JAKARTA, KOMPAS -- Berbagai bentuk ketegangan dan kekerasan yang muncul belakangan ini karena politisasi identitas berbasis agama maupun etnik tidak hanya menimbulkan kerisauan di masyarakat, tetapi secara nyata telah menempatkan perempuan dalam posisi semakin rentan mengalami kekerasan berbasis jender.
Situasi ini seharusnya bisa dihentikan oleh perempuan. Perempuan bisa hadir sebagai pembawa solusi. Mereka dapat mencegah situasi tersebut semakin memburuk dengan bersatu menyuarakan pentingnya perdamaian dan bersatu melawan semua bentuk kekerasan, diskriminasi dan pembodohan.
Karena itulah Jaringan Perempuan Lintas Iman yang tergabung dari para toloh lintas agama, akademisi dan aktivis, serta jaringan ulama perempuan di Jakarta, dalam seruan moral yang disampaikan di Jakarta, Selasa (6/3, mendorong perempuan untuk bersatu dan menyuarakan perdamaian serta melawan semua bentuk kekerasan.
Dalam seruan moral tersebut, Jaringan Perempuan Lintas Iman menyatakan bahwa merawat, menjaga dan memperjuangkan kebinekaan Indonesia pada dasarnya merupakan kewajiban seluruh elemen bangsa dari berbagai latar belakang primordial berbasis suku/etnis, agama, ras, golongan dan daerah.
“Maka kita semua harus mengeluarkan segenap upaya yang efektif untuk mencegah dan menangani setiap ancaman atas kebhinekaan tersebut,”ujar Musdah Mulia (Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace).
Tegakkan hukum
Pemerintah dan seluruh aparat penegak hukum juga diminta melakukan penegakan aturan dan hukum secara tegas, adil, dan transparan kepada siapa pun, khususnya pelaku tindakan yang berorientasi memecah belah bangsa. Selain itu, pemerintah dan aparat perlu mengupayakan pencegahan dini terhadap aksi-aksi pemecah belah dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat, termasuk perempuan.
Ejodia Kakoensi (Persekutuan Persekutuan Perempuan Berpendidikan Theologia di Indonesia) mengajak seluruh umat beragama di Tanah Air, agar proaktif mempromosikan nilai-nilai cinta kasih dan antikekerasan di tengah masyarakat.
Selain menggunakan tradisi dan kearifan lokal yang mendukung penguatan hubungan silaturahim antaragama, masyarakat juga diharapkan memperbanyak ruang-ruang pertemuan untuk mengenal perbedaan dan acara keagamaan dan upacara adat yang mempererat persaudaraan.
Mereka juga berharap para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan organisasi masyarakat agar senantiasa mengutamakan pendidikan dan pengajaran keagamaan yang efektif, membentuk karakter bangsa yang cinta Tanah Air dan menghormati perbedaan, serta bergandeng tangan menjaga rumah ibadah dari upaya pecah-belah persatuan bangsa.
Menurut Ruby, para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, sejak awal telah merancang negara ini menjadi negara demokratis dan pluralis. Oleh karena itu, menjaga dan memperjuangkan kebinekaan agar tetap menjadi warna dan nuansa di Indonesia merupakan kewajiban dan tanggung jawab semua warga negara.
Namun belakangan, kebebasan tersebut disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyebarluaskan berita-berita bohong, ujaran kebencian, pembunuhan karakter, persekusi perempuan, hingga penyerangan fisik kepada ulama dan tokoh-tokoh agama, kelompok minoritas, dan perusakan tempat-tempat ibadah.
“Ruang demokrasi yang menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat telah disalahgunakan untuk politisasi agama. Fatalnya, hal itu dilakukan demi meraih tujuan sesaat yang bertentangan dengan nilai-nilai perdamaian, persaudaraan, perlindungan kaum marginal, serta penyebaran rahmat bagi seluruh manusia dan alam semesta yang menjadi tujuan luhur agama,” ujar Musdah.
Mushda meminta semua pihak agar tidak berhenti bersuara lantang menentang kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta menentang gerakan intoleransi.
Sr M Natalia OP (Sekretaris Sekretariat Jender dan Pemberdayaan Perempuan Konferensi Waligereja Indonesia) berharap sikap dan komitmen dalam menjaga perdamaian tidak dibatasi oleh agama, tetapi justru mengendepankan kemanusiaan.
Biksuni Thitacarini mengingatkan masyarakat jangan hanya terfokus pada persoalan dalam skala besar, tetapi harus kembali melihat persoalan dalam keluarga. Keluarga harus menjadi benteng moral bagi anak-anak. Ibu dalam setiap keluarga hendaknya menjadi teladan sehingga bisa mendidik anak-anaknya ke arah yang benar. Dengan demikian, anak-anak tidak akan mudah terpengaruh oleh lingkungan luar.