PSG Kembali Gagal ”Membeli” Trofi ”Si Kuping Lebar”
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
Kocek tebal dan status tim bertabur bintang tidak serta-merta membuat Paris Saint-Germain mampu mewujudkan ambisi merajai Eropa. ”Les Parisiens” kembali gigit jari di babak 16 besar Liga Champions. Mereka disingkirkan juara bertahan Real Madrid setelah menyerah 1-2 di Paris, Rabu (7/3) dini hari WIB.
Musim panas lalu, sejumlah media di dunia, salah satunya Sportsmail, menyebutkan, PSG adalah tim terkuat sekaligus paling ambisius di Eropa saat ini. Status itu tidak terlepas dari keberhasilan mereka merekrut dua pemain termahal dunia sekaligus, yaitu Neymar Jr dan Kylian Mbappe-Lottin, dengan mahar 400 juta euro atau Rp 7 triliun. Mereka mencoba ”membeli” trofi Liga Champions, satu-satunya gelar yang menghilang dari koleksi tim ini.
Sejak dibeli Qatar Sports Investment (QSI), BUMN milik negara Qatar, PSG bak ”orang kaya baru” di jagat sepak bola. Tidak kurang dari total 1 miliar euro atau Rp 17 triliun telah dihabiskan sejak klub itu diakuisi perusahaan negara kaya minyak itu. Sesuai motonya, yaitu ”terus bermimpi lebih tinggi”, QSI melalui bos besarnya, Nasser al-Khelaifi, berambisi membangun ”los galacticos” di PSG.
Sejak dibeli Qatar Sports Investment (QSI), BUMN milik negara Qatar, PSG bak ”orang kaya baru” di jagat sepak bola. Tidak kurang dari total 1 miliar euro atau Rp 17 triliun telah dihabiskan sejak klub itu diakuisi perusahaan negara kaya minyak itu.
Sebelum Neymar dan Mbappe, sederetan nama besar, seperti Angel Di Maria, Edinson Cavani, Marco Verratti, Thiago Silva, Zlatan Ibrahimovic, hingga Julian Draxler, didatangkan lebih dulu ke klub itu. Tidak ketinggalan, Unai Emery, pelatih kaya prestasi yang tiga kali beruntun menjuarai Liga Europa di 2014-2016 juga diboyong ke Parc des Princes. Ia dibajak dari klub Spanyol, Sevilla.
Di kancah domestik, PSG tidak terbendung. Mereka kini unggul di puncak klasemen Liga Perancis dengan keunggulan 14 poin dari rival terdekatnya, AS Monako. Trisula PSG, yaitu Neymar, Mbappe, dan Cavani, memang menakutkan. Mereka mengemas total 70 gol pada musim ini. Tidak ada trisula lain di dunia yang bisa segarang ini.
Namun, status gemerlap itu sirna saat menghadapi Real Madrid, klub pertama yang mencetuskan los galacticos dengan menghadirkan Zinedine Zidane sebagai pemain, hampir dua dekade lalu. Dalam dua pertemuan di babak 16 besar, PSG kalah dari Madrid, tim yang hanya menghabiskan dana Rp 1,5 triliun atau seperlima anggaran bealanja pemain PSG pada musim ini.
Memang, sejumlah pihak menunjuk absennya Neymar, yang tengah dalam pemulihan cedera pergelangan kaki, sebagai faktor penyebab kekalahan PSG 1-2 dari Madrid pada laga dini hari tadi. Namun, itu tidak bisa menjadi alibi. Kenyataannya, PSG tampil tercerai-berai, individualis, saat menghadapi Madrid semalam. Saking frustrasinya menghadapi Madrid yang tampil solid, Verratti kehilangan akal dan diusir wasit.
Kontras dengan PSG, Madrid tampil lebih tenang dan bermain kolektif. Mereka tidak terburu-buru membangun serangan dan tampil mematikan saat memiliki peluang.
Kontras dengan PSG, Madrid tampil lebih tenang dan bermain kolektif. Mereka tidak terburu-buru membangun serangan dan tampil mematikan saat memiliki peluang. Ketenangan ”Los Blancos” itu salah satunya ditunjukkan lewat gol sundulan kepala Cristiano Ronaldo pada menit ke-51. Adapun PSG mencetak gol dalam serangan serampangan berbau keberuntungan, yaitu lewat lutut Cavani.
Faktor pembeda
Pengalaman memang menjadi faktor pembeda kedua tim di laga itu, seperti halnya kegagalan PSG di babak 16 besar musim lalu dari Barcelona. Padahal, saat itu PSG menang 4-0 di laga pertama. Mereka lantas membuang-buang modal besar itu dengan kekalahan 1-6 di Camp Nou, markas Barca. Itu menjadi kegagalan terbesar sepanjang sejarah PSG, sebaliknya remontada atau kebangkitan terbesar bagi Barca.
Bukan tanpa alasan Manajer Real Madrid Zinedine Zidane enggan mendatangkan pemain bintang baru musim ini. Padahal, dengan kekayaan yang dimiliki, Madrid dapat saja mendatangkan penyerang muda berkelas dunia, seperti Neymar dan Harry Kane. Zidane ingin menjaga chemistry, kolektivitas di Madrid. Memang, dengan skuad yang ada saat ini, itu tidak cukup untuk membuat Madrid kompetitif menjalani kompetisi ”maraton” berdurasi 38 laga seperti Liga Spanyol.
Namun, di sisi lain, skuad yang ada saat ini menawarkan kolektivitas dan pengalaman yang telah jelas teruji di kompetisi berformat turnamen seperti Liga Champions. Raihan trofi ”si kuping lebar” dua musim terakhir menjadi bukti sahihnya. Sudah jelas, Zidane dan timnya bakal menjadikan trofi itu sebagai fokus. Hanya trofi itu yang bisa membuat tim kaya raya ini mengakhiri musim dengan status berhasil. Mereka ingin memecahkan rekor sekaligus batasan psikologis, yaitu menjuarai Liga Champions untuk tiga kali beruntun.
Di lain pihak, PSG tidak akan berhenti mencoba mengejar trofi itu. ”Saya yakin, klub ini mampu memenangi Liga Champions. Suporter akan melihat itu suatu hari nanti. Kami ingin memenanginya secepat mungkin,” ujar Pelatih PSG Unai Emery seusai laga itu seperti dikutip dari AFP.
Al-Khelaifi mungkin masih bersabar dengan ambisi besarnya di Eropa. Namun, bisa jadi ia tidak lagi sabar dengan Unai Emery. Ia hanya maksimal mengantarkan tim itu ke 16 besar Liga Champions. Jika tidak lagi sabar, Khelaifi bisa saja mencoba peruntungan baru, yaitu memulangkan Zidane ke Perancis....