karena saya dengar ada paket murah sabu Rp 20.000 yang terbeli anak remaja,” kata Nuryanti.
”Takut, saya karena saya punya anak remaja,” kata Nuryanti. Yang mengesalkan lagi, kata Marlina, si pengedar sabu yang diketahui tidak punya pekerjaan itu bisa merenovasi rumah dan beli sepeda motor.
Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara Komisaris Besar Rina Sari Ginting mengatakan, pada 2007 ada 17 pengedar narkoba yang ditembak mati di Sumatera Utara. Tahun ini hingga Maret sudah ada tujuh pelaku yang ditembak mati.
Namun, pengguna sabu tetap besar. Di Sumatera Utara jumlahnya diperkirakan mencapai 350.000 orang. Narkoba yang masuk ke Sumatera Utara juga diperdagangan ke sejumlah daerah di Sumatera hingga Jawa.
Sejak ratusan tahun
Peneliti Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan, Eron Damanik, mengatakan, maraknya peredaran narkoba di Sumatera Utara sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu. Candu berupa opium awalnya dikonsumsi sultan dan saudagar kaya. Candu lalu mengakar hingga ke masyarakat paling bawah.
William Marsden dalam buku Sejarah Sumatra (1783) bahkan sudah mencatat Sumatra bagian barat telah mengimpor 150 peti (satu peti 70 kilogram) opium per tahun dengan harga 300 dollar AS per peti. Saat langka, harganya bisa meroket hingga 3.000 dollar AS.
Peredaran narkoba di Sumatera Utara sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu. Candu berupa opium awalnya dikonsumsi sultan dan saudagar kaya. Candu lalu mengakar hingga ke masyarakat paling bawah.
Buku John Anderson berjudul Mission to the East Coast of Sumatra in 1823 menyebutkan Kampung Balai, yang sekarang Kota Tanjung Balai, menjadi tempat masuknya opium dari Malaysia dan Singapura. ”Opium dari Benggala, India, masuk ke Indonesia melalui para sindikat di Malaysia dan Singapura,” kata Eron.
Eron menyebutkan, masyarakat semakin marak mengonsumsi opium pada awal 1900-an. Opium merebak dari pesisir hingga pedalaman.
Daniel Perret dalam buku Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut menyebutkan, pada 1905 para kepala dusun atau datuk di Deli (sekarang Medan dan Deli Serdang), Serdang (Serdang Bedagai), dan Langkat mendapat 206 bungkus opium setiap bulan sebagai ganti gaji mereka sebesar 45.000 gulden. ”Mereka memilih opium karena bisa mendapat keuntungan lebih banyak dengan menjualnya kepada masyarakat,” kata Eron.
Opium dari Benggala, India, masuk ke Indonesia melalui para sindikat di Malaysia dan Singapura.
Pengendalian candu mulai dilakukan pada masa pemerintahan hindia Belanda karena produktivitas pekerja kebun menurun drastis. Candu hanya bisa dijual sindikat yang ditunjuk pemerintah. ”Opium hanya bisa dijual ketika karyawan gajian. Pemerintahan Hindia Belanda tidak menghentikan total penjualan opium karena keuntungannya yang sangat besar,” kata Eron.
Seturut zaman, candu opium berubah menjadi produk kimia. Menurut Eron, pemberantasan narkoba tidak bisa terlepas dari sejarah dan akar candu masuk ke Sumatera. Pemerintah harus memberantas narkoba hingga ke akar-akarnya, yakni dengan menyembuhkan masyarakat dari kecanduan narkoba. Jika permintaan dari masyarakat masih tetap tinggi, sindikat terus mencari cara untuk memasukkan narkoba ke Indonesia.